Bagikan:

JAKARTA - Kisah hidup Gombloh diangkat ke dalam seri monolog Di Tepi Sejarah musim kedua dengan judul Panggil Aku: Gombloh. Pementasan kali ini disutradarai oleh Joind Bayuwinanda dan diperankan oleh seniman pantomim Wanggi Hoediyatno atau lebih dikenal dengan Wanggi Hoed.

Penyanyi-penulis lagu yang bernama asli Soedjarwoto Soemarsono ini dikenal sebagai musisi yang tampil sederhana dan jauh dari kesan glamor. Di panggung musik, Gombloh selalu identik tampil dengan rambut gondrong, mengenakan topi, dan kumis yang tak rapi. Nama Gombloh melambung setelah ia menciptakan lagu Kebyar-Kebyar.

Dalam proses menyutradarai pentas, Joind mengaku dirinya terenyuh dengan sosok Gombloh. Ia mengatakan bahwa Gombloh memiliki cita-cita untuk menghapuskan semua prostitusi yang ada di Indonesia, bahkan di seluruh dunia.

Menurut Joind, hal tersebut merupakan sesuatu yang absurd tetapi ia mencoba. Uang hasil konser banyak digunakan Gombloh untuk membantu keuangan pelacur di Surabaya.

"Saya pikir, nggak tahu orang ini gila atau apa, tapi saya harus menghargai itu. Dan ternyata kan dari 100 persen, dia cuma bisa 5 persen saja menghilangkan itu (prostitusi). Akhirnya banyak pelacur yang dikirim ke kampungnya lagi, terus ketemu sama orang tuanya lagi," kata Joind dikutip dari ANTARA, Kamis, 28 April.

Dalam sebuah adegan di pertunjukan, Gombloh diceritakan mendatangi tempat lokalisasi di Surabaya. Menurut Joind, Gombloh termasuk istrinya, Wiwik, memiliki keprihatinan terhadap kehidupan sosial sebab sama-sama tumbuh dalam situasi sosial yang serupa sebagai orang kecil.

"Wiwik sangat mengerti itu, sih, (saat Gombloh datang ke lokalisasi). Cukup paham bahwa yang dia lihat kan bukan Gombloh sebagai seorang lelaki bajingan, tapi sebagai penulis lagu," ujar Joind.

Lagu-lagu yang diciptakan dan dinyanyikan Gombloh berkisah tentang nasionalisme, kehidupan sosial, ironi masyarakat perkotaan, serta sisi manusiawi lingkungan prostitusi.

Di sisi lain, Gombloh secara terus terang mengakui bahwa ia menggadaikan idealisme musiknya demi uang dan keluarga, terutama ketika muncul dengan lagu-lagu yang komersil.

Joind mengaku terdapat banyak bagian kisah menarik dari kehidupan Gombloh, namun seluruh cerita tersebut tidak dapat ditampung dalam pertunjukan yang berdurasi kurang dari satu jam. Oleh sebab itu, ia berusaha untuk memadatkan cerita dengan menonjolkan sisi idealisme dan nasionalisme Gombloh.

Dalam proses meramu cerita, Joind mengatakan dirinya selalu berdiskusi dan meriset bersama dengan penulis naskah Guruh Dimas Nugraha–yang sebelumnya telah menulis buku "Gombloh: Revolusi Cinta Dari Surabaya".

"Kami mengakumulasi dari semua peristiwa yang paling kira-kira fenomenal buat si Gombloh ini apa. Artinya kita juga jangan sampai lepas bahwa Gombloh itu selalu dekat dengan orang-orang yang kecil-kecil, seperti yang tadi diceritakan (dipentaskan)," kata Joind.

Ia menjelaskan peristiwa hidup Gombloh dalam monolog dibagi menjadi tiga bagian setting, antara lain di rumah, di Balai Pemuda, sampai akhirnya di lokalisasi.

Joind bercerita mulanya ia ingin memunculkan set panggung yang realis dengan memunculkan rumah dan sebagainya. Namun setelah berdiskusi dengan penata artistik, tim sepakat untuk menghadirkan bingkai-bingkai besar yang disusun di atas panggung. Bingkai tersebut, menurutnya, memiliki arti simbolis.

"Dari menyebut kata frame, aku paham, bahwa setiap orang punya kisah. Nah, kisah-kisah ini kami perbanyak. ... Kalau alur sebetulnya gampang dibaca. Hanya frame-nya, nih, ceritanya dia mau di mana," tutunya.

Gombloh wafat di Surabaya pada 9 Januari 1988. Ketika jenazahya dimakamkan di TPU Tembok Gede, masyarakat Surabaya memenuhi ruas-ruas jalan hingga menyebabkan kemacetan sepanjang lima kilometer dari kompleks pemakaman.

Sosok Gombloh dikenang masyarakat melalui karya-karyanya. Pada 1996, sejumlah seniman Surabaya mengagas pembuatan patung Gombloh yang kemudian ditempatkan di Taman Hiburan Rakyat Surabaya. Lagu-lagunya juga menjadi bahan penelitian karya ilmiah oleh Martin Hatch dari Universitas Cornell, New York, AS.