JAKARTA - Dalam konferensi pers Jakarta World Cinema Week tahun kedua, film Prisia Nasution berjudul Melukis Luka masuk dalam daftar film yang akan ditayangkan di acara bergengsi ini. Rencananya acara ini akan digelar pada 11 hingga 18 November mendatang.
Dalam sebuah kesempatan, Prisia Nasution mencoba menceritakan kesulitan yang ia alami selama menggarap film yang ia sutradarai sendiri ini. Turun langsung ke kawasan Glodok, Prisia merasakan suasana yang berbeda apalagi ketika ia membahas terkait kerusuhan yang terjadi tahun 1998.
"Lumayan, sulitnya tuh mungkin pada saat tahun 98 aku masih terlalu kecil untuk merasakan luka itu. Mungkin yang sudah agak besar yang bisa merasakan, tapi justru ya itu main ke satu lokasi yang tadinya ada kejadian-kejadian nggak enak pasti kan energinya juga berasa gitu ya," ujar Prisia Nasution di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat, Kamis, 19 Oktober.
"Nah, di Glodok tuh begitu. Walaupun semua pada akhirnya ceria, penduduknya berusaha melupakan masa lalu tuh dengan cara 'Nggak apa-apa kok, masa lalu tuh, nggak apa-apa," lanjut Prisia.
Namun, meski warga asli Glodok tidak banyak berbicara mengenai kejadian 25 tahun yang lalu itu, Prisia mengaku hanya dengan melihat kondisi gedung-gedung yang terbengkalai, ia bisa merasakan kejadian yang ada di sana.
"Pada saat itu mereka tuh nggak apa-apa, nggak ada yang ngomong gini itu, tapi kita berasa gitu ya ketika melihat gedung lama yang sudah terbengkalai apa kejadian di dalam situ, rumah-rumah juga banyak yg seperti itu," sambung Prisia.
BACA JUGA:
Melihat hal ini, wanita berusia 39 tahun ini menceritakan bila ia harus melakukan pendekatan khusus kepada warga asli Glodok untuk mendapatkan cerita yang faktual. Pendeketan ini Prisia lakukan dengan memposisikan diri layaknya warga lokal di Glodok.
"Jadi merisetnya pendekatannya aja sih nanya satu-satu, nanti ada satu yang cerita seperti apa sih zaman dulu. Tapi sebenarnya itu luka yang udah mereka tutup aja," tutur pemain film Teman Kondangan ini.
"Makanya nggak sampai me-recall, tapi ya udah aku ngobrol aja. Jadi, sering main ke sana, jajan, belanja, makan, jadi warga lokal lah ceritanya, blusukan, jalan-jalan sendiri ke Glodok. Tapi pada akhirnya cerita ini kan fiksi gitu, hanya rasanya aja yang aku adaptasi dari kejadian zaman dulu," jelasnya.