Ini 3 Penyebab Masih Banyak yang Tertipu Fintech dan Investasi Ilegal, Salah Satunya Masyarakat Malas Kerja Keras
Ilustrasi. (Foto: Dok. Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Dewan Komisioner Bidang Perlindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Tirta Segara mengungkap penyebab financial technolgy (fintech) dan investasi ilegal atau abal-abal masih populer di masyarakat. Bahkan, tetap tumbuh subur meskipun satgas waspada investasi (SWI) sudah menutup ribuan.

Kata Tirta, berdasarkan observasi yang dilakukan oleh OJK, ada tiga hal yang menyebabkan fintech dan investasi abal-abal populer di masyarakat. Pertama, tingkat literasi masyarakat masih rendah, bahkan jauh dari tingkat inklusi.

"Tingkat literasi keuangannya itu relatif rendah yaitu hanya 38 persen. Sementara tingkat inklusinya itu sudah 76 persen. Ini angka hasil survei akhir 2019, kalau sekarang tingkat literasi sudah semakin tinggi. Tetapi masih ketinggalan dari angka inklusinya atau akses keuangannya," katanya dalam webinar bertajuk Melindungi Masyarakat dari Jeratan Fintech dan Investasi Ilegal, Jakarta, Selasa, 13 April.

Kedua, dengan kemajuan teknologi penipu melihat ini sebagai peluang untuk melakukan penipuan. Kata Tirta, inilah membuat fintech dan investasi abal-abal masih beredar di tengah masyarakat. Dengan kemajuan teknologi, fintech dan investasi ilegal semakin mudah bermunculan dan gampang untuk diakses.

"Di era digitalisasi, mereka mudah membuat, mereplika sebuah aplikasi. Dengan ilustrasi yang sangat menarik bahkan menampilkan tokoh-tokoh yang sangat populer atau influencer. Ini menjadi lebih mudah dan murah dengan kemajuan teknologi," tuturnya.

Terakhir, perilaku masyarakat secara umum, mereka ingin mendapatkan keuntungan besar tanpa kerja keras. Bahkan, tidak mempertimbangkan risiko dari investasi yang ditawarkan.

"Kenapa saya mengatakan demikian, karena yang terjebak di skema Ponzi itu bukan hanya yang tingkat pendidikannya rendah, tapi yang tingkat pendidikannya tinggi juga banyak," katanya.

Tirta mengatakan masyarakat perlu hati-hati dalam melakukan investasi. Apalagi di tengah situasi krisis pandemi COVID-19 ini. Ia pun membeberkan ciri-ciri fintech abal-abal ketika menjanjikan pinjaman cepat, mudah, dan murah tanpa syarat.

Kata Tirta, investasi abal-abal biasanya menjanjikan keuntungan besar yang tidak wajar dalam waktu singkat. Selain itu pun fintech dan investasi bodong biasanya tidak mempunyai kantor fisik yang layak.

"Mereka (fintech dan investasi) itu yang abal-abal tadi hanya sewa satu ruko, tapi lingkup operasinya bisa sangat luas di berbagai daerah," tuturnya.

Bahkan, kata Tirta, ada server yang beroperasi di luar yurisdiksi Indonesia. Menurut dia, OJK melalui Satgas Waspada Investasi menemukan server fintech dan investasi bodong berada di Vietnam dan Hong Kong.

"Banyak juga server yang beroperasi di luar wilayah NKRI yang kita temukan jadi lebih lagi itu sulit untuk mengambil tindakan hukum," jelasnya.

Menurut Tirta, hal tersebut yang membuat SWI dalam satu tahun bisa menutup ribuan, terutama yang fintech. Namun, muncul lagi berbagai macam, seperti Tik-Tok Cash dan V-Tube.

"Meski SWI sudah banyak menutup ribuan investasi ilegal tapi beribu-ribu pula investasi ilegal yang muncul silih berganti," tuturnya.