Memahami Bisnis Migas yang Rumit Secara Sederhana ala Mantan Menteri ESDM Arcandra Tahar
Mantan Menteri ESDM, Arcandra Tahar. (Foto: Dok. Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar mencoba menjelaskan soal maraknya pelaku usaha minyak dan gas (migas) dunia yang mengubah skema bisnis dari sistem cost recovery menjadi gross split.

Menurut dia, fenomena tersebut tidak lepas dari tekanan investor yang menginginkan kontraktor migas bisa lebih berperan dalam mengurangi emisi karbon juga semakin gencar. Akibatnya banyak negara yang punya cadangan migas berlomba-lomba memperbaiki diri agar tetap dilirik oleh investor migas.

“Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan mengubah sistem bagi hasil antara kontraktor migas dan negara dengan model fiskal yang lebih sederhana, cepat dan adil. Harapannya, kepercayaan kontraktor kepada negara lewat model fiskal baru ini bisa terjalin dengan lebih baik dan resiko bisnis bisa terbagi secara lebih adil antara negara dan kontraktor,” kata dia di akun Instagram pribadi @arcandra.tahar seperti yang dikutip pada Kamis, 19 Agustus.

Arcandra menambahkan, sistem bagi hasil gross split sebagai ganti dari sistem cost recovery yang sudah dipakai sejak dekade 1970-an.

Sebagai contoh, Petronas Malaysia mulai menawarkan sistem gross split di awal 2021 untuk Small Field Asset (SFA). Sebelumnya Petronas menggunakan sistem cost recovery untuk aset-aset seperti ini. Rusia merencanakan untuk memakai sistem gross split untuk lapangan-lapangan offshore mereka.

Selain Malaysia dan Rusia, Nigeria sebagai salah negara yang kaya minyak di benua Afrika bahkan mereformasi undang-undang migas mereka dengan mengubah sistem cost recovery menjadi gross split (tax and royalty) pada tgl 16 Agustus 2021.

“Sementara Indonesia sudah memperkenalkan sistem gross split sejak Desember 2016, selangkah lebih maju dari Malaysia dan Nigeria. Blok Rokan yang kini dikelola oleh Pertamina juga menggunakan gross split,” tuturnya.

Lebih lanjut, Arcandra mencontohkan jika produksi 100 barrel (bbl) dan ongkos produksi 80 bbl, maka sisa 20 bbl dibagi antara negara dan kontraktor. Jika bagi hasil antara negara dan kontraktor adalah 85 persen dan 15 persen, negara akan mendapatkan 17 bbl dan kontraktor 3 bbl. Tapi keseluruhan, kontraktor sebenarnya mendapat 83 bbl (80+3).

Kelemahan dari sistem cost recovery ini adalah kalau ongkos produksi naik menjadi 90 bbl. Sisa produksi yang bisa dibagi hanya tinggal 10 bbl. Artinya negara hanya dapat 8.5 bbl dan kontraktor dapat 91.5 bbl.

“Semakin tinggi ongkos produksi yang dikeluarkan kontraktor maka semakin sedikit negara mendapatkan bagiannya,” kata dia.

Berbeda dengan cost recovery, sistem gross split membagi bagian negara dari produksi kotor. Misalnya produksi 100 bbl maka bagian negara (split atau royalty) 15 bbl yang ditetapkan besarannya diawal, tergantung dari karakteristik dari blok migas tersebut, bukan bergantung dari ongkos produksi. Kontraktor akan mendapat 85 bbl yang sudah termasuk biaya produksi.

“Kalau kontraktor berusaha untuk lebih efisien pengurangan biaya ini menjadi milik kontraktor. Sebaliknya jika kontraktor tidak efisien mereka sendiri yang menanggung akibatnya. Artinya, inefisiensi kontraktor tidak berdampak kepada bagian negara,” jelasnya.

Dalam perumpamaan sederhana antara petani penggarap dan pemilik sawah, sistem cost recovery mencakup ongkos pupuk, pestisida, irigasi, bibit dan perawatan sebelum panen ditalangi oleh petani penggarap. Sewaktu panen, maka semua biaya dibayar oleh pemilik sawah lewat produksi gabahnya.

“Misalnya panen dengan 100 karung, biaya produksi 80 karung maka 20 karung sisanya dibagi antara petani penggarap dan pemilik sawah. Kalau petani penggarap mengajukan biaya lebih tinggi maka pemilik akan mendapatkan bagian yang makin sedikit. Bagaimana kalau penggarap mengajukan biaya sampai 95 karung karena berbagai alasan? Pemilik sawah hanya bisa gigit jari, tidak bisa menikmati hasil panen yang sesuai,” ucap dia.

Sementara dengan menggunakan sistem gross split, pemilik sawah dijamin untuk mendapat bagiannya. Misalnya 15 karung dari 100 karung gabah yang dihasilkan. Penggarap akan dapat 85 karung. Kalau petani penggarap mau bekerja keras sehingga ongkos produksi bisa ditekan, maka efisiensi ini akan dinikmati oleh penggarap.

“Bagi hasil untuk pemilik sawah tidak tergantung pada cara kerja dan teknologi yang digunakan penggarap. Ketidaktahuan pemilik sawah tentang bagaimana bercocok tanam yang baik tidak menjadi kendala dalam menjalankan bisnis pertanian. Bagi penggarap, ini sebuah kemudahan karena tidak harus menjelaskan ke pemilik kenapa ongkos produksinya sekian, nanti malah kebanyakan debat,” imbuhnya.

Lantas bagaimana jika tiba-tiba harga gabah anjlok? Bisa jadi 100 karung hasil panen tidak mampu menutupi ongkos produksi.

“Melalui sistem gross split, bagian pemilik sawah akan mengecil agar kerugian si penggarap bisa terbantu. Sebaliknya kalau harga gabah tinggi maka bagian pemilik bisa lebih besar. Ini adalah salah satu cara agar kontrak antara penggarap dan pemilik bisa lebih adil,” tegasnya.

Adapun, pada industri migas, penggarap adalah perusahaan minyak seperti Pertamina, Medco, Chevron, ExxonMobil, Shell dll. Sementara pemilik sawah adalah negara atau pemilik blok migas.