Bagikan:

JAKARTA – Indonesia masih menjadi negara dengan literasi keuangan yang rendah. Padahal, literasi keuangan memiliki peran penting dalam meminimalisir potensi kerugian di kemudian hari.

Perkembangan industri jasa keuangan yang makin pesat belum dibarengi dengan literasi keuangan masyarakat yang memadai. Indeks literasi keuangan di Indonesia masih tergolong rendah.

Ketika pesatnya inovasi layanan keuangan digital tidak dibarengi dengan indeks literasi keuangan, maka masyarakat rentan menjadi korban penipuan dan tindak kriminal terkait teknologi finansial.

Analis Deputi Derektur Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi dan Perlindungan Konsumen dari Otoritas Jasa Keuangan Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, Meilthon Purba pada workshop dan apresiasi media di Makassar, Minggu (26/5/2024). (Antara/ Suriani Mappong)

 Hal ini tergambar dari pernyataan Analis Deputi Direktur Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat Meilthon Purba bahwa sepanjang 2017-2023 masyarakat mengalami kerugian sebanyak Rp139 triliun akibat investasi ilegal.

"Kerugian masyarakat itu, karena masih banyak yang mudah terpengaruh iming-iming dengan bunga tinggi," kata Meilthon pada Workshop dan Apresiasi Jurnalis yang digelar Koalisi Jurnalis Sulsel (KJS) di Makassar, Minggu (26/5/2024).

Jauh di Bawah Negara ASEAN

Secara umum, investasi dapat dipahami sebagai pengeluaraan atau penggunaan waktu, uang, atau tenaga untuk mendapatkan keuntungan atau manfaat di masa depan. Investasi tidak hanya bertujuan untuk memperoleh cuan yang besar, tapi juga dimanfaatkan sebagai tabungan hari tua.

Namun, investasi tidak bisa asal-asalan. Apalagi di era sekarang tidak sedikit produk investasi dengan iming-iming keuntungan besar. Untuk itu, butuh literasi keuangan yang baik supaya tidak terjebak dengan investasi bodong.

Sayangnya, indeks literasi keuangan Indonesia masih tergolong rendah. Literasi keuangan yang dimaksud adalah pemahaman mengenai fitur, manfaat, risiko, serta hak dan kewajiban terkait produk dan layanan jasa keuangan. Literasi keuangan juga mengukur tingkat keterampilan, sikap, serta perilakunya yang benar dalam menggunakan produk dan layanan jasa keuangan.

Hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) milik OJK pada 2022 indeks literasi keuangan Indonesia adalah sebesar 49,68 persen. Hasil survei ini menunjukkan bahkan literasi keuangan Indosia selalu mengalami peningkatan pada 2013, 2016, dan 2019 secara berturut-turut, yang masing-masing hanya 21,84 persen, 29,70 persen, dan 38,03 persen.

Meski demikian, indeks literasi keuangan Indonesia masih tergolong rendah jika dibandingkan negara ASEAN seperti Singapura yang mencapai 95 persen, Malaysia sebesar 85 persen, dan Thailand sebesar 82 persen.

Ketika seseorang memiliki literasi keuangan yang baik, ia akan berkembang menjadi keterampilan keuangan yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, ketika literasi keuangan di suatu negara rendah, akan mengakibatkan beberapa hal yang tidak menguntungkan tidak hanya bagi diri sendiri, tapi juga negara secara umum.

“Dengan tingkat literasi yang rendah, seseorang tidak memiliki perencanaan keuangan yang baik, tidak memiliki tujuan keuangan, penempatan instrumen investasi yang tidak tepat, serta terjebak praktik investasi bodong,” kata Sondang Martha pada 2019, yang saat itu masih menjabat sebagai Kepala Departemen Literasi dan Inklusi OJK.

Tantangan Gen Z Lebih Kompleks

Generasi Z, generasi yang diharapkan menjadi tulang punggung Indonesia di masa depan, ternyata tingkat literasi keuangannya masih rendah. Berdasarkan data OJK, tingkat literasi keuangan gen Z sebesar 44,04 persen atau lebih rendah 3,94 persen dari generasi milenial, dengan jumlah penduduk gen Z pada 2019 adalah 72,9 juta jiwa.

Masih berdasarkan data OJK pada Desember 2022, ternyata gen Z memiliki hutang lebih banyak dibandingkan generasi lain. Ini terlihat dari data kepemilikan rekening dan jumlah outstanding pinjaman pada fintech P2P lending. Sebanyak 62 persen rekening fintech pendanaan bersama dimiliki oleh nasabah usia 19-34 tahun. Tidak jauh dari angka tersebut, 60 persen pinjaman dari fintech pendanaan bersama juga disalurkan kepada nasabah usia 19-34 tahun, artinya pengguna fintech pendanaan bersama didominasi oleh Gen Z.

DR. Anas Iswanto Anwar, SE, MA, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin (Unhas) mengatakan, gen z akan menjadi generasi yang menghadapi tantangan keuangan yang makin kompleks, antara lain biaya kuliah yang kian mahal, persaingan kerja yang ketat, pasar saham yang volatile, dan banyak lainnya.

“Dengan literasi keuangan yang baik, Gen Z dapat menghindari hutang yang tidak terkendali, mengelola uang mereka dengan bijak, dan mempersiapkan diri untuk masa depan yang lebih stabil secara finansial,” kata DR. Anas, dikutip laman resmi Unhas.

Literasi keuangan di Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan negara ASEAN lainnya. Ini menyebabkan berbagai hal, termasuk maraknya orang terjebak investasi ilegal. (Unsplash)

“Mereka juga dapat memahami konsep seperti cara berinvestasi, cara menabung, mengelola resiko dan asuransi, yang akhirnya akan membantu mereka mengambil keputusan keuangan yang lebih baik,” imbuhnya.

Mengingat masih rendahnya tingkat literasi keuangan, terutama bagi generasi milenial dan Z, butuh kerja keras para stakeholder untuk mendorong peningkatan pemahaman masyarakat terhadap lembaga jasa keuangan.

Apalagi sekarang kemajuan teknologi keuangan juga berkembang sangat pesat, sehingga masyarakat perlu edukasi untuk menggunakan jasa keuangan dengan maksimal dan tidak menjadi korban penipuan karena kurangnya pemahaman.