JAKARTA - Delapan belas tahun berkecimpung di perfilman Indonesia bukanlah waktu yang singkat bagi Cut Mini Theo. Memulai karir di entertaiment sejak usia 15 tahun sebagai model lantas menjadi komedian bersama P Project, Cut Mini tergolong terlambat memasuki film Indonesia di usia 30 tahun dalam debut di film Arisan!.
Cut Mini bekerja keras menyelaraskan peran apapun yang diterimanya. Menyerap energi belajar dari siapapun yang bekerjasama dengannya. Untuk waktu yang lama, jika bukan karena cinta tak mungkin Cut Mini konsisten menjalaninya.
Benar, cinta pada film Indonesia adalah alasannya bertahan dan terus belajar untuk memberi yang terbaik. "Film adalah sesuatu yang sangat saya cintai. Bukan karena sesuatu yang ingin dicapai, ingin diraih, sesuatu yang nantinnya akan menjadi besar untuk saya. Tidak. Tapi karena saya suka dan cinta di dunia perfilman," ujar Cut Mini dalam wawancara virtual dengan VOI, Selasa, 4 Mei.
Ketika menerima tawaran bermain film, Cut Mini fokus untuk aktingnya. Dia bekerja tidak memikirkan embel-embel lainnya.
"Saya hanya ingin memberikan sesuatu yang terbaik untuk orang yang sudah memberikan kepercayaan kepada saya. Kedua, ingin menjadikan karakter yang saya mainkan ini menjadi layak dan diterima untuk penonton," tegasnya.
Gemerlap dunia perfilman dan juga popularitas mengikuti pemain film sering disandingkan dengan prasangka honor yang tinggi. Tak sedikit yang mencoba berbagai jalan bahkan sering ditempuh untuk mendapat peran di sebuah film. Lantas bagaimana dengan Cut Mini?
"Nggak juga, banyak emang artis yang duitnya banyak. Saya mah alhamdulillah. Banyak artis muda bayarannya lebih mahal dari kita-kita. Ada juga yang biasa saja. Saya pribadi tidak menjadikan penghasilan sebagai sebagai sesuatu yang menjanjikan. Benar menjanjikan di saat kita mendapat sesuatu yang besar. Tapi kalau tidak ya tidak apa-apa," katanya.
Ternyata wanita berdasar Aceh ini mempunyai sudut pandang sendiri ketika menilai kepuasan pendapatnnya. Bukan cuma nominal yang jadi ukurannya.
"Jadi kalau saya tidak melihat nominal, tapi lebih ke cerita. Kalau cerita itu bagus, kalau memang rejeki tidak sesuai dengan keinginan saya, namun saya ingin memerankan, saya mendapatkan lima perak saya terima. Karena saya mau memainkannya, bukan karena nominal," paparnya.
Namun, tidak menampik bahwa popularitas dan kekayaan sering menjadi alasan orang ingin bermain film. "Benar memang ada yang jadi terkenal karena main film, ada juga yang enggak. Saya memilih apa adanya, kalau memang mau bekerja sama dengan saya apa adanya boleh. Kalau enggak, enggak bekerja sama ya nggak papa. Saya bukan seorang bintang, saya hanya seorang pekerja seni," tegasnya.
Kalau ada yang menyebut Cut Mini mahal, lanjutnya, dia justru bersyukur. "Alhamdulillah, semoga saya enggak ditawar lagi. Emang salah ya kalau kata mahal untuk saya? Karena muka saya terlihat murah?" candanya.
Demi peran yang bagus, Cut Mini rela menutup mata soal nominal. Rupanya inilah yang membuat Cut Mini selalu berhasil menghidupkan karakter yang disematkan kepadanya. Semua dilakukan karena cinta.
"Hampir rata-rata peran yang saya mainkan itu berkesan. Arisan! itu pertama kali saya terjun payung. Saya sangat suka peran Meimei yang lurus, clean, apa adanya," katanya.
Peran Muslimah di Laskar Pelangi, melejitkan nama Cut Mini. Sebagai ibu guru di SD Muhammadiyah Gantong, Cut Mini dituntut menduplikasi semangat dari karakter yang benar-benar ada dan masih hidup.
"Anak-anak saya yang ada di Laskar Pelangi benar-benar melihat saya sebagai seorang guru. Padahal saya cuma seorang yang saat itu memerankan sebagai guru. Saya jatuh cinta dengan Muslimah," katanya.
Gara-gara peran inilah Cut Mini sangat mencintai anak-anak hingga kini. Banyak kegiatan sosial yang ditujukan untuk mendukung kegiatan anak. Meskipun sakit, kegiatan anak tetap menjadi prioritasnya. Anak, selalu berhasil membuatnya bangkit dan tersenyum.
BACA JUGA:
Peran-peran lainnya, meskipun cuma peran kecil, Cut Mini tak pernah menyepelekannya. "Saya menikmati peran saya yang cuma dua scene di film Posesif. Kemarin-kemarin mungkin sebagai ibu saya harus menata hati untuk meghadapi kenyataan yang terjadi di film. Begitu saya mendapat dua scene yang digarap oleh Edwin di film Posesif saya juga jatuh cinta. Tenyata saya bisa membuat emosi yang tinggi dan geram, bisa juga," katanya.
Pengalaman bekerja dengan Edwin rupanya sangat membekas bagi Cut Mini. Karena itu, dia berharap bisa kembali bermain di bawah arahan Edwin dengan scene yang lebih banyak.
"Saya tidak puas cuma dapat dua scene di Posesif. Saya pengin yang lama. Mungkin nggak Mas Edwin membuat skenario dengan look saya berhijab seperti ini. Saya senang bekerja sama dengan sutradara yang bisa memberikan ilmunya kepada pemain," harapnya.
Beda lagi dengan pengalaman Cut Mini di film Athirah yang mengantarkannya sebagai Pemeran Utama Wanita Terbaik dalam FFI 2016. "Begitu saya bermain Athirah, emosi saya ditekan. Rasa marah saya dihilangkan. Cuma ada banyak, banyak banget kebencian, harus banyak keikhlasan," jelasnya.
Peran orang tua di film Dua Garis Biru juga menjadi pelajaran buatnya. "Susah buat saya untuk bilang peran mana yang saya suka. Saya jatuh cinta dengan peran-peran yang saya mainkan. Jadi saya tidak bisa memilih mana, karena saya suka apa yang saya kerjakan," kata Cut Mini.
Menjadi bagian dari perfilman Indonesia, Cut Mini sejati sangat bahagia ketika melihat antusiasme produksi dan penonton film Indonesia di tahun 2019. Sebelum pandemi COVID-19, film Indonesia sedang bagus-bagusnya.
"Film Indonesia sebenarnya sedang berjalan dalam kondisi yang baik. Saat sebelum pandemi, semua orang sedang membuat karya film yang baik bagi pecinta film Indonesia. Walaupun bisa dihitung dengan jari, kadang-kadang kita kekurangan penonton dalam sebuah cerita yang baik. Tapi apa boleh buat, yang penting pembuat film sudah membuat film. Menjadi penghasilan alhamdulilah, kalau tidak, menjadi penikmat di antara segelintir penonton," katanya.
Turun naiknya perfilman Indonesia, lanjut Cut Mini, sangat seru. "Bisa tiba-tiba nggak ada pemain. Tiba-tiba nggak ada alat di Jakarta. Seru sekali. Sampai akhirnya perfilman Indonesia, membuat saya bangga sebagai pemain. Saya tidak bercita-cita menjadi pemain film di luar sana. Karena saya terlalu menikmati apa yang saya kerjakan di sini," katanya.
Karir di luar negeri, mungkin menjanjikan untuk kepopuleran global dan peningkatan finansial. Tapi Cut Mini tak tergoda.
"Saya nggak mau bekerja keras mencari jalan untuk karir di luar. Karena saya sangat mencintai film Indonesia. Kalau ada jalan yang datang kepada saya, saya siap. Kalau pun tidak, sudah cukup, alhamdulillah bagi saya," tegasnya.
Pandemi, lanjut peraih dua Piala Citra ini, adalah tamu terhormat dari Tuhan kepada semesta. Alih-alih mengeluh, Cut Mini memilih untuk menikmati dan mensyukuri perubahan yang disebabkan oleh virus COVID-19.
"Di saat tamu besar itu datang, kita disuruh stop melakukan apapun. Untuk menikmati apa yang ada. Yang tadinya film Indonesia banyak di bioskop, tapi tidak ada penonton sekarang bilang 'kangen film Indonesia'. Kemarin-kemarin ke mana waktu film Indonesia waktu kita berkarya? Ini semuanya mungkin harus dilihat. Tahun 2020-2021 itu kayak kita diminta supaya tidak sembarang ngomong aja," katanya.
Kalau nantinya bioskop kembali normal, harapnya, kita bisa menghargai dan menikmati film Indonesia. "Saat kita nanti bisa normal kembali. Harus menghargai semuanya. Kalau mau menikmati film yang mau kita lihat kita total, baik dan buruknya kita hargai sebagai karya anak bangsa," harapnya.
Beberapa bulan tanpa syuting di awal pandemi, Cut Mini akhirnya mendapat kesempatan syuting kembali untuk film Sampai Jadi Debu. Ini adalah original Production dari Klik Film.
"Saya sudah stop syuting itu April. Lalu mendapatkan tawaran Sampai Jadi Debu. Begitu mendapat skenarionya, saya suka. saya belum pernah memerankan sosok penderita alzaimer. Saya mencari seperti apa sih alzaimer," katanya.
Pandemi ternyata mengubah semua kebiasaan syuting yang selama ini dijalani Cut Mini. Semua waktu produksi dipangkas. Dari reading hingga syuting dipangkas waktunya untuk menekan risiko penyebaran COVID-19.
"Ini film kok bikinnya kayak di FTV, tayangnya enggak di layar lebar tapi layar kecil. Tapi ya sudahlah, karena saya lama enggak kerja, saya kangen membaca skenario, membelah-belah skenario, kangen beradaptasi dengan sutradara. Di lokasi syuting itu cuma lima hari. Saya harus membuat karya yang baik dalam waktu yang singkat," kenangnya.
Rupanya, semua penyesuaian itu juga dialami oleh seluruh kru film. "Saya selalu bawel dan cerewet saat pandemi. Kita lama nggak kerja, tapi kita dikasih kesempatan untuk kerja jadi harus bisa menghargai. Sampai saya bilang ke salah satu kru, 'Saya tahu kok kamu kerjanya capek, tapi kalau lagi nggak angkat sesuatu pakailah maskernya. Jangan sampai rejeki yang kamu dapat dari bekerja ini buat bayar rumah sakit'. Saya sih paling bawel ingetin maskernya dong. Nggak papa dibilang cerewet yang penting saling mengingatkan dan saling jaga," paparnya.
Dua tahun belakangan, film China dan Korea memberi kejutan dengan memasuki Academy Awards dan memenangkan piala Oscar. Cut Mini melihat itu sebagai sebuah harapan baru bagi Film Indonesia. Dia yakin Indonesia bisa mencapai prestasi yang sama dengan Korea dan China.
"Saya yakin bisa, kenapa enggak? Bisa kok semua bisa. Tapi kalau kita bandingkan dengan Korea, film Korea itu mengandalkan akting kesederhanaan mereka, dengan make up yang natural, mereka dibantu oleh pemerintah, dijamin cara kerjanya, mereka dijaga dan jadi aset negara. Untuk mencapai titik di sana itu mereka jaga semuanya. Dan masyaarakat Korea itu cinta dengan hasilnya," katanya.
Film Indonesia, lanjutnya, telah menunjukkan kemampuannya bersaing di beberapa festival di luar negeri. "Film saya Athirah, misalnya, nggak bunyi di Jakarta. Tapi di festival dapat aja. Banyak lagi film lainnya yang bisa unjuk gigi di luar negeri. Perempuan Tanah Jahanam itu laku di sini, di luar negeri juga disukai. Kesempatan untuk masa keberhasilan film Indonesia itu pasti akan datang," tegas Cut Mini.