Komoditas pangan seperti bawang merah dan cabai paling rentan pada fluktuasi harga. Saat panen raya harganya jatuh dan sebaliknya melambung tinggi pada saat tidak musim panen. Menurut Direktur Utama PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) atau lebih dikenal dengan ID FOOD Frans Marganda Tambunan teknologi penyimpanan mestinya diterapkan lebih masif. Karena inilah solusi yang bisa dilakukan untuk mengatasi pasokan yang melimpah saat panen raya.
***
Keseimbangan harga pangan sejatinya amat didamba oleh para petani, peternak dan nelayan sebagai produsen bahan pangan. Pihak konsumen yang menggunakan barang kebutuhan mulai dari masyarakat umum, produsen makanan jadi dan pedagang juga menginginkan harga yang stabil. Saat produksi melimpah karena panen raya, hasilnya bisa diserap dengan harga yang pantas. Bukan sebaliknya harganya jatuh di titik terendah nyaris tiada harga.
Teknologi penyimpanan bahan pangan sudah ada sejak lama dan terus berkembang hingga saat ini. Namun keadaan ini belum diterapkan secara masif. “Teknologi seperti ini sebenarnya sudah ada di Indonesia dan digunakan, namun penggunaannya belum masif. Inilah yang menjadi PR kita bagaimana membuat proses pasca panen. Saat panen raya bawang dan cabai misalnya itu bisa kita simpan,” kata Frans Marganda Tambunan.
Menurut dia ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk menyimpan bahan pangan dalam waktu beberapa bulan. Ketika masa panen berakhir bisa dibuka dan dipasarkan kepada masyarakat. “Setelah panen hasilnya disimpan dengan teknologi control atmosfer storage. Jadi bagaimana produk pertanian itu bisa ditidurkan atau dilayukan tanpa menurunkan kualitasnya. Setelah panen 3 atau 4 bulan kemudian dibuka,” katanya.
Saat ini, ia melanjutkan, ID FOOD sudah berkoordinasi dengan Badan Pangan Nasional, untuk membuat tempat penyimpanan di beberapa titik. “Yang akan disimpan adalah cabai, bawang merah, dan produk pertanian yang sering mengalami gejolak harga. Bisa berupa chiller condition atau cotrol atmosfer storage,” katanya.
Beberapa manfaat bisa didapat dengan metode penyimpanan ini. Antara lain hasil panen petani, peternak dan nelayan bisa disimpan dalam waktu beberapa bulan. Dan dari sisi harga beli di tingkat petani bisa level yang wajar dan menguntungkan. Harga jual kembali pun tidak terlalu bergejolak karena pasokan bisa diatur sedemikian rupa, soalnya stok bahan pangan terjamin.
Frans Marganda Tambunan berbicara banyak soal peran dan fungsi ID FOOD dalam mencapai ketahanan pangan, dan distribusi bahan pangan yang merata ke seluruh penjuru negeri. Juga soal bagaimana mensejahterahkan petani, peternak, dan nelayan. Ia berbagi ide kepada Iqbal Irsyad, Edy Suherli, Savic Rabos dan Rifai dari VOI yang menemuinya di kantor ID FOOD belum lama berselang. Inilah petikan selengkapnya.
Salah satu tugas ID FOOD adalah distribusi pangan yang terorganisir agar tercipta stabilitas rantai pasok ke seluruh pelosok negeri, apa yang dilakukan untuk menjamin hal ini?
Pembentukan holding pangan ID FOOD itu bukan hanya mendistribusikan pangan ke seluruh pelosok negeri. Tujuan pembentukan holding pangan ini supaya kita mencapai ketahanan pangan, yaitu bicara ketersediaan, keterjangkauan dan kesinambungan pangan. Kami di ID FOOD menangani berbagai produk, ada beras, garam, daging sapi, minyak goreng, teh, ikan, daging, olahan ikan, dll. Tujuan berikutnya bagaimana meningkatkan kesejahteraan petani, peternak, dan nelayan. Dan selanjutnya bagaimana ke depan bisa menjadi BUMN pangan kelas dunia.
Terkait distribusi, ini adalah pemerataan produk. Bagaimana roda distribusi dari daerah produsen yang berlebih ke daerah yang masih kekurangan. Untuk ini kami tidak bisa bekerja sendiri, ada resources yang kita gunakan. Kita juga akan bekerjasama dengan pihak lain. Resources internal kita ada tiga anak perusahaan di bidang distribusi, PT Perusahaan Perdagangan Indonesia, PT Rajawali Nusindo dan PT GIEB Indonesia yang ada di Bali. Dari Aceh hingga Papua ada sekitar 80 cabang yang kita andalkan untuk mendistribusikan produk-produk pangan kita, baik secara komersil atau saat ada gejolak harga.
Kita juga mengharapkan adanya sinergi dengan pihak lain dari luar. Seperti diketahui kendala logistik kita karena ongkosnya cukup mahal. Karena itu kita bersinergi dengan Badan Pangan Nasional, Kementerian Perhubungan, dalam hal ini kita memanfaatkan instrumen dan fasilitas dari pemerintah yang sudah ada yaitu tol laut. Ke depan tol laut ini akan salah satu sarana dan prasarana yang kita maksimalkan untuk membawa produk dari daerah produsen ke daerah defisit dengan ongkos logistik yang lebih murah karena pemerintah menyediakan tarif subsidi untuk tol laut.
ID FOOD adalah BUMN yang berorientasi bisnis, tapi bagaimana menyelaraskan antara kepentingan bisnis dengan kepentingan sosial negara saat mengendalikan gejolak harga?
Dalam ekosistem BUMN pangan tidak hanya ID FOOD, ada juga Bulog. Bicara penugasan dan stabilisasi harga dan distribusi stok dan pasokan adalah wilayah kerja Bulog. Di kami lebih kepada reguler bisnis dan komersil, tapi kita tidak bisa lepas dari peran negara dalam membantu menstabilkan saat harga bahan pokok bergejolak. Kami juga harus berpartisipasi dalam hal tersebut. Kita akan bersinergi dengan Bulog, PTPN, Perhutani dan lain sebagainya, bagaimana kita untuk sama-sama berpartisipasi. Contohnya dalam kasus kelangkaan minyak goreng beberapa waktu yang lalu. Jadi bagaimana kami akan memaksimalkan potensi dan fasilitas yang kami punya untuk selain untuk bisnis reguler juga saat ada gejolak harga bahan pokok selama ID FOOD mampu dan tidak menyebabkan kerugian perusahaan.
Selain kasus minyak goreng, saat harga telur jatuh kami juga membantu mengambil telur dari daerah produsen untuk didistribusikan di Jakarta. Intinya peran negara melalui BUMN pangan saat ada gejolak harga harus dimaksimalkan.
Untuk Minyakita itu brand dari Kemendag, bukan dari kami. Tujuannya menyalurkan minyak goreng curah dengan kemasan sederhana kepada publik dengan harga terjangkau. Dari ID FOOD ada brand sendiri dengan nama Rania (Rajawali Nusantara Indonesia).
Presiden Jokowi amat concern pada ketahanan pangan, bagaimana ID FOOD menjawab hal ini?
Seluruh dunia, tidak hanya Indonesia sudah sangat tahu dengan ketahanan pangan masing-masing negaranya. Apalagi dengan terjadinya perang Rusia dan Ukraina yang berdampak luas pada banyak negara termasuk Indonesia. Karena Rusia dan Ukraina penghasil gandum, harga gandum sempat melambung setelah kedua negara ini berperang. Harga gas juga meningkat karena mereka adalah pemasok gas ke berbagai negara.
Jadi negara harus memperkuat ketahanan pangan dan kedaulatan pangannya. Apa kaitannya dengan ID FOOD, kita akan berpartisipasi dengan produk-produk dalam kegiatan bisnis kita. Produk kami ada beras, jagung, gula, garam, daging unggas dan daging sapi, dll. Kita juga punya beberapa program yang kami sebut flagshif untuk membantu pemerintah mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan. Contohnya gula konsumsi, pemerintah menargetkan untuk swasembada pada tahun 2025 nanti. Yang kita lakukan untuk mewujudkan keinginan pemerintah itu dengan mengurangi defisit, kita ada defisit kurang lebih 850.000 ton per tahun untuk mencapai kebutuhan 3,2 juta ton pertahun. Kita punya 3 anak perusahaan yang memproduksi gula. Yang dilakukan adalah melakukan perluasan lahan untuk menjamin ketersedian bahan baku gula. Kita bersinergi dengan PTPN dan Perhutani, bahkan dengan pemda bagaimana mereka bisa menggerakkan petani-petani mandiri untuk menanam tebu dan nanti akan diambil oleh pabrik gula kita. Ada juga program Makmur, tujuannya meningkatkan produktifitas petani tebu. Makmur adalah ekosistem bermitra dengan petani.
Bagaimana dengan kondisi panen yang melipah seperti pada cabai, bawang dan sebagainya, saat panen raya harga turun dan sebaliknya saat tertentu harganya melambung karena pengaruh musim dan hal lain, bagaimana dengan kondisi ini?
Kondisi seperti ini juga dialami oleh negara lain, saat panen raya atau peak season dan sebaliknya ada juga low season, cuma memang ada hal-hal yang harus kita perbaiki. Terutama pasca panen dan penyimpanan. Kalau anda makan apel misalnya, itu mungkin dari hasil penen 9 bulan lalu. Setelah panen hasilnya disimpan dengan teknologi control atmosfer storage. Jadi bagaimana produk pertanian itu bisa ditidurkan atau dilayukan tanpa menurunkan kwalitasnya. Setelah panen 3 atau 4 bulan kemudian dibuka. Teknologi penyimpanannya seperti ini sebenarnya sudah ada di Indonesia dan digunakan, namun penggunaannya belum masif. Inilah yang menjadi PR kita bagaimana membuat proses pasca panen. Saat panen raya bawang dan cabai misalnya itu bisa kita simpan. Saat ini sudah ada Badan Pangan Nasional, kami juga aktif bekerjasama untuk membuat proyek penyimpanan (storage) di beberapa titik. Yang akan disimpan adalah cabai, bawang merah, dan produk pertanian yang sering mengalami gejolak harga. Bisa berupa chiller condition atau cotrol atmosfer storage.
BACA JUGA:
Jadi ini fokus pada panen yang berlebih?
Ya, kondisi ini terjadi di semua negara saat panen berlebih. Kita membeli dari petani dengan harga yang panas, lalu disimpan di tempat penyimpanan dalam kurun waktu tertentu. Kita akan keluarkan saat tidak panen. Jadi kuncinya pada panen, pasca panen dan penyimpanan
Bagaimana kiatnya agar produk pertanian, peternakan dan lain sebagainya bisa bersaing bahkan mengalahkan produk sejenis dari negara lain?
Menarik, ini pertanyaannya mudah tapi menjawabnya berat. Terlebih dulu kita harus petakan pontensi yang kita punya. Saat kita bicara beras dan produk-produk lainnya persoalannya adalah competitivness (daya saing) harga. Ini bisa dipengaruhi banyak faktor, bisa dari subsidi pemerintah, produktifitas. Kita punya PR bagaimana meningkatkan produktifitas dan menekan ongkos produksi. Ada juga beberapa produk yang secara natural memang bagus untuk ekspor. Seperti beras, meski harus bersaing dengan negara produsen seperti Vietnam, Thailand dan Filipina, ID FOOD sendiri sudah beberapa kali melakukan eskpor beras, terutama ke negara-negara di Timur Tengah.
Untuk beras ini kita bisa masuk pada segmen yang negara lain seperti Vietnam dan Thailand tidak kuat. Seperti beras organik, beras hitam, dan beras merah. Berapa eksportir sudah masuk ke segmen ini. Jadi kita harus cari yang tidak tumpang tindih dengan yang dihasilkan oleh Thailand dan Vietnam.
Selain produk pangan kita sudah mulai ekspor cumi, gurita dan tuna. Kita sedang melakukan perbaikan di beberapa unit produksi kita agar bisa meningkat produktivitasnya. Untuk produk perikanan, kita bisa kompetitif dan bisa menjadi market leader ke depan.
Ini Jurus Keseimbangan Ala Frans Marganda Tambunan
Bagi Frans Marganda Tambunan bekerja keras memang penting. Namun yang lebih penting lagi adalah keseimbangan antara kerja keras di kantor dengan aktivitas seperti melakoni hobi dan quality time bersama keluarga tercinta. Inilah yang menjadi penyalur untuk melepaskan stres. Keseimbangan antara keduanya itulah yang ia lakukan selama ini.
Frans sepertinya sudah menemukan titik keseimbangan dalam hidupnya. Pria kelahiran Pematang Siantar, Sumatera Utara, 5 Februari 1978 ini tahu benar kapan ia harus bekerja keras dan kapan harus melakoni hobi dan bercengkerama dengan keluarga. Jadi sekeras apa pun tekanan pekerjaan dan target yang perlu direalisasikan di kantor tak akan membuatnya stres.
“Hidup kita ini memang harus seimbang. Jadi work hard and play hard itu penting. Kita boleh kerja keras di kantor, tapi harus jaga kesimbangan agar bisa stress release,” ungkap pria yang pernah duduk sebagai National Buyer of PT Carrefour Indonesia (Sept 2004 – Mar 2007) dan Senior Merchandise Manager of PT Makro Indonesia (Mar 2007 – Mar 2010).
Yang dilakukan Frans selepas urusan kantor adalah melakoni hobinya yang sempat tertunda karena kesibukan. Ada dua yang ia lakukan selama ini, berkebun dan memelihara ikan koi. “Kalau saya sih ada beberapa hobi-hobi yang bisa dilakukan atau yang tertunda. Biasanya saya melakukannya saat di akhir pekan. Hobi saya adalah gardening atau berkebun. Kalau sudah berkebun saya bisa lupa waktu,” akunya.
Tanaman yang menarik bagi pria yang menuntaskan pendidikan S1-nya di Institut Pertanian Bogor (IPB) ini adalah bunga dan buah dalam pot. “Ada kepuasan tersendiri yang bisa kita dapatkan kalau tanaman yang kita tanam di dalam pot itu bisa berbuah atau berbunga. Akhirnya setelah dirawat, dipupuk dan ditunggu sekian lama berbuah juga,” kata diringi dengan senyum.
Frans memiliki koleksi tanaman anggur dan mangga yang bobot buahnya bisa mencapai 2 kg per buah. “Selain mangga dan anggur saya juga punya lemon. Dan saya meramu pupuk sendiri untuk merangsang agar tanaman itu tumbuh subur dan akhirnya bisa berbuah,” kata Frans yang terinspsirasi setelah melihat temannya melakoni hobi berkebun.
Proses
Ada filosofi yang bisa dipetik dari apa yang dilakoninya ini. “Dari proses berkebun dan memelihara tanaman dalam pot itu, saya bisa mengambil filosofinya. Untuk menghasilkan tanaman yang subur dan berbuah itu tidak bisa serta-merta, ada proses yang harus dilalui dengan sabar. Perlu dirawat dan diperhatikan baru dia menghasilkan apa yang kita inginkan,” kata pria yang pernah menjabat sebagai Operation Director of PT Food Station Tjipinang Jaya (Sept 2015 – Des 2020).
Filosofi ini juga dilakoni Frans dalam bekerja. “Untuk menghasilkan karya terbaik dalam pekerjaan kita juga butuh proses, perlu dirawat dan diperhatikan. Jadi kurang lebih sama dengan proses yang harus dilalui dalam berkebun,” tandasnya.
Hobi lain yang dia lakukan selain bertanam buah dan bunga adalah memelihara ikan koi. Warna warni ikan koi yang berenang kian kemari nyaris tak ada capeknya menimbulkan rasa bahagia baginya. “Kalau melihat ikan koi berenang stres bisa hilang,” ujar pria yang juga melakoni olahraga ringan di akhir pekan.
Keluarga
Bagi Frans keluarga itu seperti terminal. Setelah sekian waktu selama lima hari berkutat dengan pekerjaan, tiba waktunya di ujung pekan untuk bercengkerama dengan orang yang dicinta dan disayangi.
“Berbagi waktu dengan keluarga itu amat penting karena keluarga adalah terminal, tempat kita bertemu dengan orang yang kita sayangi, cintai dan memberikan kita support tanpa syarat,” katanya.
Di antara kesibukan kerja melakoni hobi dan berinteraksi dengan keluarga bagi Frans adalah kunci untuk menemukan ketenangan dan kebahagiaan dalam hidup. “Untuk menemukan keseimbangan itu adalah keluarga dan melakoni hobi,” tandasnya.
Demi keluarga dia punya pola sendiri untuk pulang cepat sekali dalam sepekan di antara hari Senin hingga Jumat. “Jadi konkritnya untuk weekdays itu saya menyisihkan waktu untuk sekali pulang cepat untuk bisa bertemu dengan anak dan istri,” katanya.
Sedangkan di akhir pekan, ia bisa punya waktu yang lebih banyak untuk bisa bersama keluarga. “Meski saya masih melakoni hobi berkebun dan pelihara koi, itu bisa dilakukan dengan keluarga. Karena saya melakukan semuanya di rumah,” katanya.
Kalau sudah di rumah, Frans jarang sekali melakukan pekerjaan kantor kecuali amat mendesak. “Saya full untuk keluarga kalau sudah di akhir pekan. Kadang kami bisa pergi bersama untuk sekadar makan bersama. Hal seperti ini bisa membuat bonding dengan anak dan istri tetap terjaga,” tambahnya.
Selain makan bersama di rumah makan travelling akan menjadi momen yang juga penting untuk memperkuat bonding dengan anggota keluarga. “Selain saya juga senang travelling, kadang-kadang anak juga memaksa untuk travelling,” kata yang tidak punya waktu khusus untk travelling. Semua menyesuaikan dengan kesempatan dan waktu yang ada.
Frans Marganda Tambunan tak ingin kesibukan kerja membuat ia melupakan keluarga. “Banyak terjadi di kota besar, orang terlalu menomorsatukan pekerjaan dan menomorduakan keluarga. Antara keduanya haru seimbang, bukan yang satu lebih dipentingkan dari yang lain,” kata pria yang menyempatkan mengantar buah hatinya ke sekolah sekali atau dua kali dalam sepekan.
“Setelah panen hasilnya disimpan dengan teknologi control atmosfer storage. Jadi bagaimana produk pertanian itu bisa ditidurkan atau dilayukan tanpa menurunkan kwalitasnya. Setelah panen 3 atau 4 bulan kemudian dibuka. Teknologi penyimpanannya seperti ini sebenarnya sudah ada di Indonesia dan digunakan, namun penggunaannya belum masif. Inilah yang menjadi PR kita bagaimana membuat proses pasca panen. Saat panen raya bawang dan cabai misalnya itu bisa kita simpan,”