Indonesia memiliki potensi energi surya yang sangat besar. Menurut data Kementerian ESDM, potensi energi surya Indonesia mencapai 3.300 GW. Saat ini yang baru dimanfaatkan sebesar 200 MW saja. Karena itu, Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Fabby Tumiwa, menyambut baik peresmian PLTA Terapung di Waduk Cirata kapasitas 145 MW oleh Presiden Jokowi pada Kamis, 9 November. Meskipun jarak antara potensi dan pemanfaatan masih jauh, ini adalah upaya yang harus diapresiasi. Ada beberapa kendala yang membuat pemanfaatan energi baru dan terbarukan ini belum maksimal.
***
Kementerian ESDM telah mempublikasikan peta jalan kebijakan energi nasional. Targetnya emisi nol bersih (Net Zero Emission / NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat. Untuk menuju target tersebut, penggunaan EBT menjadi keniscayaan. Karena itu, transisi dari penggunaan energi fosil menuju EBT terus diupayakan oleh pemerintah. Karena Indonesia memiliki sumber EBT yang amat besar, yaitu sebesar 3.687 GW, namun dikelola secara maksimal. Dari jumlah itu, energi surya menempati posisi tertinggi dengan 3.300 GW, hidro 95 GW, bioenergi 57 GW, bayu 155 GW, panas bumi 23 GW, laut 63 GW. Di luar itu, terdapat potensi uranium 89.483 ton dan Thorium 143.234 ton.
Lalu mengapa potensi energi yang besar ini belum dikelola secara optimal, khususnya untuk energi surya yang potensinya paling besar di antara energi yang lain? “Mulanya teknologinya masih mahal, namun belakangan makin ke sini makin murah dan terjangkau. Sektor perbankan dan lembaga keuangan masih belum memberikan dukungan penuh berbeda dengan sektor lain,” katanya.
Masih ada yang khawatir dengan energi surya karena sifatnya intermittent. Namun keadaan ini tak perlu dikhawatirkan karena di Indonesia memiliki iklim tropis dan hanya punya dua musim. “Sepanjang tahun, intensitas radiasi matahari ada. Yang berbeda adalah energi yang didapatkan dalam KWH memang lebih rendah saat musim hujan. Radiasi sinar matahari di Indonesia rata-rata berkisar antara 4,2 KWH per m2 sampai 5,5 KWH per m2. Bagaimana dengan negara empat musim, mereka lebih parah dari kita. Itu saja mereka tak masalah,” terang Fabby Tumiwa.
Satu lagi yang menjadi selling point dari energi surya adalah sifatnya yang adaptif. “PLTS bisa dipasang di mana saja asalkan terkena sinar matahari langsung. Ini bisa dipasang di atas atap, di atas tanah, di atas air (terapung), di atas lahan pertanian, bahkan di atas jalan tol,” tukasnya.
Fabby Tumiwa yang juga sebagai Direktur Eksekutif dari Institute for Essential Services Reform (IESR) berharap pemanfaatan energi surya ini akan semakin besar. “PLTS Terapung Cirata adalah yang terbesar di Asia Tenggara dengan kapasitas 145 MW AC. Bahkan akan diperluas, bisa dua kali lipat dari yang ada saat ini,” katanya kepada Edy Suherli dan Irfan Medianto dari VOI yang menemuinya di bilangan, Tebet Ecopark, Jakarta Selatan, belum lama berselang. Inilah petikan selengkapnya."
Penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT) sudah menjadi isu sejak beberapa tahun belakangan. Sejauh mana tenaga surya sudah dioptimalkan?
Di negeri kita, masih sangat sedikit yang memanfaatkan energi surya. Kita lihat data dari Kementerian ESDM, jumlah kapasitas terpasang pembangkit tenaga surya di Indonesia sampai pertengahan tahun ini hanya sekitar 200 MW. Bandingkan dengan total kapasitas pembangkit energi terbarukan di Indonesia yang sudah mencapai 14.000 MW. PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) itu hanya 200 MW, kecil sekali dibandingkan dengan seluruh pembangkit energi terbarukan yang sudah beroperasi di Indonesia.
Berapa besar potensi energi surya yang dimiliki Indonesia?
Jika kita mengambil data dari Kementerian ESDM, bahwa potensi energi surya kita mencapai 3.300 GW. Ini sedikit lebih rendah dari data yang kami miliki. Kami melakukan kajian sebelum Kementerian ESDM mempublikasikan potensi energi surya kita. Kami menemukan potensi PLTS berdasarkan ketersediaan lahan yang cocok tanpa harus membangun atau menggusur, potensinya mencapai 3.400 hingga 20.000 GW. Sementara yang baru terpasang hanya sekitar 200 MW, jauh sekali dari potensi yang ada dengan apa yang sudah kita gunakan.
Apa kendalanya, kok masih kecil energi surya yang termanfaatkan?
Energi surya ini sebenarnya sudah cukup lama dikembangkan di Indonesia. Sejak tahun 70-an sudah ada riset mengenai hal ini. Pembangkit tenaga surya belum terlalu komersial tapi sudah mulai berkembang. Awalnya digunakan untuk satelit di ruang angkasa, selanjutnya untuk keperluan non-ruang angkasa. Indonesia sendiri sudah lebih awal menggunakan tenaga surya, mulai dari tahun 80-an. Kita menggunakannya untuk menyediakan listrik di desa-desa terpencil. Salah satu percontohan yang terkenal saat itu adalah Desa Mekarsari. Namun, penggunaan energi surya masih relatif mahal. Kebijakan energi kita secara perlahan menggantikan penggunaan energi fosil menjadi energi baru dan terbarukan, seperti tenaga air dan panas bumi.
Pada akhir 1990-an dan awal 2000-an, kita mulai mengembangkan industri batu bara seiring dengan meningkatnya pertambangan batu bara setelah reformasi. Daerah-daerah memberikan izin penambangan batu bara, dan produksi batu bara meningkat dengan harga yang lebih murah. Jadi, salah satu alasan kenapa kita beralih menggunakan batu bara adalah karena dianggap lebih murah, meskipun sebenarnya tidak sepenuhnya murah. Sebelum tahun 2010, teknologi PLTS masih mahal, tetapi setelah itu harga PLTS turun. Pemerintah dan PLN sudah menggunakan tenaga surya untuk daerah-daerah terpencil. Baru pada tahun 2015 muncul PLTS skala besar. Setelah diterbitkannya Peraturan Menteri ESDM nomor 49 tahun 2018 yang memungkinkan pemasangan PLTS di atas atap rumah konsumen PLN, kondisinya menjadi lebih kondusif. Bisnis PLTS atap mulai berkembang, meskipun masih dalam skala kecil.
Masih ada yang menganggap PLTS ini belum bisa diandalkan, karena listrik hanya tersedia saat ada sinar matahari. Bagaimana Anda menjelaskan hal ini pada publik?
Memang sebagian besar orang masih khawatir dengan sifat intermitten-nya, karena mereka takut bahwa ini akan mempengaruhi kualitas pasokan listrik dan berdampak pada biaya untuk menjaga keamanan dan stabilitas pasokan. Oleh karena itu, ada keragu-raguan untuk mengintegrasikan PLTS dalam skala yang lebih besar ke dalam sumber tenaga listrik.
Apakah regulasi yang ada sudah cukup mendukung penggunaan tenaga surya ini?
Regulasi, saya kira, sudah cukup, terutama setelah penerapan sistem net metering. Pengguna PLTS atap bisa menyumbangkan listrik yang dihasilkan saat siang hari ke PLN. Pelanggan dapat mendapatkan kompensasi sekitar 65 persen dengan sistem ini. Namun, regulasi ini direvisi karena PLN mengalami over-suplai listrik. Aturan ini membuat PLTS atap menjadi kurang menarik. Diharapkan setelah over kapasitas PLN normal kembali, peraturannya akan kembali mendukung penggunaan net metering.
Pemerintah baru saja meresmikan bursa karbon, apa implikasinya untuk penggunaan tenaga surya?
Kita masih melihat perkembangan berikutnya setelah bursa karbon diberlakukan. Yang jelas, dengan penggunaan PLTS bisa membantu mengurangi efek rumah kaca yang menjadi kekhawatiran selama ini. Di Australia, perusahaan yang menggunakan PLTS mendapat dukungan pemerintah, karbon kreditnya dibayari pemerintah. Bagi yang menggunakan listrik hijau, ada kompensasinya. Di kita belum seperti itu. Ke depan, kita berharap akan menyusul agar dapat menyemangati publik menggunakan EBT termasuk energi surya.
Di Indonesia, ada musim panas dan musim hujan. Saat musim hujan, bagaimana mensiasati keadaan bagi pengguna PLTS?
Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Sepanjang tahun, intensitas radiasi matahari ada. Yang berbeda adalah energi yang didapatkan dalam KWH memang lebih rendah saat musim hujan. Radiasi sinar matahari di Indonesia rata-rata berkisar antara 4,2 KWH per m2 sampai 5,5 KWH per m2. Bagaimana dengan negara empat musim, mereka lebih parah dari kita. Itu saja mereka tak masalah.
Apakah lembaga keuangan sudah mendukung perusahaan atau perorangan yang ingin membangun PLTS?
Dukungannya masih minim sekali. Ada beberapa lembaga keuangan dan perbankan yang bergabung dengan AESI, mereka sudah memberikan pinjaman untuk perusahaan atau perorangan yang mau membangun PLTS. Tapi ini belum banyak yang memberikan. Ada juga yang sudah memberikan pinjaman, tetapi suku bunganya masih setara dengan bunga kartu kredit. Ini masih memberatkan. Kita berharap lembaga keuangan bisa memberikan bunga yang menarik dan tenornya agak panjang, kalau bisa lebih dari 7 tahun.
Secara sederhana, bagaimana estimasi hitungan untuk mereka yang ingin memasang PLTS di atap rumahnya?
Menggunakan PLTS, kita dapat menghemat biaya saat menggunakan listrik di rumah. Mereka yang memasang PLTS atap bisa hemat 15 sampai 20 persen. Itu didapat dari penghematan biaya listrik yang kita bayarkan setiap bulannya, yang bisa digunakan untuk mencicil peralatan PLTS atap yang kita beli melalui kredit bank, misalnya. Setelah masa waktu mencicilnya selesai, kita akan menikmati hematnya pembayaran listrik, karena sebagian sudah terpenuhi oleh PLTS atap, jadi tidak semua listrik kita bayar, sebagian dari PLTS atap yang ada.
Untuk penggunaan alat di PLTS atap itu bisa berapa lama?
Selama ini, modul surya yang digaransi oleh pabrikan itu 15 sampai 20 tahun, tidak rusak. Panel surya ini memang mengalami degradation rate, berkurang dari tahun ke tahun, seperti peralatan pada umumnya. Namun, selama tidak rusak, itu masih bisa digunakan sampai rusak, bisa sampai 30 tahun atau lebih.
Tapi tetap cuan kalau memasang PLTS atap ya?
Secara bisnis, ya cuan dong. Cuma setelah sepuluh tahun, daya serap listrik dari sinar matahari akan berkurang sekitar 10 persen.
BACA JUGA:
Dari asosiasi apa ada program untuk mengedukasi masyarakat agar mau menggunakan tenaga surya ini?
Kalau kami di asosiasi, tentunya yang pertama adalah untuk anggota terlebih dahulu. Sebagian besar anggota kami adalah pengembang dan juga UMKM. Asosiasi dan anggota sering mengadakan acara untuk memberikan edukasi pada masyarakat. Ada juga yang sudah memiliki website seperti www.solarhub.id yang bisa membantu seseorang menghitung jika ingin memasang PLTS atap. Pokoknya, jangan ragu untuk bertanya, sekarang sudah banyak yang dapat memberikan bantuan.
Perkembangan teknologi modul surya semakin maju, yang terbaru seperti apa efisiensi modul surya saat ini?
Untuk PLTS, perkembangannya semakin berkembang. Peningkatan efisiensi adalah seberapa banyak sinar matahari yang dapat dikonversi menjadi listrik. Sepuluh tahun lalu, rata-rata efisiensinya antara 12 sampai 15 persen. Sekarang, angkanya sudah naik menjadi 20 persen. Biaya pembuatan PLTS juga semakin murah dan terjangkau. Ukurannya lebih tipis dan masa pakainya juga lebih lama. Panel surya yang sudah tak terpakai juga dapat didaur ulang. Ini perlu dikuatkan dengan regulasi pemerintah agar memberikan manfaat bagi masyarakat.
Pemerintah membangun PLTS apung di Cirata, selain di sana, di mana lagi yang patut dicatat?
Pada dasarnya, PLTS bisa dipasang di mana saja asalkan terkena sinar matahari langsung. Ini bisa dipasang di atas atap, tanah, air, lahan pertanian, bahkan di atas jalan tol. Cirata adalah yang terbesar di Asia Tenggara dengan kapasitas 145 MW AC. Bahkan akan diperluas, besarannya belum saya ketahui. Tapi maksimum bisa digunakan lebih dari lima persen, jadi bisa dua kali lipat dari yang ada saat ini. Dalam skala yang lebih kecil, ada juga di Kupang (NTT), Lombok (NTB), Likupang (Sulut).
Ke depan, penggunaan energi surya ini sangat menjanjikan, bukan begitu?
Ya, karena kita memiliki potensi tenaga surya yang cukup besar dan belum dimanfaatkan. Di Eropa dan Amerika sudah berkembang PLTS di atas lahan pertanian, disebut agrivoltage. Di kita belum, semoga bisa ada yang memulai dan regulasi juga mendukung. Beberapa kasus lahan yang ditutupi PLTS produktivitasnya naik 20 sampai 30 persen. Karena PLTS berfungsi sebagai pelindung, sehingga evaporasinya lebih rendah. Jadi masih sangat bisa untuk dikembangkan di Indonesia. Teknologi PLTS ini sangat adaptif. Butuh dukungan dari semua pihak, mulai dari pemerintah, perbankan, dan juga dukungan masyarakat.
Institute for Essential Services Reform (IESR) pernah menghitung, jika semua rumah dan bangunan di Indonesia dipasang PLTS atap, itu bisa menghasilkan energi listrik sebesar 500 sampai 655 GW. Belum lagi jika ada PLTS apung atau di lahan lainnya. Ini jumlah yang besar. Ke depan, PLTS dan juga EBT lainnya akan membantu sekali untuk mengurangi emisi dan efek rumah kaca.
Tak Hanya Kebugaran, Ini Arti Penting Olahraga bagi Fabby Tumiwa
Meski sibuk dengan beragam aktivitas, Fabby Tumiwa yang kini menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) tak akan meninggalkan aktivitas olahraga. Baginya, olahraga sudah seperti makanan pokok. Ada sesuatu yang hilang saat dia tak bisa berolahraga. “Bagi saya, olahraga itu bukan hanya untuk mencari kebugaran tubuh, tapi juga untuk melepas stres akibat pekerjaan yang menumpuk. Setelah berolahraga, saya jadi rileks,” katanya.
Di tengah kesibukan yang tinggi, bagaimana dia menyempatkan untuk berolahraga? “Saya memang sibuk dengan organisasi macam-macam, tapi kalau personal sih saya enggak terlalu banyak. Yang pertama yang saya urus adalah keluarga dan anak-anak. Di tengah kesibukan itu saya harus menyempatkan waktu untuk berolahraga,” katanya.
Karena pekerjaan dan jabatan yang kini dia pegang, Fabby banyak bepergian ke berbagai kota di Indonesia bahkan ke manca negara. “Saya juga banyak bepergian untuk urusan pekerjaan. Ada juga perjalanan bersama keluarga,” lanjut lilusan Teknik Elektro Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah.
Satu lagi hobi dan kebiasaan yang rutin dilakukannya adalah membaca. “Saya suka sekali membaca. Nyaris semua yang saya baca, mulai dari buku fiksi dan non-fiksi, serta surat kabar baik terbitan dalam negeri maupun manca negara,” lanjut pria yang memiliki banyak koleksi buku ini.
Sehubungan dengan pekerjaan, Fabby banyak membaca buku referensi dan jurnal. “Biasanya saya membutuhkan referensi untuk riset. Banyak buku dan jurnal yang harus saya baca. Kadang membaca buku fisik, tapi kadang juga e-book yang ada di iPad atau audio book. Tak hanya di kantor, kadang dalam perjalanan menuju kantor pun saya menggunakan waktu untuk membaca buku,” lanjutnya.
Olahraga Setiap Hari
Setiap hari, Fabby Tumiwa tak pernah tinggal berolahraga. “Saya berolahraga rutin, nyaris setiap hari saya berolahraga. Saya suka olahraga lari. Jadi, tiap pagi pasti lari pagi,” ungkapnya.
Dulu saat pandemi COVID-19 melanda, dia memiliki lebih banyak waktu untuk berolahraga. “Saat pandemi, saya bisa berlari lebih panjang. Sekali berlari bisa sampai 10 km sampai 12 km. Kalau sekarang hanya bisa sekitar 5 km saja. Kalau akhir pekan baru ada waktu yang cukup. Jadi, larinya bisa sampai 15 km sampai 20 km,” kata pria yang juga pendiri Institute for Essential Services Reform (IESR) ini.
Sekarang, Fabby sedang mempersiapkan diri untuk mengikuti marathon. “Saya sedang menyiapkan diri untuk ikut half marathon dulu. Kalau sudah biasa, baru ikut full marathon,” ungkapnya. “Bali Marathon oke, selanjutnya kota-kota lain. Kalau ada rejeki, bisa ikut major marathon di Boston, Chicago, New York, Berlin, London dan Tokyo,” tambahnya.
Selain lari, olahraga selingan yang dilakukannya adalah sepeda dan bulu tangkis. “Selain lari, untuk selingan saya berolahraga sepeda, baik indoor dengan sepeda statis atau on the road. Kadang-kadang saya main bulu tangkis dengan kolega dan teman-teman,” lanjut Fabby yang juga anggota Grup Konsultatif Tingkat Tinggi (HLCG) dari Percepatan Transisi Energi.
Banyak manfaat yang dirasakannya dengan rutin berolahraga. “Buat saya, olahraga itu selain untuk kebugaran juga untuk stress release. Hormon yang bisa mengurangi stres keluar dengan berolahraga,” lanjutnya.
Karena sudah menjadi kebiasaan, ada sesuatu yang hilang saat tidak berolahraga. “Buat saya, moodnya jelek kalau tidak berolahraga. Energi saya kurang optimal saat tidak bisa berolahraga,” katanya.
Waktu untuk Keluarga
Fabby Tumiwa termasuk orang yang bisa melakukan beberapa aktivitas dalam waktu yang bersamaan. Saat berlari, dia bisa sambil mendengarkan podcast yang sekarang banyak dibuat oleh para konten kreator. “Jadi, sambil lari, bisa mendengarkan audio book atau podcast. Sambil berolahraga, saya juga dapatkan informasi baru,” lanjut Fabby yang mempelajari Tata Kelola Industri Ekstraktif di Central European University.
Dalam urusan makanan, dia termasuk orang yang tidak memiliki banyak pantangan. Namun, karena usianya sudah tak muda lagi, ada kesadaran dari dirinya untuk mulai mengurangi asupan makanan tertentu. “Di usia sekarang, saya sudah mulai mengurangi asupan makanan yang mengandung lemak, garam, dan kolesterol untuk menghindari penyakit-penyakit degeneratif,” tukas pria yang pernah belajar soal Kebijakan Energi dan Iklim di Sekolah Fletcher Universitas Tufts.
“Jadi, untuk urusan makanan, saya tidak ada pantangan. Cuma ada upaya untuk mengurangi. Saya sudah jarang sekali makan gorengan. Untuk makanan dan minuman manis-manis, serta yang mengandung lemak tinggi, juga saya kurangi,” tambahnya, yang juga mengatur asupan kalori agar bobot tubuhnya tak berlebihan.
Meski sibuk dengan urusan kantor dan juga kegiatan berolahraga, Fabby Tumiwa tetap punya waktu untuk keluarga. “Selalu ada waktu untuk keluarga, anak, istri, dan orang tua. Akhir pekan biasanya saya luangkan waktu untuk keluarga, baik keluarga inti atau keluarga besar,” pungkasnya.
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Sepanjang tahun intensitas radiasi matahari ada. Yang berbeda energi yang didapatkan dalam KWH memang lebih rendah saat musim hujan. Radiasi sinar matahari di Indonesia itu rata-rata berkisar antara 4,2 KWH per m2 sampai 5,5 KWH per m2. Bagaimana dengan negara 4 musim, mereka lebih parah dari kita. Itu saja mereka tak masalah,"