JAKARTA - Kasus korupsi mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) membuat banyak orang jengah. Bagaimana tidak, SYL diduga hobi memalak anak buahnya di Kementan demi kebutuhan pribadi dan keluarganya.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan SYL pada Oktober tahun lalu terkait kasus dugaan korupsi berupa pemerasan, gratifikasi, dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) di lingkungan Kementan.
Saat ini Menteri Pertanian periode 2019-2023 tersebut sedang menjalani sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. Pria 69 tahun ni didakwa melakukan pemerasan hingga Rp44.546.079.044 serta menerima gratifikasi dengan total Rp40.647.444.494 miliar dalam kurun waktu 2020-2023.
Jaksa Penuntut Umum (KPK) Masmudi mengatakan SYL melakukan pemerasan bersama Kasdi Subagyono selaku Sekretaris Jenderal Kementan RI periode 2021-2023 dan Muhammad Hatta selaku Direktur Alat dan Mesin Pertanian Kementan RI pada 2023.
Dalam persidangan, aliran dana korupsi SYL terungkap yang bikin masyarakat geleng kepala. Mantan Gubernur Sulawesi Selatan itu memalak pegawai Kementan untuk berbagai kepentingan pribadi, mulai dari uang belanja istri Rp30 juta per bulan, menggaji biduan, umrah, kurban, hingga plesir ke luar negeri.
Tidak hanya itu, putra SYL, Kemal Redindo Putra atau Dindo, juga turut menikmati hasil memalak sang ayah. Dindo diklaim meminta reimburse biaya renovasi kamar sebesar Rp200 juta kepada salah seorang pejabat Kementan.
SYL juga disebut meminta reimburse atas biaya perayaan ulang tahun cucunya yang digelar di Makassar dan Jakarta. Ogah merogoh kocek pribadi, biaya sunatan cucunya juga diganti Kementan.
Perilaku Abnormal
Apa yang dilakukan SYL membuat semua orang geram. Bahkan komika Ernest Prakasa sempat menumpahkan unek-uneknya di media sosial X.
“Semua hal konyol yang dilakukan SYL & keluarganya memang mengerikan. Tapi yang lebih mengerikan adalah ketika sadar, ini kan baru yang ketauan. Apa kabar pejabat brengsek yang lain di luar sana? Pengeluaran apa lagi nih yang kita tanggung bersama?” tulis Ernest di akun X @ernestprakasa.
Makin hari, keterangan sejumlah saksi dalam persidangan kasus korupsi makin membuat orang muak. Apa yang dilakukan SYL seolah berada di luar akal sehat. Tak hanya menggelontorkan uang untuk keluarganya, politikus Partai Nasional Demokrat ini juga disebut mengucurkan duit dari Kementan untuk seorang biduan Nayunda Nabila.
Menurut psikolog Tika Bisono, apa yang dilakukan oleh SYL bukan cuma keserakahan, tapi juga hal yang tidak normal dan narsistik. Menurutnya, hal ini terjadi karena menempatkan orang tidak sesuai dengan kapasitasnya.
BACA JUGA:
“Yang pasti ini perilaku abnormal. Semua jabatan, tidak hanya di sektor kementerian, pasti memiliki aturan. Orang-orang yang normal, orang dengan kecerdasan yang tinggi, pasti bisa comply dengan aturan, hidup dengan aturan karena dia menjadi bagian dari sebuah sistem,” kata Tika saat berbincang dengan VOI.
“Orang seperti SYL ini oportunis, memiliki kecenderungan greedy atau serakah, juga tidak menjaga muruahnya sebagai pemimpin. Ini semua penyimpangan perilaku sebagai pemimpin,” sambungnya.
Praktik yang Lumrah
Praktik pemerasan dalam institusi pemerintah sudah menjadi rahasia umum. Sebelumnya, kasus serupa juga terjadi di beberapa kementerian.
Menurut peneliti Transparency International Indonesia (TII) Sahel Alhabsyi, hal ini terjadi karena kaitannya dengan meritokrasi, yaitu penempatan orang di satu posisi tidak berdasarkan kompetensi atau rekam jejak. Selain itu, ada pula ongkos politik yang ditanggung oleh pemegang kuasa.
“Karena keluar ongkos politik yang besar untuk menempati satu posisi, maka atasan itu akan berusaha menutupi ongkosnya dengan meminta upeti pada bawahan-bawahannya," kata Sahel.
"Semua ini terjadi dan mengakibatkan praktik pemungutan upeti di dalam birokrasi menjadi lazim,” kata dia mengimbuhkan.
Pada 2016, mantan menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik terbukti melakukan tindak pidana korupsi menyalahgunakan Dana Operasional Menteri (DOM), memaksa anak buah mengumpulkan uang timbal balik dari rekanan dan menerima gratifikasi. Penyalahgunaan dana itu digunakan untuk kepentingan pribadi dan keluarga hingga mencapai Rp8,4 miliar.
Jero Wacik kemudian divonis empat tahun penjara dan denda Rp150 juta subsider tiga bulan kurungan.
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM Zaenur Rochman menuturkan, modus korupsi yang memanfaatkan DOM dan memungut biaya dari anak buahnya sudah jadi praktik yang lumrah terjadi secara struktural.
“Inisiatif bisa datang dari menteri atau bawahannya atau vendor. Kebutuhan operasional menteri sebenarnya sudah ditanggung DOM. Namun, bagi pejabat yang serakah ingin hal-hal di luar kedinasan juga ditanggung,” ujar Zenur.
“Akibatnya minta servis. Bawahan mencari dana servis dari manipulasi anggaran dinas maupun dari vendor,” katanya lagi.
Praktik seperti ini seringkali lama terungkap atau bahkan tidak sama sekali karena para pejabat yang bekerja di bawah lebih memilih bungkan akibat kekhawatiran kehilangan jabatan.
“Jika tidak ada jaminan keselamatan, jangan berharap orang lapor, karena sama saja bunuh diri karier. Artinya, sistem peniup peluit tidak berjalan,” kata Zaenur.