JAKARTA – Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin mengungkapkan bahwa rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025 yang hanya diterapkan pada barang mewah terlihat menjadi solusi jalan tengah bagi pemerintah.
Namun, ia menilai bahwa kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025 berpotensi membuat iklim perpajakan Indonesia semakin rumit dan akan menambah kompleksitas dalam sistem perpajakan yang sudah ada.
"Penerimaan negara dan daya beli masyarakat juga tidak terdampak tetapi iklim perpajakan kita jadi makin rumit," jelasnya dalam keterangannya, Jumat, 6 Desember.
Menurut Wijayanto, meskipun kebijakan tersebut tidak akan terlalu berpengaruh pada penerimaan negara dan daya beli masyarakat sehingga lebih baik keputusan untuk menaikkan PPN menjadi 12 persen pada 2025 dapat ditunda.
"Daripada mengambil keputusan ini, lebih baik kenaikan PPN menjadi 12 persen ditunda saja, dilakukan saat daya beli masyarakat mulai membaik, mungkin tengah tahun 2025, atau awal tahun 2026," ujarnya.
Sebelumnya, Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun mengungkapkan rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen pada 1 Januari 2025 akan tetap dijalankan berdasarkan hasil diskusi dengan Presiden Prabowo Subianto.
"Hasil diskusi kami dengan Bapak Presiden, kita akan tetap mengikuti undang-undang bahwa PPN akan tetap berjalan sesuai jadwal waktu amanat di undang-undang yaitu 1 Januari 2025," jelasnya usai berdiskusi dengan Prabowo di Istana Negara, Selasa, 5 Desember.
Misbakhun menyampaikan untuk penerapan tarif kenaikan PPN sebesar 12 pada 2025 akan dilakukan secara selektif yaitu menyasar barang-barang mewah.
"Selektif kepada beberapa komunitas baik itu barang dalam negeri maupun impor yang berkaitan dengan barang mewah. Sehingga pemerintah hanya memberikan beban itu kepada konsumen pembeli barang mewah," ujarnya.
Menurut Misbakhun, masyarakat kecil tidak perlu khawatir terkait kenaikan PPN 12 persen pada 2025 lantaran untuk masyarakat kecil tetap kepada tarif PPN yang saat ini berlaku.
BACA JUGA:
Misbakhun menyampaikan pemerintah juga akan mengkaji untuk kebijakan tarif PPN yang tidak tunggal sehingga PPN nantinya tidak akan berada dalam satu tarif dan akan disesuaikan dengan kelas masing-masing komoditas.
"Sehingga nanti tidak berlaku lagi, rencananya masih dipelajari oleh pemerintah, dilakukan pekajian lebih mendalam, bahwa PPN nanti akan tidak berada dalam satu tarif, tidak berada dalam satu tarif dan ini nanti akan masih dipelajari," tuturnya.
Misbakhun juga meminta kepada masyarakat untuk tidak perlu khawatir karena ruang lingkup mengenai kebutuhan barang pokok, kemudian jasa pendidikan, jasa kesehatan, kemudian jasa perbankan yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat pelayanan umum, jasa pemerintahan, tetap tidak digunakan PPN.
"Bapak Presiden juga berusaha menertibkan banyak urusan yang berkaitan dengan hal-hal ilegal, sehingga akan menambah penerimaan negara yang selama ini tidak terdeteksi," tambahnya.