JAKARTA – Aksi spionase yang dilakukan anggota Detasemen Khusus (Densus) 88 terhadap Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus (Jampidsus) menimbulkan spekulasi liar. Jika dibiarkan berlarut-larut, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum diyakini akan makin tergerus.
Personel Polisi Militer yang mengawal Jampidsus Febrie Adriansyah dikabarkan menangkap satu anggota Densus 88. Ini terjadi setelah anggota Densus itu melakukan penguntitan terhadap Jampidsus saat sedang makan malam di salah satu restoran di kawasan Cipete, Jakarta Selatan, Minggu (26/5/2024).
Febrie tiba di restoran bersama satu ajudan dan motor patwal Polisi Militer. Ia belakangan mendapat kawalan polisi militer TNI karena Jampidsus sedang menangani kasus korupsi besar seperti kasus tambang.
Sampai saat ini, Kapolri Listyo Sigit Prabowo dan Jaksa Agung ST Burhanuddin belum memberikan keterangan resmi. Namun Menkopolhukam Hadi Tjahjanto hanya menjawab singkat, “mungkin berita itu simpang siur saja”.
Ada Sesuatu yang Serius
Indonesia Police Watch (IPW) mencermati dugaan penguntitan Jampidsus Febrie oleh anggota Densus 88 beberapa waktu lalu. IPW menduga aksi spionase ini terkait dengan kasus dugaan korupsi tambang yang sedang ditangani.
Seperti diketahui, Jaksa Febrie tengah menangani kasus mega korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk di Bangka Belitung yang merugikan negara Rp271 triliun.
Febrie juga sebelumnya menyidik kasus-kasus korupsi lainnya yang menyita perhatian publik seperti kasus Jiwasraya, Asabri, Garuda Indonesia, dan BTS Kominfo.
“Pemantauan adalah satu metode surveillance untuk mendapatkan bahan keterangan ataupun data dari yang dipantau, dan Densus 88 memiliki kemampuan yang sangat baik untuk melakukan itu,” kata Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso saat dihubungi VOI.
“Agak mengejutkan memang yang dipantau ini Jampidsus oleh Densus 88. Artinya ini sesuatu yang serius. Densus 88 bergerak pasti atas perintah di level atas. Levelnya di mana dan apakah resmi atau tidak ini yang perlu dicari tahu,” imbuhnya.
Lebih lanjut Sugeng mengatakan, ada dua isu utama di balik penguntitan ini. Selain dugaan korupsi, juga ada konflik kewenangan penanganan kasus.
Menurut informasi yang diperoleh IPW, kejaksaan agung cukup intensif terlibat dalam penanganan kasus tambang. Padahal, kasus tambang itu, kata Sugeng, tidak termasuk kewenangan kejaksaan.
“Kasus tambang adalah tindak pidana yang menjadi kewenangan Polri, ini ada di undang-undang pertambangan. Bukan domainnya Jampidsus, namun Kejaksaan menggarap dari sisi korupsinya,” ucap pria kelahiran 13 April 1966 itu.
BACA JUGA:
Tak hanya sekadar memicu spekulasi liar, kasus ini juga berbuntut panjang. Jampidsus Febrie belakangan dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan kerugian negara yang ditimbulkan akibat proses lelang PT Gunung Bara Utama di Kejaksaan Agung.
Koordinator Koalisi Sipil Selamatkan Tambang (KSST) Ronald Loblobly mengatakan indikasi kerugian negara mencapai Rp9 triliun.
Melampaui Job Desk Densus 88
Anggota Densus 88 sejatinya mengawasi dan memata-matai potensi serangan teror atau jaringan lain yang mengancam publik atau negara. Aksi anggota Densus 88 yang mengintai Jampidsus justru membuat publik bertanya-tanya, menurut pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic (ISESS) Bambang Rukminto.
"Densus pun juga tidak memiliki kewenangan melakukan penangkapan maupun penyelidikan non-terorisme. Karena tugas pokoknya memang dalam pemberantasan terorisme, seperti itu," kata Bambang.
Hal senada juga diungkapkan Dosen Hukum Universitas Islam Nusantara Dr. Leni Anggraeni, SH, MH. Ia menilai ada sesuatu yang sangat urgent sehingga Densus 88 diutus untuk menguntit Jampidsus Febrie. Namun karena tugas utama Densus 88 adalah memeriksa laporan aktivitas teror, maka aksi spionase ini tidak bisa dibenarkan.
“Densus 88 sudah melampaui fungsinya terkecuali jika jaksa tersebut terlibat dalam aksi terorisme,” ucap Leni.
Melihat sikap Jaksa Agung dan Kapolri yang bungkam di tengah tanda tanya besar masyarakat atas kasus ini sama saja membiarkan gelombang spekulasi makin liar.
Leni berharap Kapolri segera mengklarifikasi aksi anggotanya demi mengembalikan kepercayaan publik.
"Ini karena saat ini kinerja Polri betul-betul sedang disorot, dan rasa trust masyarakat sudah mulai sangat berkurang terkait beberapa kasus yang terjadi terutama saat masyarakat mencari perlindungan hukum terhadap Polri," tuntasnya.