Eksklusif, Surya Darma: Pemanfaatan Energi Hijau di Indonesia Belum Maksimal
Surya Darma. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Bagikan:

Potensi energi hijau atau energi ramah lingkungan di Indonesia amat banyak. Dari enam gugus energi hijau yang ada, Indonesia punya semuanya, mulai dari air, energi matahari, panas bumi, angin, ombak dan biomassa. Keunggulan energi hijau dibandingkan dengan energi dari fosil bisa diperbarui. Sayang energi hijau yang melimpah ini, menurut Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma masih belum maksimal pemanfaatnya. Apa yang menjadi kendala? Kepada tim VOI dia berbagi ulasan.

***

Penggunaan energi fosil yang saat ini masih dominan di Indonesia, perlahan-lahan akan digeser dengan energi hijau yang terbarukan. Namun saat ini kata Surya Darma, PhD., Dipl. Geotherm.Tech., langkah ke arah itu masih harus melalui jalan yang berliku. Penyebabnya belum ada kesatuan irama dalam upaya pemanfaatan energi yang ramah lingkungan ini. Padahal Undang-Undang No 30 Tahun 2007 tentang energi sudah mengatur arah dan kebijakan energi nasional.

“Yang menjadi prioritas adalah energi terbarukan karena kita punya potensi itu. Kami mengusulkan Komisi Energi Nasional yang dipimpin oleh Wakil Presiden. Dalam pembahasan namanya  berubah menjadi Badan Energi Nasional yang dipimpin oleh Presiden. Akhirnya tidak efektif karena presiden menyerahkan tugas ini kepada Menteri ESDM. Perencanaan sudah ada tapi eksekusinya tidak konsisten,” kata Surya Darma yang menjadi ketua tim perumus UU Energi.

Menurut Ketua Lembaga Sertifikasi Profesi Energi Terbarukan ini, pemerintah tidak fokus menangani persoalan energi terbarukan ini. Ia menyarankan agar pemerintah dan semua pihak untuk mengacu kepada UU yang sudah ada. Dan untuk melakukan hal ini harus ada political will yang kuat dari pemerintah.

Dia yakin dengan memanfaatkan energi hijau bisa menjadi pengganti energi fosil. “Kita punya energi terbarukan luar biasa besar, yang sudah dirilis aja sekarang itu ada 400gw. Kalau dibandingkan dengan kebutuhan listrik nasional itu sekarang hanya 70gw, 400gw kan jauh banget,” katanya kepada Iqbal Irsyad, Edy Suherli, Savic Rabos dan Rifai yang menemuinya di Jakarta Golf Club, Rawamangun, Jakarta Timur belum lama ini. Inilah pertikan selengkapnya.

Surya Darma. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)
Caption

Apa problemnya sehingga pemanfaatan energi hijau atau energi terbarukan di Indonesia belum maksimal?

Saya kira kalau kita bicara energi itu harus bicara manajemen. Dalam manajemen itu ada fungsi perencanaan, mengorganisasikan, mengeksekusi dan ada evaluasi. Dari hasil ini bisa dilihat apa ada perencanaan yang belum tepat atau perencanaan yang harus dimodifikasi kembali sampai kemudian mencapai target.

Kalau kita lihat di Indonesia ini  sejak tahun 1980-an memang belum ada sebuah perencanaan yang baik dalam konteks energi. Mau dibawa ke mana  pengolahan energi ini. Yang lebih banyak dilakukan itu adalah menyelesaikan masalah yang timbul, bukan sebuah perencanaan jangka panjang. Bicara soal perencanaan jangka panjang kita bisa melakukan analisa SWOT. Kekuatan kita apa, kelemahan kita apa, potensi kita apa. Kemudian apa saja hambatan-hambatannya.  Nah kalau kita bisa membuat ini kita akan bisa menuju kepada sebuah target atau harapan dalam pengelolaan energi itu akan jauh lebih baik.

Di tahun 1980-an itu Indonesia masih terpaku pada energi fosil?

Dulu kita cuma memanfaatkan energi minyak dan gas bumi karena Indonesia ini kaya, tanpa ada antisipasi suatu saat itu akan habis. Ini yang saya katakan tidak ada sebuah perencanaan dan eksekusi untuk jangka panjang yang baik. Tahun 1980-an itu sudah terbaca kalau ke depan Indonesia akan menjadi negara mengimpor minyak setelah cadangan minyak kita habis. Mulai muncul  pemikiran harus ada kebijakan energi. Waktu itu disusunlah  Kebijakan Umum Bidang Energi tetapi eksekusinya sangat sulit. Karena penanganan sektor energi tidak hanya di satu Kementerian (ESDM), ada juga di Menteri PU, Menteri Pertanian, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional,  dan Menteri Keuangan. Jadi banyak sekali Kementerian yang terkait dan harus dikoordinasikan dengan baik. Kemudian tahun 2000-an muncul pemikiran soal perencanaan pengelolaan energi secara nasional. Lalu keluar Keppres waktu itu yang menjadi acuan tetapi ini sulit dieksekusi. Karena Kementerian tetap pada egonya masing-masing.

Kemudian muncul pemikiran untuk melahirkan undang-undang energi, kebetulan saya ditunjuk menjadi Ketua Tim Perumus. Saat itu saya berpikir ke depan pemanfaatan energi fosil ini bukan lagi menjadi prioritas. Yang menjadi prioritas adalah energi terbarukan karena kita punya potensi itu. Kami juga mengusulkan Komisi Energi Nasional yang dipimpin oleh Wakil Presiden. Dalam pembahasan namanya  menjadi Badan Energi Nasional yang dipimpin oleh Presiden. Akhirnya tidak efektif karena presiden menyerahkan kepada Menteri ESDM. Perencanaan sudah tapi eksekusinya tidak konsisten.

Surya Darma. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)
Surya Darma. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Problemnya sudah tahu bagaimana mengatasinya?

Kembali lagi pada perencanaan seperti amanat undang-undang, dan eksekusinya harus konsisten. Kemudian baru kita kerahkan berbagai kemampuan itu dari sumber daya kemudian manusia kemudian dana untuk mencapai tujuan itu. Kalau keuangan negara terbatas harus cari investor yang bisa memodali. Harus ada political will dari pemerintah dan berbagai pihak untuk menjalankan ini semua.

Saat ini berapa besar ketergantungan produksi listrik kita dari energi fosil?

Tahun 2015 ada Perjanjian Paris. Dalam perjanjian itu orang di seluruh dunia sudah merasakan bahwa dunia ini makin mengalami pengaruh akibat perubahan iklim. Perubahan iklim penyebabnya apa? Penyebab perubahan iklim yang paling besar itu adalah karena emisi karbon yang menyebabkan temperatur naik dan menyebabkan perubahan iklim. Sebagai negara kepulauan Indonesia paling berkepentingan karena akan terpengaruh.

Oleh karena itu sejak itu orang berpikir bagaimana cara menurunkan emisi. Untuk mengurangi emisi diupayakan pada 2050 nanti penggunaan energi fosil harus dikurangi dan berganti dengan energi terbarukan agar tercapai zero emisi di tahun 2050. Caranya dengan satu;  kita punya potensi kehutanan yang cukup banyak dan itu bisa menyerap karbon. Saat hutan dikelola dengan baik bisa membantu menurunkan emisi sampai 17 persen. Kedua dari sektor energi bisa turunkan sampai 11 persen.  

Yang lainnya adalah penggunaan minyak bumi untuk transportasi. Kalau tidak bisa dikurangi juga sulit. Transportasi pelan-pelan harus beralih ke listrik, tapi listriknya juga harus disuplai dari energi terbarukan.

Anda pernah mengungkapkan kalau pembangunan PLTA di sungai Kayan Kalimantan Utara yang dilakukan PT Kayan Hydro Energy bisa menjadi contoh karena diikuti dengan pembangunan kawasan industri di sekitarnya?

Kebutuhan untuk Indonesia tahun 2050, 2040, 2030 itu sudah dibuat perkiraannya. Dengan pertumbuhan ekonomi segini  maka pertumbuhan energi dibutuhkan sebanyak ini.  Itu ada rumusnya untuk menghitung kebutuhan  energi itu, namanya supply side management. Sekarang kita tidak tahu di mana kebutuhannya. Karena itu harus dibuat demand side management. Supaya sejalan dengan potensi yang dimiliki ada dua hal yang diatur. Seperti di Kayan sekarang dia potensinya besar, kan tidak bisa Kayan itu dipindahkan ke Jawa. Solusinya kawasan industrinya dibangun di sekitar Kayan. Bukan dibangun di Cikarang. Nanti kalau sudah jadi barang produksinya baru kita angkut ke tempat tujuan. Inilah yang disebut demand side management. Konsep yang digunakan adalah Renewable Energy Based Industrial Development (Rebid) dan Renewable Energy Based Economic Development (Rebad).

Pembangunan bendungan yang akan dilakukan oleh Kayan Hydro Energy, apa bisa dikombinasikan dengan sektor lain?

Itu sangat bisa, seperti yang dilakukan di Waduk Cirata. Di sana selain untuk PLTA juga menjadi tempat wisata, dan tempat budidaya ikan. Jadi di sana memang multifungsi. Dalam waktu dekat di atas waduk Cirata itu akan dibangun PLTS terapung yang terbesar di kawasan Asia dengan kapasitas 145mw. Air yang digunakan untuk PLTA bisa dipompa balik lagi ke waduk dengan energi listrik dari PLTS tadi. Jadi siklusnya begitu, sisa airnya bisa untuk mengairi sawah atau kebutuhan lainnya seperti untuk PDAM. Jadi pola seperti itu bisa diterapkan juga di Kayan.

Apakah pemerintah sudah memberikan sudah memberikan support kepada investor untuk berinvestasi di energi terbarukan ini?

Pemerintah sudah seharusnya memberikan kemudahan kepada investor yang ingin investasi di sektor energi terbarukan ini. Suasana harus dikondisikan, regulasi harus atraktif, begitu juga dengan situasi politik, keamanan, ekonomi dan semuanya. Agar mereka bisa berharap setelah berinvestasi modalnya bisa kembali. Dan yang terpenting adalah kepastian hukum. Urusannya tidak berbelit, transparan dan soal perizinan juga jelas.

Jadi dengan menggunakan energi hijau ini bisa menggantikan energi fosil?

Bisa sekali karena potensinya memang besar. Ke depan dunia akan beralih dari penggunaan energi fosil menjadi energi terbarukan.  Setelah 2050 energi dunia akan dimonopoli oleh energi matahari, angin, dan air. Bagaimana berlomba untuk penelitian untuk beralih dari energi fosil menuju energi terbarukan.

Surya Darma, Antara Olahraga dan Silaturahmi 

Surya Darma. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)
Caption

Olahraga memiliki multidimensi bagi Surya Darma. Tak sekadar bergerak dan melatih fisik yang muaranya kebugaran tubuh. Namun dengan berolahraga ia bisa menjalin komunikasi dengan sejawat dan menjaga silaturahmi.

Pria berdarah Aceh ini menyukai semua cabang olahraga. Dan itu dilakoninya sejak belia hingga kini. “Saya pada dasarnya suka semua jenis olahraga. Dulu saya suka sepak bola, bola voli, tenis, basket, lari, lompat tinggi, sepeda dan lain sebagainya,” katanya.

Olahraga yang paling simpel  dilakoninya Surya adalah lari. “Kalau tugas ke luar kota saya tinggal bawa sepatu lari dan pakaian olahraga saja sudah cukup. Kan tidak perlu tempat khusus untuk berlari atau jogging. Di mana-mana bisa asal cuacanya mendukung. Usai salat subuh saya tinggal lari sekitar satu jam. Setelah itu baru beraktivitas yang lain. Gampang sekali kan,” katanya yang sudah menjadikan olahraga sebagai kebutuhan dalam hidupnya.

Namun belakangan dia lebih intens bermain golf. “Golf itu tidak sering tapi saya jalani saja. Kebetulan saya jadi member di JGC,” katanya.

Apa tantangan bermain golf?  “Tantangan bermain golf itu untuk saya adalah diri sendiri. Saat bermain golf kita dituntut untuk jujur. Kalau kita memukul harus jujur, kita pukul satu ya satu, dua ya dua. Saat kita pukul bolanya pada titik tertentu tidak bisa kita pindahkan. Atau misalnya karena engga ada yang lihat trus digeser bolanya, itu namanya sudah engga jujur,” tambahnya pria yang menyelesaikan studinya di Fakultas Geologi ITB dan melanjutkan ke  Dipl. in Geotherm. Energy Technology, Auckland University, New Zealand. Kemudian melanjutkan ke jenjang S3 di  bidang Administrasi Bisnis, di salah satu perguruan tinggi di USA.

Surya Darma. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)
Surya Darma. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Selain itu golf juga melawan diri sendiri. “Orang lain boleh saja bisa melakukan pukul tertentu, trus kita juga pengen melakukan hal sama. Padahal kemampuan kita tidak  mendukung, itu tidak bisa. Kita harus realistis dengan kemampuan yang kita miliki. Konsentrasi, fokus dan sesuai dengan kemampuan,” lanjutnya memebrikan tips dalam bermain golf yang dia lakoni.

Buat Surya Darma bermain golf bukan untuk diseriusi atau mencari prestasi. Baginya selain untuk kebugaran dengan bermain golf ia bisa menjaga persahabatan. “Buat saya bermain golf itu bukan untuk prestasi, cuma untuk menyalurkan hobi saya berolahraga. Dan plusnya lagi saya bisa menjaga bersahabatan dengan teman, relasi dan kolega sembari bermain golf ini,” lanjutnya.

Bermacam-macam kolega bisa berjumpa di lapangan dan itu membuat Surya senang. “Saya bisa bertemu dengan kolega kantor, komunitas. Ada club ITB, club Geologi, club Aceh, club Energi, club Pertamina dan sebagainya. Semua itu menjadi ajang silaturahmi bagi saya dengan semua kolega itu,” kata pengagum Greg Norman dan Tiger Wood ini.

Menulis

Selain itu ia juga hobi menulis. Semua ini terjadi karena sejak mahasiswa di ITB, Surya aktif dalam organisasi Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia. Kebiasaan menulis itu masih doilakoni sampai kini. Bahkan di masa pandemi COVID-19 ini sudah beberapa buku dia hasilkan.

Surya Darma. (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)
Caption

“Selama pandemi COVID-19 ini karena tak bisa banyak bepergian saya kemudian menyibukkan diri dengan menulis buku. Alhamdulillah selama masa pandemi ini sudah empat buku saya hasilkan,”ungkapnya.

Kiprah  sebagai seorang ahli dalam bidang Geothermal membuat kiprah Surya tak hanya di level Indonesia bahkan juga dunia. Ia tercatat sebagai  Board of Director of the International Geothermal Association (IGA)  2007 - 2023, membuat ia sering travelling ke berbagai negara.  “Selama 16 tahun saya menjabat di Lembaga Gepthermal dunia yang kantor dan aktivitasnya bermindah-pindah dari satu negara ke negara lain,” katanya

Dan selama menjalankan tugas di manca negara itu, Surya dan bersama istri menjajal mengalaman baru menjelajahi pelosok negeri di mana dia bertugas. “Saya suka mencoba hal baru di negara tempat saya bertugas, seperti mencoba naik kendaraan umumnya, kereta api, bus dan sebagainya. Sangat menyenangkan bisa menikmati suasana di sana,” katanya.

Kepada generasi muda Surya Darma berpesan untuk selalu mengembangkan talenta yang dimiliki. “Anak-anak muda sekarang talentanya banyak. Jangan terpengaruh pada orang lain, fokus dan kembangkan apa yang dimiliki. Jangan berpikir itu tidak trend. Apa saja akan bermanfaat suatu hari nanti. Yang penting harus professional. Insya Allah akan bermanfaat,” katanya menyudahi perbincangan.

“Pemerintah sudah seharusnya memberikan kemudahan kepada investor yang ingin berinvestasi di sektor energi terbarukan ini. Suasana harus dikondisikan, regulasi harus atraktif, begitu juga dengan situasi politik, keamanan, ekonomi dan semuanya. Agar mereka bisa berharap setelah berinvestasi modalnya bisa kembali. Dan yang terpenting adalah kepastian hukum. Urusannya tidak berbelit, transparan dan soal perizinan juga jelas,”

Surya Darma