Tekanan Bisnis Ritel jadi Sebab Citigroup Gulung Tikar di 13 Negara, Termasuk Indonesia
Ilustrasi (Foto: Istimewa)

Bagikan:

JAKARTA - CEO Citigroup Jane Fraser memutuskan untuk menghentikan kegiatan perbankan ritel di 13 negara yang tersebar di wilayah Eropa, Asia, Timur Tengah, dan Afrika.

Langkah tersebut didasari oleh kinerja sektor konsumer yang cukup tertekan meskipun diklaim masih dalam level yang terjaga.

“Kami memiliki aktivitas bisnis yang baik, tetapi kami tidak memiliki peluang yang bagus untuk bisa bersaing lebih kompetitif  dengan lembaga keuangan lokal,”katanya dalam keterangan seperti yang dikutip pada Jumat, 16 April.

Mengutip laporan keuangan Citigroup terakhir pada kuartal I 2021 disebutkan bahwa perusahaan asal Amerika Serikat itu meraup laba bersih 19,3 miliar dolar AS. Capaian tersebut disokong oleh pendapatan bersih sebesar 7,9 miliar dolar AS.

Permasalahan sesungguhnya bersumber dari kinerja perbankan ritel Citigroup secara global yang tertekan cukup dalam. Diketahui bahwa sektor ini terkontraksi 14 persen year-on-year (y-o-y) menjadi 7,03 miliar dolar AS pada tiga bulan pertama 2021.

Bukuan itu lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama  2020 yang tercatat sebesar 8,17 miliar dolar AS.

Kinerja ritel yang longsor cukup dalam memang cukup mengkhawatirkan dibanding sektor lain, macam sektor perbankan institusional yang minus 2 persen.

Secara keseluruhan, pendapatan Citigroup turun 7 persen y-o-y menjadi sekitar 19 miliar dolar AS pada penutupan kuartal I 2021 dari sebelumnya 20 miliar dolar AS pada kuartal I 2020.

Meski demikian, dibandingkan dengan trimester sebelumnya, yakni kuartal IV 2020, realisasi periode awal 2021 cukup meningkat.

Adapun, tiga belas negara yang hendak ditinggalkan Citi tersebut adalah Australia, Bahrain, Cina, India, Indonesia, Korea Selatan, Malaysia, Filipina, Polandia, Rusia, Taiwan, Thailand dan Vietnam.

“Kami hanya melayani klien institusional di negara itu karena penting untuk tetap menjaga jaringan global,” tutup Fraser.