Tiru Superhero Hollywood, Hanung Bramantyo Hapus 3 Adegan di Satria Dewa: Gatotkaca Supaya Bisa Ditonton Anak-anak
Satria Dewa: Gatotkaca

Bagikan:

JAKARTA - Film Satria Dewa: Gatotkaca lulus sensor untuk semua usia. Film karya Hanung Bramantyo ini siap tayang di bioskop 9 Juni. Setelah tertunda selama 2 tahun karena pandemi COVID-19, Hanung merasa senang karena film ini lulus sensor untuk semua usia.

"Senang akhirnya film ini tayang. Melihat kondisi pre-sale tiket yang ternyata disambut, pertanda baik ya. Tapi saya nggak berani optimis. Takut," ujar Hanung di Epicentrum, Jaksel, Senin, 6 Juni.

Untuk mendapatkan tanda lulus sensor semua usia, Hanung harus rela membuang tiga adegan. "Pertama adegan ciuman ya. Karena adegannya 17+ jadi dibuang. Selain itu adegan pertempuran antara Yayan Ruhian dan Cecep Arif Rahman juga harus dipercepat. Padahal aslinya 20 menit itu," kata Hanung.

Awalnya, karena ada adegan pertempuran sengit film Satria Dewa: Gatotkaca mendapat label 13 tahun. "Saya minta tolong supaya tetap ada, karena ini film juga buat bpak-bapak. Masak mereka nggak dapat hiburan. Makanya ditrim saja, jadi dipercepat," lanjut Hanung.

Terakhir, adegan yang memunculkan darah juga direvisi. Hanung meniru film superhero Hollywood yang tidak menampilkan adegan sadis berdarah-darah sehingga bisa ditonton anak-anak.

"Kalau dilihat adegan di film superhero Hollywood kan tidak ada darahnya. Spiderman juga tidak ada darahnya. Di sini juga adegan yang harusnya muncul darah. Tapi akhirnya dipotong, darahnya tidak diperlihatkan," terang Hanung.

Hanung berharap film ini diterima masyarakat. Apalagi industri film Indonesia sedang berjaya dengan rekor baru penonton film KKN di Desa Penari yang tembus 9 juta.

"Inshaa Allah seperti KKN. Semua film Indonesia pasti pengin ya seperti KKN. Kalau bisa setiap bulan ada 4 juta, 8 juta gitu. Jadi hidup lah industrinya," kata Hanung.

Dalam film "Satria Dewa: Gatotkaca", Hanung mencoba ingin mengubah stereotip yang ada di masyarakat. Dia pun menjadikan film ini berkonsep Yin dan Yang, dimana di dalam hitam ada putih.

"Jadi kita pakai konsep Yin Yang. Di dalam hitam ada putih, di dalam putih ada hitam. Di dunia nyata kan juga seperti itu. Yang kita lihat kok kayaknya baik, tapi kok ternyata begitu ya. Ya begitulah, orang tahu semuanya. Itu yang mendasari keinginan saya. Jadi buat apa kita masih harus stereotip?" jelas Hanung.

"Kostum Fedi juga tampil warna putih. Karena saya ingin membalik stereotip itu. Putih identik dengan suci, hitam identik dengan gelap. Kasihan dong orang kulit hitam selalu dianggap sebagai orang yang jahat. Padahal nggak," sambungnya.

Tak hanya ingin mencoba untuk mengubah stereotip yang ada di tengah masyarakat, Hanung pun berharap agar masyarakat khususnya anak muda kembali menyukai tokoh-tokoh wayang atau kisah superhero dalam negeri yang selama ini dianggap kampungan. Dengan demikian, industri pewayangan di Indonesia pun dapat kembali naik dan hidup.

"Saya berharap semua pelaku-pelaku wayang di Jogja, Surabaya, semua tokoh Cepot dan lain-lain yang dianggap sebagai tokoh kampungan, ini bisa naik. Kita berdoa banget ini bisa berhasil di masyarakat," tutupnya.