Bagikan:

JAKARTA - Industri minyak kelapa sawit Indonesia hadapi banyak tantangan pada 2023-2024. Hal ini dikarenakan sejumlah faktor.

"Tahun 2023/2024 menjadi tahun yang penuh tantangan bagi industri minyak kelapa sawit Indonesia, yang disebabkan oleh sejumlah faktor utama," kata perwakilan

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Joko Supriyono mengutip Antara.

Ia menjelaskan faktor-faktor tersebut meliputi perkebunan yang semakin menua, biaya produksi yang meningkat terkait dengan upah, pupuk, logistik, dan implementasi sustainability, tuntutan global akan sustainability yang terus meningkat.

Lanjut dia, implementasi Undang-Undang Cipta Kerja, tumpang tindihnya kasus hukum yang melibatkan area hutan, tuntutan hukum terhadap sejumlah perusahaan yang mengalami kasus kebakaran, dan diberlakukannya EUDR (European Union Regulation on Deforestation-free Products).

Selain itu, sejumlah faktor pembatas juga telah berdampak pada produksi minyak kelapa sawit, terutama pada fenomena El Nino di tahun 2023, peremajaan yang lambat, pengurangan penggunaan pupuk akibat harga yang tinggi, dan ketidakmampuan untuk mengatasi permasalahan peningkatan produktivitas.

"Terkait pupuk, harga pupuk berbasis nitrogen dan fosfat yang banyak dikonsumsi petani sawit naik hampir 100 persen. Faktor-faktor ini secara bersama-sama telah memperlambat produksi minyak kelapa sawit," kata dia.

Berdasarkan analisis El Nino Southern Oscillation (ENSO), pada bulan Mei 2023 menunjukkan indeks ENSO bulanan sebesar +0,43 (netral), dengan prediksi dari BMKG dan pusat iklim dunia lainnya menunjukkan kemungkinan terjadinya El Nino pada semester kedua tahun 2023.

Oleh karena itu, kata dia, tren curah hujan di daerah perkebunan kelapa sawit utama seperti Sumatera dan Kalimantan yang menunjukkan tren menurun, berpotensi menunda pemasakan buah kelapa sawit.

"Jika curah hujan terus menerus menurun selama tiga bulan, akan menyebabkan kekeringan. El Nino memang tidak akan mempengaruhi produksi secara signifikan namun mempengaruhi lambatnya pemasakan buah sawit," ujarnya.

Menurut Joko Supriyono, usia perkebunan di Indonesia pada tahun 2023 menunjukkan bahwa sembilan persen atau 1,5 juta hektare adalah sebagai perkebunan yang belum menghasilkan secara optimum, sementara 91 persen atau 14,5 juta hektare terdiri dari perkebunan menghasilkan optimum.

Meski demikian, kata dia, hal yang patut diperhatikan yakni 46 persen dari perkebunan yang sekarang ini menghasilkan, telah memasuki tahap penurunan produksi.

"Produksi Indonesia terus meningkat, terutama pada tahun 2017-2019. Namun bila melihat tren yang ada, kemungkinan peningkatan ini disebabkan oleh ekspansi luas perkebunan pada awal tahun 2000-an," katanya.

Namun, kata dia, peningkatan volume produksi ini tidak diimbangi oleh peningkatan produktivitas sehingga siklus produksi puncak tahunan yang biasanya terjadi pada bulan Agustus-September, mengalami pola siklus yang berubah di tahun ini.

Tidak hanya itu, dia menjelaskan bahwa tren lain yang menjadi perhatian adalah penurunan produktivitas tandan buah segar (TBS), yang mencerminkan tren produktivitas minyak kelapa sawit (CPO) nasional.

Sementara itu, peremajaan sawit perkebunan rakyat, yang bertujuan untuk mencapai target 500.000 hektar dalam tiga tahun, telah mencapai total 323.000 hektar hingga tahun 2023, dengan rata-rata 46.000 hektar per tahun.