JAKARTA - The Woman King yang melakukan pemutaran perdana dunianya di Festival Film Internasional Toronto pada 9 September 2022, kini tayang di bioskop Indonesia mulai hari ini, 5 Oktober 2022. The Woman King adalah film epik sejarah yang menceritakan tentang Agojie, unit prajurit wanita yang melindungi Kerajaan Dahomey di Afrika Barat selama abad ke-17 hingga ke-19.
Mengambil latar tahun 1820-an, film ini mengikuti kisah Jenderal Nanisca (Viola Davis), pemimpin kelompok pejuang yang semuanya adalah perempuan, yang dijuluki Agojie, membebaskan para perempuan Dahomey yang diculik oleh para penjual budak dari Kekaisaran Oyo.
Hal ini memprovokasi Raja Ghezo (John Boyega) dari Dahomey untuk mempersiapkan perang habis-habisan dengan Oyo. Nanisca mulai melatih generasi baru prajurit untuk bergabung dengan Agojie untuk melindungi kerajaan.
Bukan rahasia bahwa pemenang Academy Awards Viola Davis (yang juga berperan sebagai produser di film ini), merupakan bintang yang mampu menghidupkan cerita epik ini. Davis mampu menyelami tingkat kedalaman dan nuansa emosional yang mengesankan sebagai Nanisca, sang pemimpin Agojie.
Karakter yang diperankannya bisa dibilang cukup kompleks. Ia adalah seorang pemimpin yang tegas, protektif, defensif, namun juga penuh cinta dan kerapuhan -- walaupun ia tak ingin menunjukkan "kelemahan" itu di hadapan para prajuritnya.
Nanisca mencintai para wanita yang bergabung bersamanya di tengah peperangan, mencintai wanita-wanita muda yang baru akan memulai perjalanannya sebagai seorang pejuang kemerdekaan -- merdeka dari penjajah, perbudakan, dan trauma serta rasa sakit yang mereka bawa bersama dirinya.
Ia adalah sosok pemimpin yang ingin membawa semangat juang kepada para saudara perempuannya di wilayah tersebut, bahwa semua orang memiliki latar belakang serta ide yang berbeda, namun tetap memiliki hak untuk hidup dan setara.
Dikutip dari ANTARA, karakter keras Nanisca harus diadu dengan Agojie muda bernama Nawi (diperankan dengan sangat memukau oleh Thuso Mbedu), yang ambisius dan sama kokohnya seperti sang jenderal. Nawi merupakan seorang anak perempuan yang diserahkan oleh sang ayah kepada kerajaan karena ia menolak untuk dinikahkan dengan orang tua kaya. Hubungan antara Nanisca dan Nawi bermula sulit. Keduanya sering bertengkar saat petarung muda berulang kali mempertanyakan beberapa peraturan bahkan desas-desus yang menyelimuti Agojie, termasuk penggunaan ritual sihir tertentu.
"Menjadi seorang pejuang tidak membutuhkan sihir atau ritual apa pun, namun kemampuan dan semangat untuk terus maju." Kutipan ini -- bisa dibilang merupakan salah satu yang terngiang baik untuk Nawi maupun audiens. Pengembangan karakter Nawi pun tak kalah bersinarnya dengan sang jenderal.
Mengimbangi seorang Viola Davis tentu bukan pekerjaan mudah bagi Mbedu. Namun, entah bagaimana ia mampu menancapkan begitu banyak sisi emosional karakter yang ia perankan, dan itu terlihat begitu mudah dan natural.
Pun para Agojie lain seperti Izogie (Lashana Lynch), Amenza (Sheila Atim), hingga prajurit muda Fumbe (Masali Baduza). Tak berlebihan jika menyebutkan ansambel pemain di "The Woman King" semuanya seimbang, serta memiliki momen-momen penting dalam pembangunan karakter dan cerita.
Film seperti The Woman King bisa dibilang jarang ditemui pada era saat ini di tengah lautan film-film blockbuster lainnya. Sutradara Gina Prince-Bythewood ("The Old Guard"), dan penulis naskah Dana Stevens, mampu mengemas film dengan sentuhan aksi dan drama yang menggetarkan bagi siapa pun yang menontonnya.
Adapun The Woman King merupakan adaptasi dari cerita yang ditulis oleh Stevens bersama Maria Bello pada tahun 2015 setelah ia mengunjungi Benin, tempat di mana Kerajaan Dahomey diduga berada beberapa abad lalu.
Asal usul Agojie tidak didokumentasikan secara lengkap, namun para akademisi menduga mereka lahir karena kebutuhan. Kerajaan Dahomey, yang dikenal karena perang strategis dan serangan budak mereka, mencoba melawan dengan merekrut dan melibatkan wanita ke dalam jajaran militer. Setiap wanita yang belum menikah bisa terdaftar.
Film tak hanya mengandalkan aksi dan koreografi untuk adegan-adegan di peperangan. Intensitas juga dirasakan penonton saat para tokoh utama harus menghadapi hal-hal lain di luar medan perang: luka masa lalu, trauma, dan rasa bersalah yang terus menghantui, tuntutan untuk selalu menjadi kuat, hingga kewaspadaan agar mereka mampu hidup menyelamatkan para penduduk yang tertindas oleh ketidakadilan dan penjajah yang tak berprikemanusiaan.
Emosi-emosi inilah yang membuat The Woman King berbeda dari film-film konvensional lainnya yang mengambil tema yang sama. Film ini seakan menggelitik penonton dengan pertanyaan, "Bagaimana kita bisa menilai seseorang itu kuat?". Apakah karena ia seorang prajurit?; Apakah karena ia mendahulukan kepentingan kerajaan daripada dirinya?; Apakah karena ia berani berkorban?; Apakah karena ia mampu berdiri sendiri?; dan lainnya.
Meski berlatarkan ratusan tahun lalu, entah mengapa film ini mampu terasa begitu dekat di masa kini. Isu tentang hak dan perjuangan perempuan -- hingga sekarang pun -- rasanya masih sama dan harus terus digaungkan.
BACA JUGA:
Film ini menjadi pengingat sekaligus suara bagi para perempuan korban pemerkosaan yang biadab; bagi mereka yang masih merasa tidak mampu memilih jalan hidupnya; bagi mereka yang ingin merdeka dari segala ketidakadilan dan keterbatasan.
Beralih ke sisi teknis, bisa dibilang para kru di dalamnya membuat The Woman King dengan penuh rasa hormat dan kehati-hatian yang tulus. Aspek budaya Afrika Barat dihadirkan melalui tangan dingin sinematografer Polly Morgan (A Quiet Place Part II, Where the Crawdads Sing), desainer produksi Akin McKenzie (Wildlife), desainer kostum Gersha Phillips (Narc, The Mortal Instruments: City of Bones), dan tata rias dan tata rambut oleh Babalwa Mtshiselwa dan Louisa Anthony.
Visual nan cantik tersebut digabungkan dengan indah dan pas bersama musik dan scoring gubahan Terence Blanchard ("BlacKkKlansman", "Da 5 Bloods", "Malcolm X"). Suara-suara tersebut terasa begitu megah dan tak jarang membuat merinding tiap kali bersatu padu dengan rentetan adegan menegangkan dalam film.
Secara keseluruhan, The Woman King bukan hanya sekadar soal peperangan, kekuatan, dan perempuan. Namun, film ini menggali lebih dalam ke ketukan dramatis yang sudah dikenal -- yang bersandar pada tema umum soal cinta, persaudaraan dan komunitas, serta moralisme yang jelas.