Bagikan:

BELITUNG TIMUR - Banyaknya campur tangan dalam Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), menjadi penyebab lambatnya program tersebut berjalan. Regulasi yang ada di berbagai kementerian dan lembaga ini menjadi hambatan dalam implementasi di lapangan.

Anggota Dewan Pengawas Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Joko Supriyono mengatakan regulasi yang dilahirkan berbagai kementerian ini menjadi tidak sejalan dengan tujuan tersebut.

Karena itu, menurut dia, tantangan regulasi justru menjadi pekerjaan rumah bersama yang harus dapat diatasi oleh antar-kementerian.

“Ini urusannya banyak kementerian. Jadi hambatannya itu di banyak kemnterian. Jadi perlu diperbaiki regulasi, prosedur. Jadi itu kenapa PSR lambat, karena kita masih perlu perbaiki prosedur regulasi,” tuturnya dalam Press Tour Kontribusi Sawit untuk APBN dan Perekonomian, Jumat, 30 Agustus.

Kinerja PSR dalam beberapa tahun ini, sambung Joko, mengalami pelambatan. Berdasarkan data BPDPKS, realisasi PSR dari awal tahun hingga Juli 2024 baru mencapai 18.484 hektare (ha) dengan dana yang tersalur Rp544 miliar yang tersebar di 22 provinsi.

Jumlah luasan lahan PSR tersebut masih jauh dari gang ditargetkan tahun ini yakni 120.000 ha. Alikasi dana untuk PSR juga direncanakan ditambah dari Rp30 juta menjadi Rp60 juta per ha mulai 1 September mendatang.

Namun, Joko mengaku ragu penambahan dana tersebut itu akan berpengaruh signifikan pada perbaikan implementasi PSR jika permasalahan regulasi masih belum dibenahi.

“Tahun ini dinaikan jadi Rp60 juta. Tapi dengan Rp60 juta ini, kalau nanti regulasi belum mendukung, mungkin juga tidak akan signifikan. Jadi itu kenapa PSR lambat, karena kita masih terus perbaiki prosedur regulasi,” jelasnya.

Regulasi Belum Sepenuhnya Mendukung

Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono mengatakan regulasi yang ada saat ini belum sepenuhnya mendukung program PSR.

Bahkan, dia bilang kementerian/lembaga yang terlibat dalam industri sawit mencapai lebih dari 30. Hal ini yang menyebabkan kebijakan menjadi tumpang tindih.

“PSR kenapa lambat, bukan salah BPDPKS, karena sawit sekarang ini yang terlibat di dalamnya itu lebih dari 30 kementerian/lembaga. Kalau tidak salah sekarang 37. Jadi kebijakan ini justru saling tumpang tindih. Paling banyak masalah, contoh plasma (kemitraan),” ujarnya.

Karena itu, Eddy menilai perbaikan regulasi menjadi penting. Sebab, Indonesia merupakan salah satu negara produsen kelapa sawit terbesar di dunia. Pembenahan regulasi, sambung Eddy, perlu dilakukan untuk mempercepat peremajaan sawit. Dengan begitu peningkatan produksi komoditas tersebut bisa terjadi.

Jika perbaikan tidak segera dilakukan, lanjut Eddy, dikhawatirkan industri kelapa sawit di dalam negeri tidak bisa memenuhi kebutuhan domestik. Mengingat Indonesia juga menjadi konsumen kelapa sawit tersebar.

“Kita sekarang konsumen minyak sawit terbesar di dunia walaupun kita juga produsen minyak sawit terbesar di dunia. Kalau ini tidak segera dibenahi, bisa terjadi sejarah akan berulang,” ujarnya.

“Jangan sampai terulang sejarah kita pernah menjadi eksportir terbesar kedua di dunia (untuk komoditas) gula. Sekarang kita jadi importir yang sangat besar,” sambungnya.