YOGYAKARTA – Dalam konteks budaya ataupun kerja tim, komunikasi kolaboratif kerap digunakan. Pada dasarnya, komunikasi kolaboratif didefinisikn sebagai metode pertukaran informasi yang membantu orang bekerja mencapai tujuan bersama. Metode komunikasi ini, tidak hanya bermanfaat dalam aspek bisnis tetapi juga hubungan percintaan.
Lisa Firestone, Ph.D., seorang psikolog klinis, menunjukkan bahwa pasangan yang mempraktikkan komunikasi kolaboratif mengalami kepuasan hubungan yang lebih menyeluruh. Komunikasi kolaboratif, dilansir Psychology Today, Senin, 25 Juli, tidak hanya mengacu pada kata-kata yang diucapkan mulut. Tetapi juga melibatkan nada, ekspresi, sinyal tubuh, dan lain sebagainya. Sebagian besar, bahkan tak menyadari bahwa komunikasi non berbal juga menyampaikan pesan. Dalam enam poin, Firestone mengungkap teknik khusus mengenai komunikasi kolaboratif.
1. Jadi pendengar lebih baik, lebih selaras, dan tidak selalu defensif
Karena berada dalam satu tim, Anda dan pasangan harus melatih keterampilan dalam mendengarkan. Menyetel, menyelaraskan, dan mendengarkan tanpa menyela akan lebih baik. Bukan berarti kita selalu setuju dengan semua yang pasangan katakan, tetapi tujuannya adalah memahami bagaimana menempatkan diri dan berempati dengan pengalaman pasangan. Ini merupakan bagian dari menciptakan pemahaman bersama.
2. Memisahkan masa lalu dari masa sekarang
Ketika terlalu emosional atau defensif, seseorang perlu memberi jeda dalam memberikan reaksi. Kadang, ketika terdorong oleh rasa putus asa, jadi terprovokasi untuk tidak mendengarkan secara utuh. Nah, pemahaman ternyata berkaitan dengan lensa masa lalu dan perasaan besar yang muncul dari dalam diri. Semakin mengenal pemicu dalam memberi respons, semakin kita bisa menahan diri untuk tidak menumpahkan gelombang emosional secara agresif. Pesan Firestone, daripada membabi buta memberi reaksi, lebih baik mencoba berhati-hati dalam menanggapi.
3. Mengekspresikan diri dengan cara yang paling dimengerti
Kadang, seseorang pilih diam dalam mengekspresikan diri dan kurang bisa dipahami. Tak jarang juga merasa perlu melindungi diri sehingga mengekspresikan diri dengan bahasa yang defensif dan agresif. Padahal, dalam komunikasi kolaboratif perlu fokus dalam mengekspresikan bagaimana kita berpikir dan merasa tanpa menyalahkan orang lain.
4. Memperbaiki setelah putus komunikasi
Setiap orang membuat kesalahan dan memiliki saat-saat ketika tidak dalam kondisi terbaik dengan orang-orang yang paling kita sayangi. Hal terbaik yang bisa dilakukan untuk kembali ke tim yang sama adalah dengan memperbaiki. Akui apa yang terjadi, terima tanggung jawab, dan coba menemukan cara seimbang untuk mengkomunikasikan pikiran, perasaan, keinginan, atau kebutuhan.
BACA JUGA:
5. Memberi respons yang bersifat mendekatkan
Dalam komunikasi kolaboratif, intinya tidak menganggap segala sesuatu sebagai kesalahan atau tanggung jawab kita. Bukan berarti menutupi kesalahan pasangan, tetapi lebih pada masing-masing punya peran dalam mengekspresikan diri, didengarkan, dilihat, dan diselaraskan.
Ketika terlalu emosional, ambilah jeda untuk menenangkan diri. Kemudian bersikap terbuka dan mengekspresikan perspektif diri. Kemudian tumbuhkan pola pikir yang sama pada pasangan Anda. saat melakukan ini, akan membantu pasangan lebih dekat tetapi tidak membuat salah satu atau yang lain bersalah.
6. Berkomunikasi dengan lebih efektif
Komunikasi akan berjalan lancar ketika dalam kondisi tenang. Pada saat merasa rentan dan terlalu emosional, seseorang cenderung bereaksi dengan cara yang nanti akan disesali. Bahkan bisa jadi tak adil. Jadi, cobalah luangkan waktu lima menit untuk mengambil jeda dan mendekati pasangan untuk berkomunikasi secara lebih efektif ketika sudah tenang.