JAKARTA - Kasus COVID-19 di Tanah Air terus mengalami penambahan dalam satu pekan terakhir. Bahkan hari ini kasus harian tembus 14.536.
Ekonom meminta agar pemerintah segera mengambil langkah tegas untuk melakukan lockdown seperti yang dilakukan China. Tujuannya untuk memutus mata rantai penyebaran virus sekaligus menyelamatkan perekonomian nasional.
Seperti diketahui, Pemerintah China memutuskan untuk menutup akses dari dan ke Wuhan pada 23 Januari 2020. Tepat pada tanggal itu Wuhan dikarantina. Awalnya orang-orang di Wuhan masih diperbolehkan beraktivitas. Namun seiring dengan berjalannya waktu dan semakin pesatnya pertambahan jumlah pasien, membuat pemerintah China semakin mengetatkan aturan, di mana orang-orang di Wuhan diminta tetap tinggal di rumah.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan pemerintah Indonesia harus mencontoh China yang langsung melakukan lockdown. Meskipun Indonesia terlambat mengambil opsi ini, kata Bhima, hal ini jauh lebih baik daripada tidak sama sekali.
"Iya kita terlambat untuk putuskan lockdown di awal, tapi lebih baik terlambat dibanding tidak sama sekali. Pemerintah harus mencontoh China melakukan lockdown dengan tetap lakukan pengawasan efektif," katanya kepada VOI, Senin, 21 Juni.
Bhima mengatakan jika pemerintah ingin mengambil langkah tegas untuk menutup akses masuk dan keluar atau lockdown harus dilakukan di 34 provinsi yang berada di wilayah Indonesia. Jika tidak, kata dia, lockdown tidak akan efektif.
"Sebaiknya segera diputuskan saja, kalau mau lockdown ya secara nasional, tidak bisa satu provinsi memutuskan lockdown, tidak akan efektif," ucapnya.
Selama ini, kata Bhima, pemerintah juga sering mengadu narasi antara pilihan kesehatan dan ekonomi. Padahal coba-coba pelonggaran untuk pemulihan ekonomi misalnya pembukaan tempat wisata secara prematur justru blunder bagi ekonomi sendiri.
BACA JUGA:
"Pemerintah harus mendengar saran dari ahli kesehatan. Sekali lockdown efektif maka ekonomi akan tumbuh solid, tidak semu seperti sekarang. Seakan tingkat kepercayaan konsumen naik, tapi setelah ledakan kasus COVID-19 berisiko turun lagi. Kita jangan sampai mengulang lagi di titik nol," ujarnya.
Hemat belanja agar bisa lockdown nasional
Bhima mengatakan memang dibutuhkan anggaran yang tidak sedikit untuk bisa melakukan lockdown nasional. Menurut dia, dana tersebut dapat diperoleh dari penghematan anggaran belanja pemerintah, fokuskan semua ke belanja kesehatan dan perlindungan sosial.
"Pemerintah setop dulu semua belanja infrastruktur, perlu ada realokasi ekstrem selama masa lockdown. Belanja-belanja yang sifatnya tidak urgen seperti belanja perjalanan dinas work from Bali itu batalkan segera. Estimasinya dengan anggaran infrastruktur Rp413 triliun yang dihemat saja akan banyak support untuk lakukan lockdown," jelasnya.
Terkait dengan dampak lockdown terhadap perekonomian di kuartal II 2021, kata Bhima, perekonomian akan tumbuh positif. Sebab, didukung momentum Ramadan dan Lebaran di mana THR dibayar penuh tahun ini.
"Tapi apakah bisa tumbuh sampai 7 hingga 8 persen? Saya perkirakan hanya positif 2 persen year on year. Pasca Lebaran selain kasus COVID-19 meningkat, juga ada kekhawatiran terkait normalisasi kebijakan moneter AS serta tren pengetatan anggaran pemerintah terlihat dari rencana kebijakan pajak yang menyasar barang-barang kebutuhan pokok," katanya.
"Alhasil masyarakat bisa rem lagi untuk spending lebih tinggi. Di kuartal ke III outlook-nya ekonomi berisiko kembali kontraksi, bisa negatif tapi harapannya segera dilakukan saja lockdown yang efektif sehingga kontraksi tidak berlanjut sampai kuartal ke IV," sambungnya.