Bagikan:

JAKARTA - Industri perfilman Indonesia selalu mencari warna baru untuk disuguhkan kepada khalayak penonton film Indonesia. Adat dan budaya daerah beragam yang unik menjadi sumber cerita berbagai genre film. Seperti film komedi dan horror, misalnya.

Untuk lebih melekatkan rasa kedaerahan dalam atmosfir cerita film, bahasa yang digunakan dalam adegan dan dialog film lebih ‘gurih” menggunakan bahasa daerah. Karena akan terasa hambar, kurang sedap jika film bernuansa daerah menggunakan bahasa di luar daerahnya. Hal ini sekaligus film memiliki nilai strategis ikut serta melestraikan bahasa daerah.

Wacana mengenai pentingnya mengangkat film berbahasa daerah tidak saja terkait dengan warna baru untuk kepentingan komersial, tetapi juga sebagai sarana hiburan karena ada istilah atau dialek yang bisa memunculkan tawa penonton. Lebih dari itu, penggunaan bajsa daerah dalam film sekaligus sebagai satu cara untuk melestarikan bahasa daerah yang kian tereliminasi di tengah pergaulan generasi Z.

Begitu bahasan webinar berjudul Penggunaan Bahasa Daerah dalam Film Indonesia, digelar panitia Festival Film Wartawan Indonesia (FFWI), Selasa, 15 Agustus 2023. Webinar kali ini menampilkan narasumber Bayu “Skak” Eko Moektito, seorang youtuber, komedian, sutradara, dan penulis skenario. Nara sumber lainnya Susi Ivvaty, peliput bidang seni dan film yang kini aktif di Tradisi Lisan.

Kegiatan ini merupakan rangkaian Seri Kedua Webinar berkaitan dengan pengelenggaraan FFWI XIII tahun 2023. Bayu Skak menceritakan pengalamannya ketika menawarkan cerita film berbahasa daerah Jawa. Bayu yang berasal dari Malang, Jawa Timur sampai bertaruh dengan produser Starvision Chand Parwez Servia. Gara-gara, sang produser meminta film Yo Wes Ben tidak usah menggunakan Bahasa jawa di sepanjang film.

Bayu ngotot dan nekad sampai mengeluarkan pernyataan tidak perlu dibayar jika film tidak berhasil. “Kalau film tidak bisa meraih penonton sampai 500.000, honor saya tidak usah dibayar!”

“Dan itu pertaruhan nekad juga berat. Karena saya bakal tidak menerima honor sama sekali, padahal sudah kerja 6-7 bulan membuang waktu dan tenaga. Tetapi begitu film berhasil mengumpulkan penonton sampai 900.000. Bukan cuma saya yang ketagihan, produsernya pun memproduksi film Yo Wis Ben 2, Yo Wis Ben 3, dan Yo Wis Ben Finale,” ungkap Bayu yang memulai karier sebagai Youtuber tersebut.

Menurut Bayu, era hari ini semakin maju, perkembangan teknologi semakin pesat. Namun ia tidak ingin semua itu akan mengikis sisi kedaerahan, termasuk dalam soal bahasa. “Karena jika kedaerahan kita terkikis, kita akan menjadi manusia yang akan lupa pada akar budaya!” ujarnya.

Karena itu, Bayu mengaku bangga dan sangat percaya diri untuk memproduksi film berbahasa daerah. Ini bukan semata-mata karena Yo Wes Ben telah berhasil meraih jumlah penonton sampai ratusan ribu. Lebih dari itu, film berbahasa daerah bisa ikut melestarikan penggunaan bahasa daerah.

”Saya bersyukur masih bisa berbahasa Jawa halus. Anak- anak generasi Z sekarang ini berbahasa Jawa dicampur dengan bahasa Indonesia,” kata Bayu prihatin. Karena itu dia mengajak sineas dan para produser film terus meningkatkan produksi film berbahasa daerah.

“Di bahasa daerah penonton juga menemukan hiburan dan lucu-lucuan dalam bahasa daerah tertentu, yang tidak ada di bahasa daerah lain,” kata Bayu yang masih akan terus mengembangkan film berbahasa daerah dengan memproduksi film bahasa Jawa Ngapak, bahasa Madura dan lain-lain.

Pelestarian Bahasa Daerah

Pengalaman Susi Ivvaty yang banyak aktif di bidang tradisi literasi menguatkan apa yang disampaikan Bayu Skak. Bahwa film memegang peranan strategis dalam upaya pelestarian bahasa daerah.

Dia mencontohkan beberapa film seperti Siti dan Turah yang menggunakan bahasa daerah Jawa, lalu ada film Uang Panainyang menggunakan bahasa Makasar –Bugis, dan film Yuni, yang mengangkat cerita tradisi masyarakat Serang Banten.

”Dalam film Yuni bahasa yang digunakan Jawa Serang. Jawa yang bercampur dengan bahasa Sunda. Di mana orang Jawa dan suku Sunda yang tinggal di pesisir provinsi Banten biasa menggunakan bahasa masing-masing dalam percakapan, dan uniknya mereka saling mengerti. Di sinilah kita lihat bahwa bahasa itu menjadi keutamaan rasa, bahasa budaya dan dalam bahasa daerah itu kuat sekali sopan santunnya,” urai Susi.

Dalam bidang kebahasaan itu juga Susi merasa kehilangan sosok Remy Silado, seniman yang mahir berbagai bahasa daerah dan bahasa asing. Remy Silado yang wafat tahun lalu, bagi Susi adalah pribadi yang mengingatkan pentingnya merawat dan menggunakan bahasa daerah masing-masing.

Kata Susi, film perlu mengangkat bahasa daerah jika berkaitan dengan cerita yang diangkat ke layar lebar dengan latar belakang adat dan budaya suata daerah tertentu .

“Karena feel-nya ada di dalam bahasa itu. Kalau film “Uang Panai” tidak menggunakan bahasa daerah pasti terasa hambar dan tidak ada feelnya,” ungkap Susi yang mengingatkan bahwa penggunaan bahasa daerah adalah sebuah cara menghindari kepunahan bahasa.

Sementara itu, Ahmad Mahendra, Direktur Perfilman, Musik dan Media, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi, dalam kata sambutan yang dibacakan Edi Suwardi, Kapokja Apresiasi dan Literasi Film mengakui semakin banyak film Indonesia yang menggunakan bahasa daerah.

Hal ini antara lain berkat upaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang menggalakkan penggunaan bahasa daerah di berbagai media pandang dengar. Kementerian juga telah mendanai produksi film yang menggunakan bahasa daerah.

Alasan lain meningkatnya penggunaan bahasa daerah dalam film Indonesia adalah maraknya era digital. Sekarang jauh lebih mudah memproduksi dan mendistribusikan film, dan hal ini menyebabkan pembuatan film menjadi lebih beragam. Termasuk film-film yang menggunakan bahasa daerah.

Beberapa film Indonesia yang sudah menggunakan bahasa daerah antara lain film Yuni (2021) memperkenalkan bahasa Jaseng, Jawa Serang secara total dalam dialognya. Dan film KKN di Desa Penari (2022) yang menduduki peringkat pertama film Indonesia terlaris sepanjang masa juga banyak menggunakan bahasa Jawa. Film Ngeri Ngeri Sedap (2022) juga menggunakan bahasa Batak. Film ini mendapat apresiasi dari penonton juga memenangkan Piala Gunungan Emas FFWI 2022.

“Film-film berbahasa daerah ini, hebatnya sukses baik secara kritik maupun komersial, dan membantu meningkatkan kesadaran akan penggunaan bahasa daerah dalam film-film Indonesia. Karenanya ke depannya mungkin akan lebih banyak lagi film Indonesia yang menggunakan bahasa daerah,” kata Edi Suwardi.

Dalam pandangan Presiden FFWI 2023, Wina Armada, Indonesia dalam aspek kebahasaan sangat beruntung memiliki bahasa persatuan yakni Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia diikuti dan dipahami oleh beragam suku yang ada di Indonesia.

Penggunaan bahasa daerah dalam film Indonesia, kata Wina merupakan perkembangan yang positif. Ini membantu untuk mempromosikan keanekaragaman budaya dan memberikan suara kepada orang-orang dari berbagai daerah di Indonesia. Ini juga membantu membuat film Indonesia lebih mudah diakses oleh khalayak yang lebih luas.

Di tengah itu, ratusan bahasa daerah masih tetap bisa hidup di tengah masyarakat, bahkan bisa dimunculkan pula dalam percakapan. Menurut Wina, “Sebagai wartawan yang berkutat dengan kebahasaan, sangat relevan FFWI mengeglar webinar mengangkat tema Penggunaan Bahasa Daerah dalam Film.

Wina juga membandingan Indonesia dengan India yang memiliki ribuan bahasa daerah, namun tidak memiliki satu bahasa persatuan. “Sehingga karena masalah bahasa ini pula kadang yang menimbulkan pertikaian dan pertentangan antar suku di India!” ungkapnya.