JAKARTA - Hannah Al Rashid kembali berakting lewat film terbarunya, Marni: The Story of Wewe Gombel. Sebagai aktris yang sering membintangi proyek aksi dan horor, ia merasa antusias untuk memerankan kedua genre itu dalam film ini.
Dalam film Marni, Hannah berperan sebagai Rahayu, seorang single parent yang memiliki dua anak dan memutuskan pindah ke sebuah desa untuk memulai hidup yang baru. Namun, dari sana justru masalah yang dihadapi Rahayu bertambah banyak.
Aktris kelahiran 25 Januari itu menjelaskan pertemuannya dengan sutradara Billy Christian akhirnya menemui titik terang. Sejak tahun 2011, mereka selalu berdiskusi banyak hal mengenai proyek film, namun belum pernah dipersatukan hingga di tahun ini.
“Baru jodohnya di sini. 10 tahun lebih kemudian. Billy Christian adalah sutradara yang saya penasaran sama karyanya dan pengin banget kerjasama bahwa dia keahliannya di horor menjadi sesuatu yang sangat menarik karena setelah kenalan dan ngobrol, dia punya kedekatan sama hal-hal seperti ini jadi rasanya dia orang yang tepat untuk mengeksplor tema seperti ini,” kata Hannah Al Rashid kepada VOI di sore itu.
Diskusi panjang membuatnya sangat menikmati proses produksi ini. Hannah juga merasa Billy yang punya kedekatan dengan hal gaib ini menjadikan pengalaman syutingnya penuh dengan kejutan.
“Contohnya waktu dia tahu di kamar ini ada energi yang ternyata matching dengan energi yang dibutuhkan untuk Rahayu, disatukan dia jadikan tempat ini jadi lokasi kamarnya Rahayu biar energinya bareng. Dan aku baru tahu sekarang,” lanjutnya.
“Jadi di luar diskusi in real life bersama aktornya, dia pikirin hal kayak gitu dan aku harus berterima kasih kepada dia karena memang lokasi syuting yang dia pilih hawanya cukup berbeda dan sangat mendukung jadi saya gak tahu nanti orang melihat performance orang, itu saya apa gaib? Hahahaha. Kalau bagus, berarti hantu,” kata Hannah sambil tertawa.
Berakting sejak tahun 2012, Hannah Al Rashid membintangi berbagai judul film dan serial. Beberapa di antaranya bergenre horor seperti V/H/S/2 (2013), Jailangkung (2017), Jailangkung 2 (2018), serta Dreadout dan Ratu Ilmu Hitam pada tahun 2019.
“Aku genre apapun, tetap kembali ke cerita, kembali ke skrip dan kembali ke karakter yang ditawarkan,” jawabnya ketika ditanya soal memilih sebuah proyek akting.
“Aku pengin belajar terus. Jadi kalau karakternya tidak menawarkan sesuatu untuk belajar, enggak usah. Kebetulan karakter Rahayu jadi sesuatu yang baru untuk aku, ya pernah memerankan ibu muda sebelumnya tapi ini konteksnya sangat berbeda. Single mom, punya anak berkebutuhan khusus, punya anak remaja, ditinggal oleh suami, banyak masalah, ini segala macam jadi ada banyak layer yang bisa dimainkan,” jelasnya soal karakter baru.
Di samping itu, Hannah juga tertarik memerankan film yang berfokus dengan karakter perempuan (female centric). Menurutnya, perempuan punya sejarah panjang terutama dengan film horor. Namun, ia melihat film Marni menjadi film horor yang berbeda dalam penggambaran karakter perempuannya.
BACA JUGA:
“Menurutku kedengarannya sangat aneh, tapi kita kayak memanusiakan Wewe. Maksudnya gini, kalau ditakuti dan diasingkan tentu iya, tapi minimal kita paham kenapa Wewe itu bisa ada dan seringnya karena perbuatan manusia. Sebab akibat tuh yang sangat dieksplor. Jahat ya jahat aja kadang kita perlu paham kenapa orang bisa jadi jahat kenapa ya? Apa yang terjadi dengan mereka? Kita jadi manusia kritis yang berpikir lebih luas, apa yang ditawarkan jadi menarik,” tutur Hannah.
“Karakter Marni yang dia alami berat, jadi kalau kemudian dia mau datang dan menakuti orang, gue paham! Di real life kan begitu, ada hantu yang baik, ada yang tidak baik. Maksudnya kita hidup di sekeliling ada ratusan entitas yang kita gak bisa lihat, belum tentu semuanya jahat. Dan bagaimanapun juga kita harus belajar co-exist dengan hal seperti itu,” ujarnya.
Menikmati Semua Genre
Berkarier dalam berbagai medium ternyata membuat aktris 38 tahun itu merasa tidak sulit untuk melakukan berbagai genre. Ia menegaskan dua genre yang paling menguras tenaga adalah genre aksi dan horor. Menariknya, kedua genre itu dipadukan dalam film Marni: The Story of Wewe Gombel.
“Secara bekerja pasti pengin approach sama apa aja genrenya sama aja output dan effortnya, hanya memang ada hal yang membedakan antar genre. Dua genre yang sangat teknis, action kan ada kebutuhan belajar koreo, cara jatuh, reaksi, belajar pakai weapon, misalnya. Sangat teknikal. Hororpun begitu. Horor pada dasar ceritanya jauh lebih intens jadi entah itu lari atau teriak, nangis, membutuhkan energi yang jauh lebih dibandingkan duduk,” jelas Hannah.
“Gue merasa sangat dibantu dengan cast lain di saat balik ke tenda base camp dan energinya happy, di sini energi gue diambil semua. Memang cara bekerjanya selalu berbeda dan harus diadapt per genre tapi effort dan semangatnya sama aja seharusnya di setiap film. Kenyataannya kadang ada sutradara yang lepas tangan dan tidak merangkul dan tidak mau diskusi, ada yang di lokasi kagak ada, jadi untungnya sama mas Billy ini sangat dibantu,” katanya lagi.
Di samping itu, Hannah merasa film horor di Indonesia sangat beragam. Namun dengan banyaknya cerita horor, fenomena itu bisa dibentuk dengan baik jika pembuat filmnya mau mengeksplorasi cerita.
“Produser melihat ini bisnis. Pasti mereka ingin membuat sesuatu yang profit untuk mereka dan kebetulan saat ini yang paling menjanjikan ya horor,” katanya.
“Sekarang tantangannya adalah bagaimana filmmaker bisa membuat sesuatu yang menarik walaupun pasarnya dibanjiri film horor. Karena industri kita gitu-gitu aja. Banyak lokasi, oh gue tahu nih lokasinya. Hal itu kan perlu dicari supaya baru. Menurutku personally itu yang coba kita lakukan di Marni,” kata Hannah lagi.
Keinginannya untuk selalu tampil dengan cerita baru yang menjadi dasar dari bergabungnya Hannah dalam film ini. Ia merasa lebih dikenal sebagai aktor aksi bersedia memerankan seorang ibu. Dalam film Marni, ia menyebut perannya lebih banyak mendapat porsi drama daripada aksi.
“Hannah yang mungkin dikenal action di sini jadi ibu-ibu yang lebih drama daripada action. Jadi ada beberapa pilihan yang menurutku sangat mendukung untuk Marni menawarkan nafas baru dalam pasar horor,” kata Hannah dengan yakin.
“Pada dasarnya gue fans horor berat. I love horror jadi buat gue kayak horor harus menarik kalau gitu-gitu hhh seen it already, done it already jadi mencari sesuatu yang baru. Mau lo kasih darah yang banyak atau hantu banyak atau gambar fantastis yang gimana, kalau ceritanya gak menarik, ya gak menarik aja. Jadi for me it’s always comes back to the story,” tutur Hannah.
Di tengah kesibukannya sebagai aktris, Hannah Al Rashid selalu menyempatkan diri untuk menonton film di bioskop atau membaca buku. Kontennya di media sosial didominasi dengan konten rekomendasi atau membicarakan film. Bahkan ia punya bioskop dan tempat mencari buku favorit.
Konten itu bermula ketika ia sedang menetap di London dan melihat perpustakaan kecilnya. Ia kemudian berpikir untuk membagikan apa yang ia senangi di media sosial. Ia juga menegaskan dua hal yang ia bisa bagikan kepada publik adalah film dan buku.
“Aku hobi banget nonton film Indonesia. Gue selalu nonton film Indonesia di Blok M Square karena menurutku penontonnya paling mewakili penonton awam. Kalau lo nonton film horor di hari pertama di Blok M kenapa banyak PH promo di Blok M karena menentukan pasar di situ. Kebetulan gue anak Blok M jadi suka banget ya emang buat aku pelarian nonton. Kalo butuh me time, nonton, cari buku di basement, ngopi di bawah kan ada pasar buku vintage ya buku fake juga ada,” jelas Hannah.
“Kemarin aku sadar pas kasih book recommendations itu konten era TikTok ini dan konten-konten social media sekarang ini banyak yang memang gak menarik pada dasarnya. Aku pengin kalau konten itu belajar sesuatu atau dapat referensi yang membuat aku lebih punya wawasan yang lebih luas,” katanya.
“Aku orang yang privat tapi ada 2 hal yang gapapa aku share ke publik: film dan buku,” katanya.
Bincang sore itu berakhir dengan pertanyaan. Jika bisa mendeskripsikan film Marni dalam sebuah buku, maka judul buku apakah itu?
“Wah gila berat banget. I’m just trying to think! Cantik itu Luka, Eka Kurniawan. Kenapa? Karena karakter utamanya perempuan, karena saat karakter utamanya pertama kali kemunculan pertama itu agak horor dan buku itu juga balik lagi ke masa lalu untuk memahami konteks-konteks masa sekarang jadi mungkin Cantik itu Luka. Bukan cerita yang sama tapi kaitannya sama,” jawab Hannah Al Rashid.