Bagikan:

Aksi penguntitan yang dilakukan oknum Densus 88 atas Jampidsus Febrie Adriansyah sontak menjadi berita besar di hampir semua media di Indonesia. Menurut Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso, apa yang dilakukan oknum tersebut adalah pelanggaran. Dari kasus ini jelas tergambar bahwa hubungan antara Kepolisian dan Kejaksaan sedang tidak baik. Dua institusi penegak hukum ini terlihat saling berebut lahan dalam penanganan kasus timah.

***

Sejatinya, sesama lembaga penegak hukum itu harus bahu-membahu untuk menegakkan hukum dan menciptakan keadilan. Tetapi yang dipertontonkan oknum Densus 88 dengan memata-matai Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus (Jampidsus) sangat jauh dari tugas sehari-harinya, yaitu mengendus terorisme. “Ini adalah tindakan yang tidak baik. Dia bertindak tidak dalam komando resmi kepolisian. Seorang brigadir polisi kok menguntit Jampidsus? Tujuannya apa?” ujar Sugeng Teguh Santoso.

Sadar kalau aksi spionase yang dilakukan oknum yang berinisial IM itu bisa merusak citra dan menggerus kepercayaan publik kepada lembaga penegak hukum, para pejabat terkait pun angkat bicara. Menko Polhukam Marsekal TNI (Purn) Dr. (HC) Hadi Tjahjanto, SIP, Kapolri Jenderal Pol. Drs. Listyo Sigit Prabowo, MSi, dan Jaksa Agung Prof. Dr. H. Sanitiar Burhanuddin, SH, MM, bersuara kompak. “Tidak ada apa-apa, semua baik-baik saja,” demikian pernyataan yang dikemukakan kepada pers.

Namun pernyataan bahwa tidak ada apa-apa ini justru menimbulkan tanda tanya besar. “Cara orang berkomunikasi itu punya tujuan. Simplifikasi persoalan dengan mengatakan tidak ada apa-apa itu menurut saya bisa dilihat sebagai upaya untuk melokalisir persoalan. Tapi masyarakat, dan media juga punya cara sendiri untuk membahas soal ini,” tukas Sugeng.

Aksi ini membuktikan bahwa hubungan antara kedua lembaga penegak hukum ini sedang tidak baik-baik saja. “Boleh saja Menko Polhukam bilang tidak ada apa-apa, semua baik-baik, dan Jaksa Agung serta Kapolri senyum-senyum usai dipanggil Presiden Jokowi. Tapi apakah demikian realitasnya?” kata Sugeng Teguh Santoso retoris kepada Edy Suherli dan Dandi Januar saat melakukan wawancara khusus di kantor VOI di bilangan Tanah Abang, Jakarta Pusat, belum lama ini. Inilah petikan lengkapnya.

Antara Kepolisian dan Kejaksaan dalam pandangan  Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso terdapat aroma rebutan lahan di balik hebohnya kasus penguntitan Jampidsus Febri Andriansyah. (Foto Dandi Januar, DI Raga Granada VOI)
Antara Kepolisian dan Kejaksaan dalam pandangan  Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso terdapat aroma rebutan lahan di balik hebohnya kasus penguntitan Jampidsus Febri Andriansyah. (Foto Dandi Januar, DI Raga Granada VOI)

Kepolisian kembali mendapat sorotan karena oknum anggota Densus 88 melakukan penguntitan pada Jampidsus Febrie Adriansyah, menurut Anda apa yang terjadi di balik ini?

Ini adalah tindakan yang tidak baik. Dia bertindak tidak dalam komando resmi kepolisian, brigadir polisi menguntit Jampidsus. Menurut informasi yang saya terima, ada oknum atasan brigadir polisi yang memerintahkan. Untuk kepentingan apa? Ini yang harus didalami lagi. IPW menyarankan Propam melakukan pemeriksaan atas kasus ini. Dan Paminal sudah menjemput polisi yang melakukan pelanggaran itu. Saya berharap akan diproses atas kesalahan kode etik dan disiplin ini.

Mengapa Jampidsus yang diintai, ini benar-benar tanda tanya banyak pihak?

Ya, banyak sekali yang mempertanyakan hal ini. Saat ini Jampidsus Febrie Adriansyah sedang menangani kasus dugaan korupsi timah yang nilainya Rp271 triliun. Dalam pemeriksaan ini muncul nama Jenderal Purnawirawan Polri yang berinisial B yang dipublikasikan media mengutip keterangan Iskandar Sitorus, sekretaris IAW (Indonesia Audit Watch). Ini hasil penyidikan yang dibocorkan. Pengungkapan inisial B ini menimbulkan polemik. Soalnya, ada 4 orang jenderal purnawirawan polisi dengan inisial B: Budi Gunawan, Bambang Hendarso Danuri, Badrodin Haiti, dan Da’i Bachtiar. Ini bias dan merugikan keempat nama ini. Kalau Kejaksaan ingin meminta keterangan, panggil saja yang diduga terlibat, tidak perlu ragu.

Purnawirawan Jenderal Polisi ini apa masih punya pengaruh untuk memerintahkan polisi yang masih aktif?

Itu yang perlu diselidiki lebih dalam. Yang jelas, apa yang dilakukan oknum Densus 88 itu di luar perintah institusi. Dan dia tidak bekerja sendirian, ada atasannya. Itu yang harus diperiksa siapa saja. Ini harus dijelaskan untuk membersihkan nama kepolisian.

Apakah dengan kasus ini bisa dikatakan hubungan Kejaksaan dan Kepolisian sedang tidak baik?

Aksi yang dipertontonkan secara gamblang di depan publik seorang anggota Densus 88 yang menguntit Jampidsus adalah bukti kalau hubungan Polri dan Kejaksaan Agung sedang tidak baik-baik saja. Boleh saja Menko Polhukam bilang tidak ada apa-apa, semua baik-baik, dan Jaksa Agung serta Kapolri senyum-senyum usai dipanggil Presiden Jokowi. Mereka juga bilang tidak ada apa-apa dan semua baik-baik saja. Tapi apakah demikian realitasnya?

Dalam teori diferensiasi, fungsi kejaksaan dan kepolisian punya fungsi yang berbeda. Kepolisian menurut KUHAP punya kewenangan penyidikan, sedangkan Kejaksaan kewenangan penuntutan. Semestinya kedua institusi ini berkolaborasi, bukan berseteru dan rebutan lahan. Lalu dalam UU tambang, kalau ada tindak pidana di lingkungan pertambangan itu wilayah kepolisian. Nah, dalam soal tambang ini diambil alih kejaksaan, makanya saya bilang antara kedua lembaga ini sedang tidak baik-baik saja.

Kejaksaan berdalih kalau ada dugaan korupsi besar dalam kasus timah ini?

Oh tentu akan menggunakan dalih itu agar mereka bisa masuk dan ikut menangani kasus dugaan korupsi timah ini.

Idealnya penegak hukum itu bersinergi berantas kasus, yang terlihat mereka justru bersaing. Apakah Anda juga melihat ini?

Ya, itu juga yang saya dan publik lihat. Negara sudah mengamanatkan kepada penegak hukum untuk menegakkan keadilan dan memberantas kasus pidana dan korupsi. Masing-masing lembaga sesuai kewenangannya bisa melakukan tugas, tidak perlu berlomba-lomba seperti sekarang. Yang saya tangkap adalah personel dari lembaga penegak hukum ini ingin menonjol, disorot publik. Namun ekspektasi itu dilakukan dengan menyenggol kewenangan pihak lain, walaupun dengan pendekatan kasus korupsi.

Pernyataan dari Jaksa Agung, Kapolri, dan juga Menko Polhukam seragam kalau tidak ada apa-apa antara lembaga penegak hukum, apakah ini bukan simplifikasi persoalan?

Cara orang berkomunikasi itu punya tujuan. Simplifikasi persoalan dengan mengatakan tidak ada apa-apa itu menurut saya bisa dilihat sebagai upaya untuk melokalisasi persoalan. Tapi masyarakat dan media juga punya cara sendiri untuk membahas soal ini. Silakan publik beropini dalam soal ini, ingat jangan sampai melanggar hukum.

Apakah dalam kasus penguntitan ini, oknum polisi ini ditunggangi oleh kepentingan pengusaha?

Bisa saja, dan itu kemungkinannya besar. Apalagi ada dugaan oknum jenderal purnawirawan Polri inisial B terlibat. Menurut saya, Kejaksaan lugas saja, soal B, panggil dan sidik, lalu jelaskan kepada publik hasilnya. Dengan kelugasan membuat ada kepastian dalam penegakan hukum. Kalau tidak tegas, akan ada dugaan salah satu pihak sedang mencari bargaining.

Dalam kasus ini saya dapat info ada oknum kombes polisi berinisial T yang diduga melakukan instruksi pada IM untuk menguntit Jampidsus. Pemeriksaan internal Polri harus mengungkap jelas kasus ini. Sampaikan saja misalnya ada pelanggaran kode etik dan penyalahgunaan wewenang.

Apa pun pembelaan yang dilakukan, kata Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso saat ini hubungan antara Kepolisian dan Kejaksaan Agung sedang tidak baik. Karena itu realitas ini harus menjadi koreksi daam hubungan kedua lembaga. (Foto Dandi Januar, DI Raga Granada VOI)

Apa pun pembelaan yang dilakukan, kata Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso saat ini hubungan antara Kepolisian dan Kejaksaan Agung sedang tidak baik. Karena itu realitas ini harus menjadi koreksi daam hubungan kedua lembaga. (Foto Dandi Januar, DI Raga Granada VOI)

Kasus pembunuhan Vina Cirebon yang sudah delapan tahun kembali viral, polisi mendapat sorotan, bagaimana amatan Anda?

Ini adalah fenomena baru, film digunakan untuk mencari keadilan. Sebelum film Vina Sebelum 7 Hari, ada film Ice Cold: Murder, Coffee and Jessica Wongso dengan korbannya Mirna Salihin. Kedua film ini menimbulkan polemik di dunia hukum kita. Dalam kasus pembunuhan Vina, muncul 3 DPO.

Dugaan saya ada unprofessional conduct dalam penyidikan kasus ini pada 2016. Polisi menetapkan 3 DPO tanpa informasi yang bisa dipertanggungjawabkan. Ini bagaimana proses penetapan tersangka; datanya tidak lengkap, sketsa wajah tidak ada. Kinerja penyidik pada 2016 itu harus diperiksa oleh Propam. Penyidik yang sekarang menetapkan seorang tersangka, Pegi. Kita tunggu hasil penyidikan dan proses akhir dari kasus ini. Polisi harus menyelesaikan kasus ini secara akuntabel dan profesional. Artinya penyidik menggunakan keahlian, scientific crime investigation, ketat dan taat pada prosedur yang ditetapkan UU. Penyidiknya harus taat pada kode etik. Polisi harus menghargai hak asasi manusia. Pegi harus didampingi oleh pengacara yang profesional. Saat pemeriksaan, Pegi harus bebas dari tekanan psikis.

Heboh lagi kasus pembunuhan Vina, cepat sekali muncul Pegi sebagai tersangka, apakah ada kesengajaan, Pegi dimunculkan?

Penyidik kasus ini adalah Direskrimum Polda Jabar, Kombes Surawan. Dia juga yang mengungkap kasus ibu dan anak di Subang yang meninggal dalam mobil, setelah mangkrak 2 sampai 3 tahun. Dengan rekam jejak itu, kita berharap kasus Vina ini bisa tuntas.

Kasus ini juga mengundang atensi Presiden Jokowi, dia minta polisi menuntaskan, bagaimana Anda melihatnya?

Karena Presiden sudah memerintahkan Kapolri untuk mengawal kasus ini, polisi harus makin serius. Kapolri sudah memerintahkan Bareskrim untuk memeriksa Kapolda Jawa Barat. Harus transparan dan menjadi kewajiban penyidik untuk menjelaskan mengapa dulu ditetapkan ada 3 tersangka, sekarang mengapa hanya Pegi, Dika dan Andi ke mana? Ini harus diklarifikasi berdasarkan fakta-fakta dan bukti. Pegi yang ditangkap sekarang juga harus dijelaskan apakah memang dia yang melakukan.

Beberapa dekade lalu di Yogyakarta ada kasus Sum Kuning yang juga menggemparkan, dugaannya ada anak penguasa yang terlibat. Apakah dalam kasus Vina juga begitu?

Belum terkonfirmasi apakah kasus Vina melibatkan anak penguasa. Ukurannya adalah tersangka yang ditetapkan. Karena itu berdasarkan alat bukti, kalau tidak berarti kita tak bisa berandai-andai. Kalau memang ada anak pejabat yang terlibat, tersangka lain yang sebagian sudah menjalani hukuman tahu. Sampai saat ini mereka tidak bersuara soal itu. Kita tunggu saja perkembangannya.

Soal tebang pilih menangani kasus, apakah menurut Anda polisi masih begitu?

IPW mencatat keluhan masyarakat pada polisi yang melakukan tebang pilih dalam penanganan kasus. Sebanyak 90 persen soal penegakan hukum yang tidak adil dan berpihak. Dari yang masuk itu kita klasifikasikan lagi, kalau yang berkaitan dengan pemilik modal besar melawan masyarakat, masyarakat pasti kalah. Jadi ada keberpihakan.

Kemudian kalau seseorang yang punya kekuasaan politik berhadapan dengan masyarakat, masyarakat juga akan kalah. Kalau yang berperkara sama-sama kuat, baru hukum yang ditegakkan. Begitu juga saat sesama masyarakat yang tidak punya uang berperkara, hukumnya ditegakkan. IPW pernah meminta Wasidik memaparkan suatu kasus, responsnya lambat, ada juga yang tidak direspons. Karena itu yang harus menjadi perhatian Kapolri adalah fungsi penegakan hukum dari polisi. Supaya memberikan keadilan pada masyarakat, integritas penyidik itu amat penting.

Ada juga yang menjadi catatan wartawan, saat polisi menggelar jumpa pers, suatu perkara masih tidak terang kasusnya sehingga menimbulkan penafsiran. Apa saran Anda untuk hal ini?

Penyidikan dan penyelidikan itu memang sesuatu yang tertutup. Tetapi siapa saja yang sudah diperiksa bisa disampaikan kepada wartawan. Informasi soal perkembangan transparansi ada dalam surat perkembangan perkara, itu hal yang terbuka dan bisa disampaikan ke publik. Humas harus bisa memformulasikan jawaban, jangan tidak dijawab. Jadi humas polisi harus punya kemampuan komunikasi yang mumpuni.

Tidak ada manusia yang sempurna, juga polisi. Saat ada polisi atau purnawirawan polisi yang bersalah, polisi tidak bisa tebang pilih. Bagaimana Anda melihat hal ini?

Tidak mungkin jeruk kok makan jeruk. Kalau pun itu harus terjadi, jeruk pada level yang mana yang harus menjadi korban. Kalau terjadi pada level atas akan menimbulkan kegaduhan, itu terjadi pada kasus Sambo. Tapi karena sudah dibuka, tidak bisa tidak, IPW termasuk yang ikut membuka kasus ini.

Polisi kita itu memang amat kekeluargaan. Mereka itu saling melindungi. Karena tahu sama tahu boroknya. Code of conduct orang yang sama-tahu tidak akan membuka borok masing-masing. Jadi dibutuhkan lembaga pengawas seperti Kompolnas, IPW, media, dll. Keriuhan yang terjadi belakangan ini wajar, jangan dianggap tidak berguna. Soalnya banyak juga polisi yang senang karena institusi mereka dikritisi. Yang tidak senang itu yang sedang menjabat kemudian dikritik, hehehe.

Apa saran Anda untuk polisi kita agar ke depan lebih baik, lebih profesional?

Sudah banyak masukan IPW untuk polisi. Kita membutuhkan polisi seperti Hugeng. Setiap tahun Kapolri sudah mengadakan pemilihan polisi teladan yang mendapat Hugeng Awards. Polisi tidak boleh melindungi aparatnya yang melanggar, kalau ada ditindak dan diselesaikan secara prosedur dan transparan.

Semoga harapan ini terwujud, dan Polri bisa naik peringkatnya, tidak berada di level terendah di antara polisi-polisi negara lain?

Saya juga baca berita kalau polisi kita peringkatnya berada di bawah. Sebagai pengamat kepolisian saya juga sedih. Polisi itu anak buahnya presiden. Baik atau tidak baiknya polisi ada kaitannya dengan political will presiden. Harapan kita presiden menggunakan polisi sebagai instrumen untuk melindungi masyarakat. Untuk Pak Prabowo saya berharap memilih Kapolri yang berpihak pada masyarakat.

Ternyata Karena Hal Ini Sugeng Teguh Santoso Menjadi Advokat

Sugeng Teguh Santoso awalnya bercita-cita menjadi tentara, namun ketika rumahnya dan rumah tetangganya digusur ia terinspirasi dengan seorang advokat yang membela mereka. Sugeng kemudian mantap untuk menekuni bidang hukum. (Foto Dandi Januar, DI Raga Granada VOI)

Sugeng Teguh Santoso awalnya bercita-cita menjadi tentara, namun ketika rumahnya dan rumah tetangganya digusur ia terinspirasi dengan seorang advokat yang membela mereka. Sugeng kemudian mantap untuk menekuni bidang hukum. (Foto Dandi Januar, DI Raga Granada VOI)

Sugeng Teguh Santoso tergerak hatinya untuk menjadi pendekar hukum sejak duduk di bangku SMA. Ia terpanggil karena melihat keluarga dan tetangganya sekampung tergusur. Ada seorang pengacara yang amat gigih membela mereka, sosok inilah yang menginspirasi dia untuk menekuni dunia hukum. Perannya sebagai Ketua Indonesia Police Watch (IPW) pun masih bersinggungan dengan persoalan hukum.

“Saya tergerak menjadi pengacara itu saat duduk di kelas II SMA. Ketika itu melihat ketidakadilan terjadi di depan mata. Keluarga saya dan tetangga satu kampung menjadi korban penggusuran. Kami tak bisa melawan,” ujar Sugeng yang saat itu tinggal di daerah Mangga Dua Selatan, Sawah Besar, Jakarta Pusat.

Saat dilanda kekalutan itu, ada seorang advokat dari Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) yang membantu. “Waktu itu di tahun 1984, ada seorang advokat bernama Sunarto Surodibroto yang membela kami. Dia benar-benar pahlawan bagi kami. Terus terang saya kemudian terinspirasi untuk menjadi seperti dia,” kenang pria kelahiran Semarang, 13 April 1966 ini.

Sugeng yang sejak kecil bercita-cita menjadi seorang serdadu berubah haluan ingin menjadi advokat. “Sebetulnya saya itu sudah ada ketertarikan untuk menjadi tentara. Namun penggusuran mengubah cita-cita saya. Untung diterima di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, kalau enggak mana bisa kuliah, karena enggak ada uang untuk sekolah swasta,” aku penulis buku Tragedi Hukum di Atap Sorga ini.

Digembleng di LBH  

Menurut Sugeng Teguh Santoso meski sudah punya kantor hukum sendiri, ia tak pernah lupa membela orang miskin yang bermasalah dalam bidang hukum. (Foto Dandi Januar, DI Raga Granada VOI)

Menurut Sugeng Teguh Santoso meski sudah punya kantor hukum sendiri, ia tak pernah lupa membela orang miskin yang bermasalah dalam bidang hukum. (Foto Dandi Januar, DI Raga Granada VOI)

Setelah lulus dari FH UI, teman-temannya ada yang bekerja di instansi pemerintah dan ada juga di swasta. Namun Sugeng tak tertarik mengikuti jejak mereka. “Saya memang sudah bulat mau menjadi advokat. Setelah selesai kuliah saya berlatih di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Saya dapat keterampilan, visi juga terbentuk untuk membela wong cilik. Keberpihakan pada masyarakat miskin tetap terjaga. Meski saya punya kantor hukum tapi saya tetap membela orang tak punya,” kata Sugeng Teguh Santoso yang sudah 34 tahun melakoni profesi sebagai advokat.

Yang membuat dia sedih, sedikit sekali pengacara yang bisa meneruskan jejaknya. “Memang ada banyak advokat yang muncul, tapi yang punya nyali, punya keberpihakan pada wong cilik tidak banyak. Karena itu saya masih bertahan, padahal inginnya meneruskan estafet pada yang muda,” aku Sugeng yang siap dengan segala risiko saat memilih menjadi seorang advokat.

Menurut Sugeng soal nyali itu amat spesifik dan tak semua dimiliki advokat. “Saya ini kan awalnya sebagai korban penggusuran. Sebagai lawyer aktivis banyak risiko yang saya alami. Dan itu semua saya hadapi,” ujar Sugeng yang menangani berbagai kasus seperti Cicak dan Buaya Jilid 1, Ferdy Sambo, dan melaporkan Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej.

Satu pengalaman yang amat berkesan baginya di tahun 1990. “Waktu itu saya baru jadi advokat, saya membela pedagang asongan usia 12 tahun yang digusur dalam program Esok Penuh Harapan yang dikomandoi oleh Sudomo. Seorang pedagang asongan disidang dan ditahan atau membayar denda Rp4.000. Saya dan seorang polisi akhirnya patungan merogoh kocek untuk membebaskan dia. Lega rasanya anak itu bisa pulang,” kenang Sugeng.

Terjun ke Pentas Politik

Sugeng Teguh Santosa bercita-cita mengolaborasikan hukum dan politik, karena itu ia bergabung dengan PSI.  Menurut dia, hukum yang merupakan produk politik harus berpihak pada rakyat dan pada keadilan. (Foto Dandi Januar, DI Raga Granada VOI)

Sugeng Teguh Santosa bercita-cita mengolaborasikan hukum dan politik, karena itu ia bergabung dengan PSI.  Menurut dia, hukum yang merupakan produk politik harus berpihak pada rakyat dan pada keadilan. (Foto Dandi Januar, DI Raga Granada VOI)

Sebesar apa pun beban dalam menangani perkara, bagi Sugeng Teguh Santoso tak boleh baper alias bawa perasaan. “Seberat apa pun persoalan harus bisa tidur nyenyak. Kalau tidak, kita bisa stres. Pulang ke rumah tidur dan esok pagi berolahraga di kebun. Setelah itu kembali lagi dengan rutinitas sebagai advokat,” katanya berbagi tips.

Sugeng punya tanah dan kebun di daerah Candali, Kabupaten Bogor tempat dia berdomisili. “Dulu daerah itu rawa-rawa, pelan-pelan saya buka dan olah, kini menjadi tempat perkemahan dan wisata,” katanya tersenyum.

Ketertarikan membela kaum lemah dan minoritas mengantarkan Sugeng ke pentas politik. Tahun 2018 dia diminta menjadi Ketua PSI Kota Bogor. “Saat itu PSI masih kecil, karena diminta saya bersedia membantu. Kerja 5 tahun membuahkan hasil, sekarang sudah ada wakil PSI di DPRD Kota Bogor,” ungkap Sugeng.

Cita-citanya yang lain adalah mengolaborasikan hukum dan politik. “Politisi bisa menjadi beban kalau mereka korup. Politik dan hukum harus dikombinasikan. Hukum yang merupakan produk politik itu harus berpihak pada rakyat dan berkeadilan,” tegas Sugeng yang mengidolakan Soekarno.

Tak heran kalau dalam berpenampilan pun dia selalu berkopiah. “Kopiah ini bukan karena agama, ini karena nasionalisme dan perjuangan seperti yang dipakai Bung Karno. Karena sudah menjadi ciri khas, saya selalu berkopiah dalam penampilan resmi delapan tahun terakhir,” kata Sugeng yang menjadi anggota Kelompok Kerja Hukum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI).

Sugeng Teguh Santoso pernah menjadi Calon Wakil Wali Kota Bogor tahun 2018 berpasangan dengan Dadang Iskandar Danubrata (PDIP). “Saya tahu tidak akan menang, namun saya puas, karena bisa menunjukkan kalau kaum minoritas juga bisa maju dalam pemilihan kepala daerah. Ini Indonesia yang beragam,” katanya mengunci pembicaraan.

"Cara orang berkomunikasi itu punya tujuan. Simplifikasi persoalan dengan mengatakan tidak ada apa-apa (antara kepolisian dan kejaksaan) menurut saya bisa dilihat sebagai upaya untuk melokalisir persoalan. Tapi masyarakat dan media juga punya cara sendiri untuk membahas soal ini,"

Sugeng Teguh Santoso