Eksklusif, Jaya Suprana: Imlek Bukan untuk Kelompok Tertentu, Tapi untuk Semua
Menurut Jaya Suprana Imlek memang banyak dirayakan masyarakat keturunan China, namun perayaan ini sekarang untuk untuk semua. (Foto Bambang Eros, DI Raga Granada VOI)

Bagikan:

Tanggal 10 Februari  2024 atau bertepatan dengan 2575 Kongzili, Imlek kembali di rayakan. Tahun ini adalah perayaan untuk shio Naga Kayu. Menurut Budayawan Jaya Suprana yang memiliki nama lahir Phoa Kok Tjiang, Imlek sekarang ini bukan hanya dirayakan oleh etnis China, tetapi oleh semua karena Imlek itu untuk semua. Tahun 2024 ini  PBB menetapkan Imlek dirayakan untuk seluruh dunia. “Dalam konteks Indonesia, ketika merayakan Imlek tak bisa lupa dengan jasa Gus Dur,” tegasnya.

***

Di era Orde Baru berkuasa selama 32 tahun jangan coba-coba merayakan Imlek secara terbuka. Karena hal itu dilarang melalui Instruksi Presiden (Inpres) No 14/1967. Presiden Soeharto lewat inpres itu melarang komunitas Tionghoa atau siapa pun merayakan Imlek di depan publik. Tak ada pertunjukan barongsai dan liang liong secara terbuka seperti yang kita saksikan sekarang ini. 

Namun di masa pemerintahan Presiden Gus Dur atau Abdurahman Wahid kebijakan yang diberlakukan sebaliknya. Melalui Inpres No 6 Tahun 2000, isinya mencabut Inpres No 14/1967 yang sudah berlaku selama tiga dasa warsa lebih. Setelah inpres ini disahkan masyarakat Tionghoa kembali bisa merayakan Imlek secara terbuka.

Itulah alasannya mengapa Jaya Suprana mengingatkan pada semua agar tak melupakan apa yang sudah dilakukan Gus Dur. “Memang kalau kita bicara soal perayaan Imlek secara terbuka di Indonesia, hukumnya wajib mengenang jasa Gus Dur. Kalau tanpa Gus Dur wawancara dengan tema Imlek hari ini pun mungkin tak terjadi,” katanya.

Menurut petinggi Jamu Jago ini, Gus Dur menginginkan Imlek dirayakan bukan hanya untuk etnis Tionghoa atau etnis lain yang merayakan. Namun untuk semua bangsa Indonesia. “Saya belajar banyak dari Gus Dur. Dia bilang kepada saya Imlek dirayakan itu bukan untuk kelompok etnis tertentu, tapi untuk seluruh bangsa  Indonesia,” lanjut Jaya Suprana yang hampir setiap hari menemani Gus Dur saat ia menjadi orang nomor satu di Indonesia.

Tak hanya bicara soal Imlek, Jaya Suprana berbicara banyak soal peran dan kiprah komunitas Tionghoa dari era orde lama hingga sekarang, tentang Imlek yang sudah dirayakan oleh dunia, akulturasi, kiprah masyarakat Tionghoa dalam bidang politik, seni, budaya dan ekonomi. Dia juga berbagi rahasia mengapa pengusaha Tionghoa bisa sukses dan berjaya. Soal pemimpin masa depan yang akan dipilih di pilpres kali ini ia merasa ada isu yang tidak digaungkan yaitu tentang kemanusiaan yang harusnya menjadi mahkota peradaban. Inilah petikan wawancara selengkapnya kepada Edy Suherli, Bambang Eros dan Irfan Medianto dari VOI.

Saat merayakan Imlek secara terbuka seperti sekarang, kata Jaya Suprana, kita mengenang jasa Gus Dur. (Foto Bambang Eros, DI Raga Granada VOI)
Saat merayakan Imlek secara terbuka seperti sekarang, kata Jaya Suprana, kita mengenang jasa Gus Dur. (Foto Bambang Eros, DI Raga Granada VOI)

Bicara perayaan Imlek di Indonesia pasca era reformasi tak bisa menghilangkan peran Gus Dur, ia memberikan keleluasaan kepada masyarakat Tionghoa untuk merayakan Imlek secara terbuka, dari teman-teman Tionghoa apa bentuk apresiasi kepada Gus Dur?

Memang kalau kita bicara soal perayaan Imlek secara terbuka di Indonesia, hukumnya wajib mengenang jasa Gus Dur. Kalau tanpa Gus Dur wawancara dengan tema Imlek hari ini pun mungkin tak terjadi. Karena dulu itu perayaan Imlek secara terbuka memang dilarang. Kebetulan saat Gus Dur menjadi presiden, hampir setiap hari saya menemani dia. Saya belajar banyak dari Gus Dur. Dia bilang kepada saya Imlek dirayakan itu bukan untuk kelompok etnis tertentu, tapi untuk seluruh bangsa  Indonesia.

Sebagai budayawan dia tahu kalau Imlek itu perayaan lintas bangsa, ras, suku agama dan budaya. Imlek itu dirayakan untuk menyambut datangnya musim semi. Karena menurut Gus Dur aneh kalau perayaan Imlek dilarang. Dan dia itu sangat visioner, buktinya tahun 2024 ini PBB menyatakan seluruh dunia merayakan Imlek. Bukan untuk Bangsa China, Jepang, Korea, Vietnam saja. Kalau soal apresiasi Gus Dur tidak minta apa-apa. Saat perayaan Imlek kita selalu mengenang jasa dia. Selain Gus Dur, ada juga sahabat yang merangkap guru saya seperti Prof Emil Salim yang amat perhatian. Saat peristiwa kerusuhan sosial Mei 1998 dia orang pertama yang menelpon saya, menanyakan kabar saya.

Ketika perayaan Imlek dilarang secara terbuka, seperti apa Anda dan juga keluarga merayakan?

Untuk yang merayakannya dalam lingkungan keluarga masing-masing, karena memang tidak bisa secara terbuka.  Kalau keluarga kami memang tidak merayakan, karena kami lebih ke Jawa atau Kejawen. Falsafah keluarga kami itu ojo dumeh, bukan konfusius.

Setelah era Gus Dur, apakah peran warga keturunan dalam bidang politik lebih berdaya?

Saya kira itu adalah pandangan yang distorsif, soalnya sejak masa orde baru Kwik Kian Gie sudah terlibat aktif di pentas politik. Soe Hok Gie sudah berjuang untuk negara ini. Mereka sudah mengabdikan diri untuk negara ini jauh sebelum perayaan Imlek diperbolehkan secara terbuka. Kalau ada yang memanfaatkan momentum itu silahkan. Kwik Kian Gie dengan tegas mengajarkan kepada saya, bahwa kita ini adalah warga negara Indonesia, titik. Tidak ada embel-embel keturunan. Kita kan tidak suka diskriminasi, karena itu jangan mendiskriminasikan diri.

Soal diskriminasi banyak dinarasikan terjadi pada etnis tertentu, dengan tegas Jaya Suprana mengatakan tidak mengalami diskriminasi. (Foto Bambang Eros, DI Raga Granada VOI)
Soal diskriminasi banyak dinarasikan terjadi pada etnis tertentu, dengan tegas Jaya Suprana mengatakan tidak mengalami diskriminasi. (Foto Bambang Eros, DI Raga Granada VOI)

Di era orde baru,  dalam bidang politik masyarakat Tionghoa dibatasi, namun dalam bidang ekonomi diberikan kebebasan, dan itu benar-benar dimanfaatkan, tak heran kalau banyak sosok yang sukses berbisnis dan masuk dalam dereretan orang terkaya, apakah hal itu juga Anda rasakan?

Saya merasakan masa Orde Baru, meski  tidak sedekat dengan Gus Dur, saya pernah bertemu dengan Pak Soedomo, Pak Soeparjo Roestam, Pak Ibnu Soetowo, mereka semua adalah guru-guru saya, tidak pernah mereka membatasi aktivitas kami.

Kita ini mewarisi mazhab penjajahan, strata masyarakat itu terbagi menjadi pertama orang kulit putih (Eropa), lalu warga Imigran Asia: China, Arab dan India. Dan terakhir baru pribumi. Lalu dikemukakan kelompok tertentu mengalami diskriminasi, padahal tidak. Dalam bidang militer ada banyak loh jenderal yang berasal dari warga keturunan. Siapa bilang mereka tak boleh berkiprah dalam bidang militer.

Mendapat kesempatan dalam bidang ekonomi ya. Kalau ada banyak warga keturunan yang sukses dalam bidang ekonomi itu bukan karena mendapat privilege tapi karena perjuangan mereka masing-masing. Saya kenal keluarga Eka Tjipta, Keluarga Tjiputra, Keluarga Djarum. Kalau keluarga Gudang Garam saya tidak dekat. Saya tahu benar mereka sukses karena perjuangan, bukan karena dapat privilege.

Dalam bidang budaya situasinya bagaimana, Anda adalah sosok yang amat menonjol?

Ada sosok Teguh Karya yang kiprahnya di dunia seni peran dan perfilman amat diakui. Dalam bidang media ada Auw Jong Peng-Koen  atau P.K Ojong. Saya baru mempelajari sastrawan keturunan dan peranakan seperti Njoo Cheong Seng, tulisannya bagus. Narasi yang dibangun itu warga keturunan itu tidak ada yang berkiprah dalam bidang budaya. Ini kan tidak benar. Keturunan India banyak sukses dalam bidang film, itu juga karena kerja keras, bukan privilege.

Dalam bidang kuliner dan busana batik, juga demikian. Jadi jangan dikotak-kotakkan. Mereka yang suskes itu perjalanannya alami, jangan distigmatisasi karena dapat privilege. Itu perjuangan masing-masing, soalnya ada banyak yang tak sukses.

Di tahun politik seperti sekarang apakah anda dan keluarga ikut ditarik untuk mendukung salah satu paslon atau partai politik?

Itu hak para politisi untuk mengajak siapa pun yang berpotensi mendukung, terutama yang bisa memberi dukungan secara finansial. Dan tidak semua orang kaya dari etnis Tionghoa, Chairul Tanjung misalnya dan banyak lagi yang lainnya. Jadi sekali lagi jangan menciptakan iklim diskriminatif, kita bukan kelompok tertindas, beda dengan kelompok negro zaman dulu yang mengalami perbudakan.

Jika melihat kiprah Alvi Lie (PAN), Kwin Kian Gie (PDIP), Ahok (dulu Golkar sekarang PDIP), Tina Toon (PDIP) Charles Honoris (PDIP), dll., apakah mereka sudah merepresentasikan kelompok Tionghoa?

Mereka itu mewakili dapilnya masing-masing, bukan etnis tertentu. Di akhir masa jabatan SBY dia menandatangani Kepres soal pelarangan menggunakan istilah China. Saat ada seseorang yang melakukan tindak pidana, misalnya korupsi jangan dibawa-bawa etnisnya. Soalnya itu bisa mengeneralisasi etnis tersebut, padahal yang melakukan hanya seorang, jadi oknum saja.

Hal mirip juga terjadi saat seseorang ditangkap karena dugaan terorisme, jangan karena dia beragama Islam membuat anda mengeneralisir semua orang agama Islam itu sama. Bagaimana kalau terjadinya di Irlandia Utara atau di India.

Pasca Reformasi muncul Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (PARTI),  Partai Pembauran Indonesia (Parpindo), dan Forum Masyarakat untuk Solidaritas Demokrasi Indonesia (Formasi), namun tidak bisa besar, apa kendalanya menurut Anda?

Ini membenarkan ajaran Kwik Kian Gie kalau kita itu adalah warga Indonenesia, titik. PSI pun sudah menghilangkan identitas itu. Soal kendala saya kira sudah enggak ada lagi sekarang.

Saat ini bentuk akulturasi yang paling pas itu apa?

Sekarang semua sudah terjadi, seseorang yang mau menikah dengan siapa pun bisa. Tinggal agama saja yang tidak boleh berbeda dalam pernikahan, karena ada undang-undang (UU No.1 tahun 1974) mengatur soal itu. Tapi soal menikah berbeda ras tak ada halangan, apalagi setelah Gus Dur memperbolehkan perayaan Imlek secara terbuka. Jangan melempar kesalahan saat kita tidak bisa meraih sebuah posisi. Harusnya koreksi diri dulu.

Saya ada lima teori soal ini, yaitu 5I yaitu informasi, intelegensia, intuisi, inisiatif dan yang kelima Insha Allah, kalau ada izin dari Yang Maha Kuasa. Yang mengajari saya soal ini adalah William Suryajaya.

Selain seniman Anda dan keluarga sudah lama bergerak dalam produksi Jamu Jago,  Apa yang membuat usaha ini bisa langgeng?

Resepnya ya 5I tadi. Tidak ada yang lain. Semua  atas izin dari Yang Maha Kuasa.

Terus di usia sekarang apa lagi yang ingin Anda capai?

Saya itu mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Dan saat ini masih dalam masa pencarian. Dulu saya menjadi soerang kartunis, karena lewat kartun saya mencari nafkah. Lalu saya menjadi penulis, karena saya menunggu mati saya. Pekerjaan saya, ya menulis. Di mana pun bisa menulis, apalagi dengan komputer sudah mudah sekali. Lalu saya menjadi musisi. Saya sedang menunggu ajal saya, jadi saya ingin menjadi manusia. Ini yang paling susah menjadi manusia.

Makanya saya mendirikan sanggar pembelajaran kemanusiaan. Ini sudah menjadi keyakinan saya, bahwa kemanusiaan itu adalah mahkota peradaban. Dari keenam calon pemimpin yang maju dalam kontestasi sekarang ini saya amati mereka sudah banyak bicara, namun soal kemanusiaan saya kok tidak menemukan dari mereka. Jadi mahkota peradaban itu bukan politik, budaya, ekonomi atau yang lain tetapi kemanusiaan.

Selama kita meletakkan kemanusiaan di atas segala-galanya kita tidak akan keliru. Inilah yang bisa menjadi perekat semua. Makanya hilangkanlah identitas etnis, suku dan yang sekarang masih sulit, identitas bangsa. Kalau kita sudah bersatu, tak ada lagi Persatuan Bangsa-bangsa, semua menjadi Persatuan Manusia. Tidak ada lagi masalah Palestina, masalah Ukraina, dan tak ada lagi masalah dua China (China Daratan dan Taiwan). Tidak akan ada juga pembantaian karena seseorang dituduh berpaham komunisme. Saat itu ayah saya menjadi korban juga. Makanya jadikan kemanusiaan menjadi mahkota peradaban.

Semoga seruan Anda ini didengar oleh para pemimpin Indonesia

Didengar iya, tapi tidak dipedulikan. Zaman sekarang ini banyak orang yang biasa hearing namun tak bisa listening. Makin banyak yang tidak peduli. Artinya peradabannya tidak tumbuh.

 

Jaya Suprana Melihat Aturan Dibuat untuk Dilanggar

Jaya Suprana prihatin masih banyak masyarakat Indonesia yang tidak malu melanggar aturan. (Foto Bambang Eros, DI Raga Granada VOI)
Jaya Suprana prihatin masih banyak masyarakat Indonesia yang tidak malu melanggar aturan. (Foto Bambang Eros, DI Raga Granada VOI)

Aturan mestinya dibuat untuk ditaati sehingga membuat laku dan tata kehidupan menjadi lebih baik. Namun yang dijumpai Jaya Suprana justru sebaliknya. Lampu lalu-lintas yang dijumpainya di sebuah perempatan jalan di Jakarta justru dilanggar ramai-ramai. Makin ironis, yang melanggar tak merasa bersalah, malah merasa bangga.

“Ternyata aturan di negara kita ini dibuat bukan untuk ditaati tapi untuk dilanggar. Buktinya yang saya saksikan sendiri saat hendak pergi ke sini banyak yang melanggar lampu lalu lintas. Lampu lalu lintas itu dibikin untuk dilanggar, hehehe,” katanya sembari terkekeh.

Yang membuat ia prihatin, rasa malu saat melanggar aturan belum menjadi budaya di negeri ini. “Saya pernah lama tinggal di Jerman, jam dua malam orang masih taat dengan lampu lalu lintas. Pulang ke Indonesia jam dua siang dengan bangganya orang di sini melanggar lampu lalu lintas. Di pentas politik juga begitu, politisi kita sudah enggak ada rasa malu,” tambah pria menjadi lulusan terbaik dalam pianoforte dari musik Hochschule, Muenster, Jerman (1970).

Jaya Suprana menyitir ramalan yang sempat dikemukakan oleh Jaya Baya ratusan tahun lalu atas zaman sekarang yang disebut sebagai zaman edan.  "Jamane jaman edan, sing ora edan ora bakal keduman (Artinya; saatnya zaman edan, orang yang tidak ikut edan-edanan tidak akan mendapatkan bagian),” ujar Jaya yang lahir di Denpasar, 27 Januari 1947.

Selain persoalan malu ada lagi falsafah Jawa yang selalu diingatkan Jaya Suprana dalam lelakoni kehidupan. “Ada ojo kesusu (jangan terburu-buru), ojo gumunan (jangan heran), puncaknya ojo dumeh (jangan mentang-mentang),” katanya.

Kelucuan Mahkamah Konstitusi

Kemanusiaan adalah mahkota peradaban, karena itu kata Jaya Suprana pemimpin harus meletakkan kemanusiaan di atas segalanya. (Foto Bambang Eros, DI Raga Granada VOI)
Kemanusiaan adalah mahkota peradaban, karena itu kata Jaya Suprana pemimpin harus meletakkan kemanusiaan di atas segalanya. (Foto Bambang Eros, DI Raga Granada VOI)

Ada pengalaman menarik yang dialami Jaya Suprana saat hendak mengajukan gugatan atas peraturan undang-undang soal presidential threshold 20%. Dia merasa dengan aturan ini mengurangi kesempatan bagi seorang calon pemimpin potensial, tetapi tak bisa memenuhi ambang batas 20%, sehingga ia pun mendatangi Mahkamah Konstitusi untuk mengusulkan perubahan atas aturan ini menjadi 0%.

“Namun apa yang saya temukan saat datang ke sana. Ketua MK bilang saya salah alamat. Soalnya kalau mau mengubah dan membuat undang-undang, bukan di MK, tapi di lembaga legislatif yang bertugas membuat undang-undang,” kata  Jaya menirukan pernyataan Anwar Usman, sebagai Ketua MK.

“Saya malu sekali, karena ternyata sudah salah alamat. Dan saya pulang dengan terlebih dulu meminta maaf. Saya katakan akan mencabut gugatan saya. Dan selanjutnya akan memasukkan gugatan ke DPR RI,” kenang Presiden Komisaris Jamu Jago Grup ini.

Namun betapa terkejutnya dia saat ada yang mengajukan gugatan atas batas usia calon presiden dan calon wakil presiden di MK ternyata diakomodir, bahkan gugatan itu dikabulkan dan membuat naskah undang-undang berubah. “Lho kok bisa MK mengubah aturan batas seseorang menjadi Cawapres, iki piye?,” kata pendiri Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) ini geleng-geleng kepala.

Kemanusiaan sebagai Mahkota Peradaban

Jaya Suprana mengkritisi maraknya bansos yang disebar jelang pilpres dan pileg, menurut dia bansos bagus namun lebih bagus kalau masyarakat diberi bantuan daya. Itu yang membuat masyarakat mandiri dan tidak mengalami ketergantungan. (Foto Bambang Eros, DI Raga Granada VOI)
Jaya Suprana mengkritisi maraknya bansos yang disebar jelang pilpres dan pileg, menurut dia bansos bagus namun lebih bagus kalau masyarakat diberi bantuan daya. Itu yang membuat masyarakat mandiri dan tidak mengalami ketergantungan. (Foto Bambang Eros, DI Raga Granada VOI)

Di usia sekarang Jaya Suprana tetap tak berhenti menulis. Setiap hari ia bisa menulis sampai enam tulisan dengan berbagai tema. “Dulu tulisan saya semua diterima pihak Kompas, sekarang mereka kewalahan untuk mengedit. Akhirnya saya mengirim tulisan dua hari sekali,” kata komposer yang karya-karnya sudah dipergelarkan di berbagai belahan dunia.

Dengan menulis ia bisa mengungkapkan isi hati dan kegelisahannya. “Kalau ada yang menganggap apa yang saya tulis bisa jadi warisan ya bagus. Asal bukan jadi kutukan saja, hehehe,” candanya.

Kepada calon pemimpin yang sekarang sedang berkompetisi meraih suara rakyat ia berpesan agar menjadikan kemanusiaan sebagai mahkota peradaban. “Letakkanlah kemanusiaan di atas segalanya. Dengan begitu kemungkinan keliru lebih kecil, jadi masih ada potensi keliru karena manusia itu tidak sempurna,” kata pria yang pernah mempergelar resital piano tunggal di Carnegie Hall, New York, Amerika Serikat (2014).

“Sebaliknya jangan meletakkan kekuasaan atau politik di atas segalanya, ini alamat akan datangnya kehancuran. Kalau kalian mengutamakan duit di atas segalanya maka Anda akan melakukan korupsi,” lanjut pendiri Jaya Suprana School of Performing Arts ini.

Jaya Suprana prihatin dengan pemimpin yang hanya memanfaatkan suara rakyat, namun lupa setelah duduk di kursi kekuasaan. “Sekarang ini kan lagi heboh soal bansos. Bansos itu bagus untuk jangka pendek, seperti saat pandemi COVID-19 kemarin, itu tepat guna. Maaf ini untuk Mas Jokowi-ku tercinta, kenapa bansos harus dibagi di depan istana? Namun untuk ke depan yang lebih diperlukan itu adalah banday alias bantuan daya. Berupa keterampilan yang membuat mereka mandiri. Ini yang bisa membuat rakyat lebih berdaya. Kalau bansos terus bisa membuat mereka terlena,” pungkas penulis buku Ensiklopedia Kelirumologi ini.

"Ini sudah menjadi keyakinan saya, bahwa kemanusiaan itu adalah mahkota peradaban. Dari keenam calon pemimpin yang maju dalam kontestasi sekarang ini saya amati mereka sudah banyak bicara, namun soal kemanusiaan saya kok kehilangan dari mereka. Jadi mahkota peradaban itu bukan politik, budaya, ekonomi atau yang lain tetapi kemanusiaan,"

Jaya Suprana