JAKARTA - Namanya Dom (Jefri Nichol). Asalnya dari Padang. Ia sudah lama menetap di Jakarta. Ketika orang-orang bertanya soal pekerjaannya, dengan tenang dan serius ia menjawab: "Aktor."
Pinkan (Wulan Guritno), perempuan yang baru ia temui di minimarket, menimpali jawaban itu dengan nada tidak percaya. Ratih (Jajang C. Noer), seorang ibu yang menyewakan kamar di rumah rusun, tertawa saat mendengar pengakuan Dom.
Kecuali Khansa (Dea Panendra), mbak-mbak pengguna narkoba yang ia jumpai di gerbong kereta, merespon Dom dengan gestur santai, seolah tak peduli pada ucapan laki-laki itu yang berada di ambang omong kosong dan kesungguhan.
Tetapi begitulah di Jakarta–siapa pun berhak bermimpi. Percakapan sederhana seperti itu tampaknya disempilkan sutradara Ertanto Robby Soediskam dalam film "Jakarta vs Everybody" untuk menunjukkan betapa jamak kota metropolitan memupuk pemimpi yang datang sambil bertaruh.
Dom sudah mengerahkan cara agar mimpi menjadi seorang aktor bisa terwujud, tetapi kenyataan berkata lain. Ketika bertemu dengan pasangan sekaligus partner bandar narkoba Pinkan dan Radit (Ganindra Bimo), pilihan untuk menjadi kurir narkoba tampak lebih realistis bagi Dom yang tengah dilanda kesulitan hidup.
Dikutip dari ANTARA, tema sentral mengenai kerasnya wajah ibukota, lengkap dengan aneka mimpi dan sisi gelap yang menyertai, bak jemu dibicarakan dalam pelbagai karya. Pada saat yang bersamaan, Jakarta sebagai latar tak ubahnya kanvas yang tidak pernah rampung disapu kuas. Lantas yang menjadi pertanyaan, bagaimana "Jakarta vs Everybody" meramu tema klasik agar menjadi suguhan yang istimewa.
Film ini boleh dikatakan jujur membentangkan sebagian kecil dari dinamika sosial ibukota. Dialog dengan umpatan kasar hingga adegan-adegan seks, pergerakan kamera hingga iringan musik, semua bahasa-bahasa itu ditampilkan dekat dengan realitas.
Walau begitu, "Jakarta vs Everybody" barangkali masih bisa bergerak lebih menantang seandainya kompleksitas penokohan Dom dieksplorasi dengan intens. Dom sesungguhnya tokoh yang unik, dia punya motivasi keaktoran yang bisa saja linier dengan pekerjaannya sebagai kurir narkoba.
Apalagi jika penonton menyadari bagaimana Dom memperlihatkan gerak-gerik keaktoran dengan menirukan potongan adegan film ikonik "Taxi Driver" (1976) di hadapan cermin. Ditambah, bagaimana Dom menjalankan operasi sebagai pengantar "barang" hari demi hari dengan mengandalkan kemampuan akting dan intuisi.
Menariknya, Dom melakukan trik "keaktoran" yang beragam agar jejaknya sebagai kurir narkoba tidak tercium–mulai dari menyisipkan obat terlarang di bangku gerbong kereta, di tumpukan telur, di dalam plester, hingga menyamar sebagai pelayan hotel, sebagai pengantar pizza, sebagai waria.
Di sisi lain, karakter-karakter yang beririsan dengan Dom dalam "Jakarta vs Everybody" jauh lebih memikat. Meski fokus cerita tidak meluber dan tidak tumpang-tindih, tetapi jelas dimensi karakter lain telah menghidupkan plot.
Radit dan Pinkan, misalnya, dua karakter ini memperlihatkan bagaimana kompleksitas hubungan sebagai sepasang kekasih yang sudah bertahun-tahun hidup bersama.
Di balik tubuh besar dan penonjolan sifat maskulin, Radit cenderung pencemburu dan obsesif tetapi juga takluk di hadapan Pinkan. Di sisi lain, Pinkan tampil sebagai perempuan yang punya power dan mendambakan kebebasan. Dan Dom sendiri, hampir selalu berada di tengah-tengah Radit dan Pinkan kala pasangan itu berkonflik.
Kontras dengan Radit-Pinkan, kehadiran peran pendukung Khansa dan Ratih–yang hanya muncul sebentar–malah menyediakan ruang bagi Dom untuk merefleksikan makna hidup melalui dialog-dialog ringan, bahkan kadang kala berusaha membawa kelakar walau gelap.
Dalam beberapa kali kesempatan, Ratih menjadi tempat bagi Dom membicarakan ihwal perfilman dan keaktoran saat keduanya menonton film di pelataran rusun. Kendati ibu bergaya nyentrik itu tak sepenuhnya paham dunia film, Dom tak begitu peduli. Di lain kesempatan, Dom sekadar melontarkan tanya apakah Ratih–sebagai manusia Jakarta–pernah merasa lelah dengan hidup.
"Kita nggak boleh pernah capek sama hidup. Kira-kira gitu kan. Kita harus menjalani hidup. Jadi nggak boleh capek. ...Tapi, ya, dalam hidup itu nggak usah bagus-bagus amat. Bisa gila," timpal Ratih. Jika menyimak penuturannya yang terdengar remeh, karakter Ratih sesungguhnya mencerminkan manusia Jakarta yang enggan mematok ekspektasi tinggi terhadap hidup.
Sementara itu, tak disangka-sangka karakter Khansa berkembang dengan apik. Tokoh unik ini memberi kejutan pada penonton di balik image mbak-mbak penumpang kereta biasa yang gemar menonton sinetron di ponsel.
Profesi sebagai perias mayat, pengguna narkoba, serta tabiat periang, semua hal pada diri Khansa seolah menjadi manifestasi paradoks ihwal kehidupan serta kematian yang bersisian amat dekat tetapi keganjilan itu justru disikapi dengan penuh kelaziman.
"Buat gue, hidup itu cuma satu detik dari kematian. Jadi jangan pernah lo sesalin," begitu kelugasan kata-kata yang dilontarkan Khansa kepada Dom.
Pada akhirnya, pertemuan dengan Khansa membuka jalan bagi Dom untuk memikirkan ulang mimpinya. Begitu pula percakapan singkat dengan Radit yang memberi penegasan bahwa sejatinya hidup adalah soal bertahan dan menghadapi apa yang ada di depan mata, lebih penting lagi soal perjalanan ke satu titik.
Sejak itu, di permukaan dinding yang tak rata di kamar sewanya, Dom mulai mencatat daftar mimpi yang ingin ia capai di tahun 2019: yang pertama banyak uang, kedua main film.
BACA JUGA:
"Jakarta vs Everybody" menjadi menarik justru berkat pengemasan dialog dan penutup film yang dibiarkan terbuka, bahkan sebagian besar adegan tak memerlukan dialog eksplisit. Setidaknya dengan begitu, film ini menanggapi tema keresahan pemimpi ibukota dengan tidak jatuh pada penceritaan klise.
Film ini menampilkan adegan intim yang dilakukan pemain termasuk Wulan Guritno dan Jefri Nichol. Mereka pun berusaha memotret sisi gelap Jakarta melalui kisah Jakarta vs Everybody.
“Ada satu adegan intimate sama Nichol dan Bimo. Ya mungkin Bimo umurnya di bawah aku tapi enggak terpaut jauh jadi lebih muda," kata Wulan Guritno.
"Tapi Nichol kan umurnya sama kayak anak pertama saya. Jadi sebelum masuk ke cerita, kita pendekatan ke Nichol,” lanjutnya.
Ganindra Bimo juga merasakan perubahan lantaran harus menaikkan berat badan untuk sesuai dengan karakter Radit.
“Gue mau jadi bandar narkoba yang beda dari stereotype jadi gue naikin berat badan dari 80 ke 90. Seru aja sih gue bisa makan apa aja karena harus stay in shape di karakternya,” kata Ganindra Bimo.