JAKARTA - Anggota Komisi IV DPR RI Andi Akmal Pasluddin berharap pemerintah berkomitmen untuk tidak melakukan impor beras, seiring dengan tersedianya stok beras dalam negeri yang disebut Kementerian Pertanian (Kementan) cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional.
"Saya menaruh harapan besar kepada Kementan khususnya, meskipun anggarannya telah berkurang lebih setengah dibanding dari tahun 2015 silam, namun begitu strategisnya sektor ini, menjadi harapan bangsa ini seiring dengan kemampuan negara kita yang memiliki potensi besar sebagai penghasil pangan untuk seluruh masyarakat Indonesia," kata Akmal dalam siaran pers, dikutip dari Antara, Rabu 13 Oktober.
Data Kementan menyebutkan ketahanan pangan di Indonesia meningkat selama pandemi, hingga ekspor beras meningkat 15,4 persen pada 2020, dan diperkirakan berlanjut pada 2021.
Akmal mengingatkan pemerintah agar berkomitmen tidak impor beras hingga dua tahun, karena pemerintah sendiri yang mengklaim ketersediaan pangan cukup dan solid untuk memenuhi kebutuhan rakyat.
Akmal mengatakan pemerintah perlu mengevaluasi tahun 2021 ini masih ada importasi beras yang terjadi, meski tidak dilakukan oleh Perum Bulog.
Kenyataannya, kata Akmal, Indonesia telah melakukan impor beras sebanyak 41,6 ribu ton dengan nilai 18,5 juta dolar AS atau setara Rp266,4 miliar. Jika dibandingkan dengan bulan Juni 2021, realisasi nilai impor pada Juli mengalami penurunan 38,6 persen, di mana nilai impor beras pada Juni 2021 mencapai 30,12 juta dolar AS.
Impor beras pada Juli 2021 terbanyak diimpor dari India dengan volume 29,52 ribu ton senilai 12,2 juta dolar AS. Disusul Vietnam sebesar 8.850 ton dengan nilai 4,4 juta dolar AS.
BACA JUGA:
Selain India dan Vietnam, Indonesia juga melakukan impor beras dari Thailand sebanyak 2.150 ton dengan nilai 1,4 juta dolar AS. Juga Pakistan sebesar 1.000 ton dengan nilai 390.000 dolar AS.
Akmal mengapresiasi cara pandang Mentan Syahrul Yasin Limpo bahwa pertanian itu bukan cuma makanan. Akan tetapi pertanian itu merupakan lapangan kerja, ekonomi dasar dan nutrisi yang berkait dengan tumbuh kembang, kesehatan, stunting, dan lain-lain.
"Kadang pangan ini terutama beras, bukan saja menjadi komoditas yang diperjuangkan untuk idealisme bangsa, akan tetapi menjadi alat politik yang akhirnya terjadi beda pendapat antar sesama pemerintah sendiri dari kementerian teknis dengan kementerian nonteknis. Ujungnya kebijakan impor dan rakyat jadi korban. Saya harap, jangan ada lagi itu terjadi, dan kami terus mendampingi pemerintah dalam pengawasan, agar komitmen dua tahun ke depan bahkan seterusnya, tidak ada lagi importasi beras reguler non-premium untuk mengisi cadangan stok yang seharusnya sudah penuh," kata Akmal.