Garuda Indonesia Utang hingga Rp70 Triliun, Erick Thohir: Kesalahan Pengelolaan Bisnis, Harusnya Bisa Manfaatkan Rp1.400 Triliun Pasar Domestik
Pesawat Garuda Indonesia. (Foto: Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengakui adanya kesalahan dalam pengelolaan bisnis PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA). Kesalahan tersebut menyebabkan maskapai penerbangan pelat merah itu mengalami penumpukan utang yang jumlahnya mencapai lebih dari Rp70 triliun.

Namun, kata Erick, kesalahan tersebut dapat menjadi pelajaran yang berharga. Menurut Erick, wilayah Indonesia yang merupakan negara kepulauan harus dapat dimanfaatkan industri penerbangan untuk menjaga bisnisnya. Apalagi, moda transportasi udara merupakan satu-satunya yang dapat menghubungkan antarpulau dengan cepat.

"Khusus untuk Garuda ini memang kesalahan yang kita juga tidak bermaksud apa-apa, tapi memang kita ingin menjadi bagian yang harus belajar. Bahwa apa? Indonesia itu domestik market sangat kuat," tuturnya dalam dialog virtual IDX Channel, dikutip Jumat, 17 September.

Kata Erick, sebelum merebaknya pandemi COVID-19 sebanyak 78 persen penumpang pesawat merupakan turis domestik atau Warga Negara Indonesia (WNI). Sementara sisanya adalah warga asing maupun pelancong luar negeri.

Dari jumlah penumpang lokal perputaran uangnya mencapai Rp1.400 triliun. Dengan besarnya pasar domestik, kata Erick, seharusnya mampu dimanfaatkan Garuda Indonesia untuk menjaga keberlanjutan bisnisnya.

Karena itu, Erick memastikan ke depan Garuda Indonesia akan lebih fokus menggarap rute penerbangan dalam negeri ketimbang luar negeri.

"Jadi memang nanti kita akan memfokuskan kepada penerbangan dalam negeri saja. Ini untuk bisnis model perubahan," ucapnya.

Selain itu, Erick mengungkap kendala lainnya yang dilakukan manajemen adalah besarnya beban sewa pesawat kepada lessor. Adapun total jumlahnya mencapai 28 persen dari keseluruhan beban operasional yang ditanggung perseroan.

Apalagi, kata Erick, terdapat sewa pesawat kepada lessor yang terindikasi dilakukan untuk kepentingan oknum-oknum petinggi perusahaan. Sebab, berdasarkan temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ada indikasi tindak pidana korupsi.

"Kita coba negosiasi ulang, tetapi Garuda kan ini kondisi yang terberat dan kita bisa melihat di banyak negara juga dilakukan hal-hal yang sama," ucapnya.