Bagikan:

JAKARTA - Film Para Betina Pengikut Iblis bakal tayang di bioskop mulai 16 Februari. Film kedua dari Falcon Black ini merupakan karya Rako Prijanto. Dibintangi Mawar de Jongh, Hanggini, dan Sara Fajira, film ini dinyatakan lulus sensor untuk kategori 21+.

Sebagaimana jarangnya film Indonesia lulus sensor 21+, Para Betina Pengikut Iblis juga film yang jarang ada di Indonesia. Para Betina Pengikut Iblis mengisahkan Sumi (Mawar de Jongh) tinggal seorang diri mengurus ayahnya yang sakit.

Adegan dibuka dengan kaki ayahnya harus diamputasi agar tidak membusuk. Kata-kata kasar dan makian bapak, sampai dengan adegan pemotongan kaki membuka sadisnya film ini. Darah mengalir seolah menjadi peringatan awal film ini hanya untuk 21 tahun ke atas.

Demi memenuhi kebutuhan hidup, Sumi berjualan gulai dari daging manusia di kampung. Impiannya adalah mengumpulkan uang dari penjualan gulai untuk kesembuhan bapaknya. Tapi impian itu tentu tak mudah dijalani.

Secara bertahap, Sumi menunjukkan kesadisannya dengan memotong leher, mencabik-cabik isi perut manusia, menguliti manusia yang ia bunuh. Tentu saja, darah 'menari' dengan bebas di film ini. Akting Mawar layak diacungi jempol karena menyimpan misteri secara konsisten. 

Ketika Sari (Hanggini) memutuskan kembali menjadi dukun santet setelah adiknya dibunuh, kesadisan film ini makin tambah. Sari bertekad balas dendam lantaran mayat sang adik hilang dari kuburan.

Para wanita yang bersekutu dengan iblis, menjadi jahat melebihi iblis yang tak bisa menyentuh manusia. Iblis hanya bisa mempengaruhi pikiran, sedang Sumi dan Sari tak lagi punya pikiran jernih untuk mencapai tujuan.

Namun, dengan setting 1950 ada kesalahan fatal yang dibuat tim produksi dengan menghadirkan alat pendingin dalam film ini. Distraksi yang muncul sejak awal adegan cukup mengganggu logika cerita dimana semua pencahayaan malam hanya menggunakan lampu minyak tanah tapi freezer sudah muncul dengan cahaya putih terang ketika dibuka. Dari mana listriknya?

Logika yang diacuhkan bukan cuma freezer saja, tapi bagaimana kehidupan sosial soalah tidak terganggu dengan peristiwa-peristiwa targis dan sadis dalam film. Seolah semua baik-baik saja setelah pembantaian terjadi.

Kabar baiknya, adegan-adegan sadis yang dimunculkan dalam film ini seolah ingin memuaskan sisi gelap penonton. Berdasarkan teori The Shadow Self, setiap orang punya bayangan gelap dari kepribadian manusia yang memiliki naluri paling primitif bertahan hidup dengan membunuh.

Sisi gelap ini terwujud dalam ketakutan, frustrasi, dan ketidakamanan kita ketika muncul konfrontasi antara identifikasi kita dengan nilai-nilai tertentu yang telah dipaksakan oleh budaya. Ini adalah aspek yang kita anggap negatif dari kepribadian manusia yang bersebelahan dengan hati nurani dan yang tidak hilang, tetap tersembunyi dan mengintai sebagian besar waktu.

Jika menilik teori ini, maka penonton secara tidak sadar akan menikmati sisi gelapnya sendiri. Kepuasan menonton kesadisan adalah manifestasi perasaan yang selalu ditekan dan tak bisa dimunculkan karena terbentur norma masyarakat. Rako berhasil memuaskan penonton dalam hal ini.