Bagikan:

JAKARTA - Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah menilai pemerintah telah menyiapkan strategi khusus atas inisiatif penghilangan ketentuan transfer Dana Alokasi Umum (DAU) ke daerah sebesar 26 persen.

Menurut dia, wacana penghapusan ketentuan 26 persen itu sudah masuk dalam pembahasan RUU Hubungan Keuangan Pemerintah dan Pusat (HKPD) yang kini tengah digodok bersama DPR.

“Kalau kita melihat dari versi HKPD yang disampaikan oleh pemerintah melalui Surpres (Surat Presiden) ke DPR, disitu ada klausul yang menyebutkan bahwa tidak ada lagi pagu DAU persentasenya berapa persen,” ujarnya dalam sebuah webinar pada Rabu, 6 Oktober.

Menurut Rusli, jika usulan tersebut disahkan oleh DPR maka pemerintah pusat bisa ‘sesuka hati’ menentukan besaran anggaran DAU yang akan dikirim ke daerah karena tidak adanya ketetapan porsi yang mengatur.

“Nah angka 26 persen ini adalah angka yang menjadi rujukan bagi pemerintah daerah untuk melaksanakan penganggaran atau merencanakan APBD-nya,” tutur dia.

Sebagai informasi, DAU merupakan salah satu komponen belanja pada APBN, dan menjadi salah satu komponen pendapatan bagi APBD. DAU yang dikeluarkan pemerintah pusat adalah sebesar 26 persen dari pendapatan dalam negeri neto.

Kemudian, DAU yang diterima daerah sendiri merupakan pendapatan dalam negeri neto untuk periode dua tahun sebelumnya. Ini dimaksudkan guna memberikan jeda waktu penganggaran sehingga tidak terburu-buru dalam menyusun APBD.

Sebagai contoh, APBD Provinsi Jakarta 2021 ditetapkan berdasarkan keputusan alokasi DAU 2019 (26 persen dari pendapatan dalam negeri neto di 2019).

“Saya dengar dari beberapa teman di Senayan (DPR), itu pembahasannya masih alot karena ada yang meminta pagu 26 persen itu tidak dihilangkan sehingga perencanaan pembangunan di daerah bisa lebih jelas. Tapi ini adalah sebuah proses politik yang masih akan terus berjalan,” katanya.

Rusli sendiri menduga jika nantinya kepala daerah akan bersuara karena tidak adanya kejelasan dan kepastian dana yang akan diterima oleh mereka. Meski demikian, peneliti Indef ini melihat pemerintah cukup piawai dalam meredam hal tersebut.

“Pasti daerah pasti akan teriak, seperti gubernur, wali kota, bupati akan bersuara. Tapi ingat, pada 2022 dan 2023 mendatang tidak ada pilkada yang memilih pemimpin baru, yang ada hanya Plt atau Pjs (pelaksana tugas/pejabat sementara) yang dipilih oleh pemerintah pusat. Sehingga dengan menghilangkan pagu tersebut tidak akan ada teriak karena gubernur, wali kota, bupati yang dipilih bukan berdasarkan pilihan rakyat melalui pilkada tetapi oleh pusat. Kalau tetap teriak tinggal copot,” jelas dia.

Rusli menilai siasat yang dibuat pemerintah ini tidak lepas dari kondisi APBN yang cukup berat dalam menanggung beban defisit anggaran.

Harus disadari bahwa mulai 2023 mendatang ketentuan defisit APBN harus kembali ke level di bawah 3 persen dari produk domestik bruto (PDB). Hal itu merupakan langkah penyehatan APBN setelah pada 2020 hingga 2022 diperbolehkan melebihi ketentuan di atas 3 persen..

“Saya melihat ini perlu bagi pemerintah untuk melihat beban fiskal yang berat untuk 2023 dan seterusnya sehingga perlu ada fleksibilitas dari APBN kita,” katanya.