Perang di Ukraina Ubah Peta Energi Amerika Cs, Ini Penjelasan Eks Wamen ESDM Arcandra Tahar
Ilustrasi (Foto: Dok. Pertamina)

Bagikan:

JAKARTA – Mantan Menteri ESDM Arcandra Tahar mengungkapkan bahwa banyak negara maju mengubah strategi mereka untuk memenuhi kebutuhan energi pasca konflik Rusia-Ukraina yang mulai terjadi pada akhir 2021.

Menurut dia, Uni Eropa mulai menyadari bahwa masa transisi energi menuju net zero emission memerlukan waktu dan energi fosil belum bisa tergantikan paling tidak untuk 30 tahun ke depan.

“Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang sudah dipensiunkan, kembali dioperasikan akibat energi yang berasal dari angin dan matahari belum mampu memenuhi kebutuhan setelah pandemi. Tahun 2022 Jerman menghidupkan kembali PLTU sekitar 9 GW,” ujarnya pada Minggu, 4 Juni.

Arcandra menjelaskan, krisis energi yang terjadi di Eropa berdampak pada mahalnya harga batu bara dan gas yang sangat dibutuhkan pada saat musim dingin. Disebutkan bahwa naiknya harga energi lantas mendorong inflasi tinggi dan menyebabkan harga-harga kebutuhan pokok meroket.

“Subsidi yang selama ini digunakan untuk membantu renewable energy bisa berkembang dengan baik dialihkan ke subsidi energi fosil. Inilah realita yang harus diterima oleh Uni Eropa,” tutur dia.

Arcandra menyebut, Amerika Serikat (AS) sedikit banyak terkena dampak dari konflik di Eropa Timur tersebut. Dia berpandangan sampai hari ini AS mampu mencukupi kebutuhan energi mereka terutama untuk gas. Adapun, untuk minyak mentah sebagian masih impor.

“Perlahan tapi pasti, inovasi dalam pengelolaan shale oil dan shale gas, telah mampu menjadikan AS sebagai negara produsen minyak dunia mengalahkan Arab Saudi,” imbuhnya.

Dia menyebut sewaktu Presiden Biden dilantik menjadi presiden, produksi minyak AS sekitar 11 juta barel per day (BOPD). Pada 2022 meningkat menjadi 12 juta BOPD dan tahun 2023 akan naik lagi menjadi 13 juta BOPD.

“Angka tersebut merupakan rekor terbaru dalam sejarah perminyakan AS dan merupakan salah satu langkah strategis yang dijalankan AS untuk mencapai ketahanan energi mereka. Belum ada tanda-tanda AS akan mengurangi kegiatan eksplorasi dan produksi migas paling tidak untuk 10 tahun ke depan,” tegas dia.