JAKARTA - Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar mengatakan saat ini banyak perusahaan minyak dan gas (migas) di dunia yang mengalami dilema dalam menjalankan aktivitas bisnis. Pasalnya, kecenderungan harga yang rendah di erapandemi tidak sebanding dengan biaya produksi.
“Sektor usaha migas menjadi lini usaha yang membutuhkan biaya cukup besar. Selain itu, risiko yang dihadapi juga tidak kecil,” katanya pada Minggu, 23 Mei.
Menurut Arcandra, terdapat dua risiko utama yang dihadapi oleh korporasi sektor ini. Pertama, risiko produksi dari sebuah lapangan eksplorasi yang tidak sesuai dengan rencana awal. Kemudian yang kedua adalah risiko dari sisi penjualan dengan fluktuasi harga.
“Tidak ada lembaga, perusahaan dan pemimpin negara yang bisa memprediksi arah harga minyak kedepan. Seperti saat awal pandemi COVID-19 dimana harga minyak sempat negatif, peristiwa pertama dalam sejarah minyak dunia,” tuturnya.
Arcandra menambahkan, kejatuhan harga minyak tersebut membuat pelaku usaha migas dunia mengatur kembali strategi bisnisnya. Bahkan, sambung dia, banyak perusahaan di hulu dan hilir migas yang mengalami kebangkrutan.
“Hal ini disebabkan oleh tingginya biaya operasional yang tidak sebanding dengan pendapatan mereka., Selain faktor harga yang rendah, pandemi membuat konsumsi migas dunia menurun,” tegasnya.
Lantas dalam kondisi seperti saat ini, bagaimana perusahan minyak dan gas mensiasati bisnis mereka?
“Tentu banyak perusahaan migas dunia akan melakukan konsolidasi terhadap usaha mereka. Penjualan lapangan-lapangan migas menjadi hal yang wajar dilakukan saat ini. Selain itu, merger dan akuisisi di antara perusahaan migas akan sering kita dengar dalam dua tahun belakangan ini,” jelasnya.
Disebutkan juga bahwa untuk mengelola risiko, perusahaan migas akan mengatur kembali portofolio investasinya. Strategi ini dimaksudkan agar entitas usaha sektor ini dapat fokus guna mengatur sisi kinerja keuangan, sebelum mengambil keputusan untuk melanjutkan investasi yang sudah berjalan.
“Perusahaan migas juga akan fokus ke wilayah operasi yang lebih mudah dengan ongkos produksi yang murah, sementara wilayah yang sulit akan ditunda. Tentu ini akan berdampak pada penggunaan teknologi eksplorasi yang akan dioptimalkan untuk mendapatkan revenue,” imbuhnya.
- https://voi.id/ekonomi/53275/bujuk-nelayan-bayar-pnbp-demi-kesejahteraan-menteri-trenggono-hati-saya-menangis-lihat-nelayan-tidak-maju
- https://voi.id/ekonomi/53184/syekh-di-qatar-makin-tajir-indosat-sukses-raup-laba-bersih-rp172-miliar-di-kuartal-i-2021
- https://voi.id/ekonomi/53253/pemerintah-prioritaskan-damri-dan-transjakarta-sebagai-angkutan-umum-bertenaga-listrik
Lebih lanjut, Arcandra mengungkapkan bahwa jika ada perusahaan migas dunia yang menjual aset atau lapangan produksinya di sebuah negara bukan berarti iklim usaha di negara tersebut tidak menarik lagi.
“Karena selama investasi tersebut menjanjikan keuntungan yang maksimal dan menjamin keamanan bisnis dalam jangka panjang, maka perusahaan migas akan tetap datang untuk berinvestasi,” kata dia.
Dalam akhir pemaparannya, profesional yang sempat mencicipi kursi birokrasi itu berharap tekanan pada industri migas cepat berakhir seiring dengan penanganan pandemi yang mulai dapat dikendalikan.
“Semoga pemulihan dapat segera terjadi sehingga dapat meningkatkan investasi agar lapangan-lapangan migas yang tertunda pengembangannya dapat berjalan dan lapangan kerja tersedia lebih besar lagi. Insyaallah,” tutup Arcandra.