Eks Wamen ESDM Ungkap Harga Minyak yang Menggila Bikin Barat Melunak ke Iran
Ilustrasi (Foto: Dok. Antara)

Bagikan:

JAKARTA – Wakil Menteri (Wamen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar menyebut jika harga minyak dunia mengalami fluktuasi hebat dan kini tengah bertengger di level yang cukup tinggi. Menurut dia, terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan komoditas energi tersebut dijual mahal.

Tidak hanya dari sisi keekonomian, harga minyak juga cukup rentan terhadap pengaruh yang bersifat eksternal, seperti kondisi geopolitik yang terjadi di dunia. Indikasi tersebut terlihat dari pencabutan sanksi terhadap Iran oleh pihak barat.

“Negosiasi masalah nuklir Iran mencapai titik temu, sehingga sanksi yang diberlakukan selama ini bisa dicabut,” ujarnya dalam Instagram @arcandra.tahar dikutip Senin, 20 Juni.

Mantan pembantu Presiden Jokowi itu mengungkapkan jika strategi yang ditempuh jelas memiliki harapan agar minyak dari negara teluk dapat kembali membanjiri pasar sehingga bisa mengatasi krisis energi akibat perang Rusia dan Ukraina.

“Dengan dicabutnya sanksi ini, suplai minyak dunia bisa bertambah paling tidak sebesar 2,5 juta barel per hari atau sekitar 2,5 persen kebutuhan dunia,” tuturnya.

Apabila tujuan tersebut berhasil, maka sebagian kebutuhan energi negara-negara Eropa yang selama ini mengalir dari Rusia bisa tergantikan.

“Artinya, suplai minyak dari Rusia yang diperuntukkan bagi ekspor sebesar 4 juta barel per hari bisa diatasi sebagian besar dari Iran,” kata dia.

Walau tidak benar-benar mengatasi permasalahan secara tuntas, namun sinyal melunaknya sikap barat Ke Iran bisa menjadi upaya nyata dalam menekan harga minyak yang terus menggila.

“Sisanya (selisih kebutuhan) bisa didapat dari peningkatan produksi dari lapangan minyak di Arab Saudi, Kuwait dan Uni Emirat Arab,” tegas Arcandra.

Seperti yang diketahui, harga minyak terus melonjak hingga kini menempati level psikologis di atas 100 dolar per barel. Padahal, saat awal krisis pandemi COVID-19 di 2020 lalu harga jual emas hitam itu sempat berada di bawah 0 dolar per barel alias minus karena pasar mengalami shock hebat dan semua negara masih memiliki cadangan yang penuh.