JAKARTA - Di pasar modal saat ini, sedang marak aksi korporasi di mana perusahaan besar mengakuisisi emiten kecil. Contoh teranyar adalah Grup Agung Sedayu Group yang masuk ke pasar modal RI dengan mencaplok emiten berkapitalisasi rendah PT Pratama Abadi Nusa Industri Tbk (PANI).
Adalah PT Multi Artha Pratama, anak usaha dari raksasa properti Agung Sedayu milik konglomerat Sugianto Kusuma 'Aguan' yang mengumumkan telah mengakuisisi 328 juta saham atau mencapai 80 persen dari total saham di PANI, produsen wadah dari logam berupa kaleng kemas.
Sebelumnya perusahaan e-commerce, PT Global Digital Niaga atau lebih dikenal dengan Blibli dari Grup Djarum milik konglomerat Hartono Bersaudara juga telah menyampaikan rencana pengambilalihan 51 persen saham PT Supra Boga Lestari Tbk (RANC) yang disebut sebagai upaya perusahaan untuk mengembangkan ekosistem bisnisnya.
Dua aksi perusahaan besar tersebut disinyalir oleh para investor dan pelaku pasar, adalah strategi pencatatan melalui jalur belakang (backdoor listing) di Bursa Efek Indonesia (BEI). Backdoor listing adalah suatu aksi akuisisi yang dilakukan oleh perusahaan tertutup kepada perusahaan yang sahamnya tercatat di bursa efek.
Dalam kebanyakan kasus, sebuah perusahaan yang ingin sahamnya tercatat untuk diperdagangkan di bursa akan melalui penawaran umum perdana (IPO), sedangkan skema backdoor listing memungkinkan perusahaan untuk mendaftarkan saham di bursa publik dengan menghindari proses IPO tradisional.
Meskipun tidak lazim, perusahaan swasta kadang-kadang lebih memilih backdoor listing untuk menghindari proses IPO yang memakan waktu dan biaya besar, dan keribetan proses administrasinya
Backdoor listing sendiri bukan merupakan skema baru, tercatat beberapa perusahaan besar telah memilih jalur ini untuk menjadi perusahaan publik, mulai dari perusahaan konglomerat Anthony Salim hingga Peter Sondakh.
Berikut beberapa backdoor listing yang pernah dilaksanakan di pasar modal Tanah Air:
1. PT Indoritel Makmur Internasional Tbk (DNET)
Bisnis utama emiten ini adalah berinvestasi pada industri konsumen dan ritel di Indonesia yang juga merupakan pengelola jaringan mini market Indomaret. Akan tetapi sebelum bertransformasi menjadi emiten ritel, DNET awalnya merupakan emiten 'kelas teri' penyedia jasa internet atau ISP yang bernama PT Dyviacom Intrabumi Tbk.
Nasib emiten ini berubah 180 derajat setelah melakukan penawaran umum saham terbatas melalui skema rights issue dengan 14 miliar saham di harga Rp500 per saham sehingga perusahaan mampu mengumpulkan dana Rp7 triliun.
Dana hasil rights issue tersebut kemudian digunakan untuk pengembangan bisnis di tiga perusahaan milik Grup Salim. Sekitar 28,55 persen diinvestasikan untuk membeli 35,84 persen saham PT Fast Food Indonesia Tbk (FAST).
Kemudian, sebesar 30,45 persen digunakan untuk membeli 31,50 persen saham PT Nippon Indosari Corpindo Tbk (ROTI), sedangkan 3,35 persen digunakan untuk modal kerja.
Selanjutnya 37,65 persen sisa dari hasil dana rights issue dialokasikan untuk membeli 40 persen saham PT Indomarco Prismatama, perusahaan pengelola Indomaret yang belum melantai di bursa. Sehingga, secara tidak langsung, Indomaret telah melakukan pencatatan di bursa melalui skema backdoor listing.
2. PT AirAsia Indonesia Tbk (CMPP)
PT Indonesia AirAsia (IAA) memang batal melakukan penawaran umum perdana (IPO), namun sang induk AirAsia Bhd berhasil memperoleh cara lain untuk membawa anak usahanya itu masuk pasar modal, yakni melalui PT Rimau Multi Putra Pratama Tbk (CMPP).
Pemilik saham utama CMPP sendiri yakni PT Rimau Multi Investama menguasai 76,24 persen. Sedangkan 23,76 persem sisanya dikuasai masyarakat. Sementara itu, pemegang saham IAA adalah Air Asia Investment Ltd dan PT Fersindo Nusaperkasa.
CMPP kala itu menerbitkan saham baru dengan penawaran umum terbatas (PUT I) dengan hak memesan efek terlebih (rights issue) sebanyak 13,65 miliar saham dengan harga pelaksanaan Rp250 per lembar dan rasio dilusi 97,97 persen.
Saham baru CMPP tersebut diserap Air Asia Investment Ltd dan PT Fersindo Nusaperkasa sebagai pembeli siaga. Sedangkan Rimau Multi Investama selaku pemegang saham utama tidak akan mengambil bagian dari rights issue tersebut.
Dengan harga saham rights issue tersebut, CMPP mengantongi dana sekitar Rp3,4 triliun. Sekitar 76 persen dari dana tersebut akan digunakan untuk mengambilalih sekuritas perpetual (surat berharga) IAA senilai Rp2,6 triliun.
BACA JUGA:
3. PT Eagle High Plantations Tbk (BWPT)
PT Eagle High Plantation Tbk (BWPT) yang dulu bernama PT BW Plantation Tbk. Perusahaan kelapa sawit ini melakukan rights issue dengan rasio 1:6 di harga Rp 400 lembar saham dengan total raihan dana hingga Rp11 triliun.
Aksi ini Aksi korporasi ini dilakukan setelah Peter Sondakh melalui PT Rajawali Capital Internasional yang mengakuisisi 51 persen saham BW Plantation pada 2014.
Aksi korporasi ini dijadikan tunggaangan bagi Grup Rajawali untuk memasukkan perusahaan sawitnya yang merupakan salah satu perusahaan dengan luas lahan terbesar di Indonesia ke bursa saham.
Dana dari penerbitan saham baru itu lantas digunakan BW Plantation untuk mengakuisisi Group Green Eagle milik Peter Sondakh dengan nilai transaksi Rp10,53 triliun.