Cerita Sri Mulyani Soal Kekesalan Presiden Jokowi atas Belanja Pemda: Uangnya Diecer-ecer
Presiden Joko Widodo (kiri) ketika berbincang dengan Menkeu Sri Mulyani beberapa waktu lalu. (Foto: Dok. Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Usai mengikuti Rapat Paripurna DPR RI untuk pengambilan keputusan Rancangan Undang-Undang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (RUU HKPD), Menteri Keuangan (Menkeu) kemudian menggelar konferensi pers di pelataran Kompleks Parlemen.

Dalam keterangannya, Menkeu menyebut jika pemerintah dan DPR sepakat untuk memperkuat kinerja keuangan negara melalui evaluasi hubungan pusat-daerah menjadi lebih seirama. Pasalnya, desentralisasi fiskal yang selama ini bergulir dinilai kurang efektif akibat belanja daerah yang cenderung lamban.

Padahal, dalam kondisi pandemi saat ini instrumen fiskal, baik di pusat maupun di daerah, menjadi ujung tombak dalam mendorong perekonomian.

Dijabarkan Menkeu jika besaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) terus melambung dari tahun ke tahun. Tercatat, pada 2013 alokasi TKDD sebesar Rp528 triliun. Nilai tersebut kemudian melesat hingga menjadi Rp795 triliun pada 2021.

Dana alokasi umum (DAU), yang merupakan bagian dari transfer ke daerah, malah digunakan pemda sebagai kantong utama belanja pegawai dengan persentase 64,8 persen.

Sementara anggaran belanja modal yang seharusnya mendominasi DAU, malah diambil dari dana alokasi khusus (DAK) yang sedianya hanya sebagai supporting belanja modal.

Pemerintah lantas membuat kebijakan melalui UU HKPD dengan menetapkan belanja pegawai maksimal 30 persen dan belanja infrastruktur (modal) harus dialokasikan 40 persen.

“Belanja daerah belum fokus dan tidak efisien,” kata Menkeu, Selasa, 7 Desember.

Tidak berhenti sampai di situ, ketidakefektifan spending pemda nampak pula dari banyaknya kegiatan yang mencapai ratusan ribu agenda namun tidak memiliki dampak perekonomian yang signifikan.

“Kita lihat saat ini di daerah ada 29.623 jenis program dan 263.135 jenis kegiatan yang didanai oleh APBD,” tuturnya.

Malahan, bendahara negara mengungkapkan jika hal tersebut menjadi perhatian khusus bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk segera dilakukan perbaikan.

“Makanya, kegiatan ini sangat kecil-kecil dan dampaknya juga sangat minimal atau bahkan tidak dirasakan. Kalau istilah Bapak Presiden uangnya diecer-ecer,” ucap dia.

Dalam pemberitaan VOI sebelumnya, Menkeu Sri Mulyani sempat menyampaikan jika ketidakagresifan pemda tercermin dari nilai akumulasi belanja yang masih belum terlaksana (surplus) sebesar Rp111,5 triliun hingga 31 Oktober 2021.

Padahal, kondisi keuangan negara (APBN) di periode yang sama diketahui defisit Rp548,9 triliun. Artinya, surplus yang diterima daerah adalah jerih payah pusat yang dipenuhi lewat pembiayaan (utang).

Fakta lain yang terungkap adalah batasan waktu belanja daerah untuk tahun ini hanya sampai 24 Desember 2021. Itu artinya, pemda harus segera mengeksekusi anggaran triliunan rupiah dalam tempo sekitar dua pekan dari sekarang.

Adapun, serapan anggaran daerah tertinggi ada di Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta dengan persentase masing-masing 66 persen. Sementara daerah dengan realisasi belanja APBD terendah terjadi di Maluku dengan level 39 persen.