JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan Indonesia serta Dewan Negara-Negara Penghasil Minyak Sawit atau Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) berkomitmen untuk tetap mendukung keberlanjutan industri minyak sawit.
“Indonesia ingin mengapresiasi kemitraan dan kolaborasi jangka panjang di antara negara-negara produsen minyak sawit, dengan dukungan CPOPC, meskipun terdapat tantangan yang kompleks di sektor minyak sawit global,” ungkapnya dalam keterangannya, Jumat, 29 November.
Airlangga menyampaikan terdapat beberapa tantangan di industri minyak sawit global seperti yang disebabkan oleh volatilitas pasar, fluktuasi harga CPO, tuntutan keberlanjutan dari negara-negara konsumen atau importir, masuknya petani kecil dalam rantai pasokan global, risiko perubahan iklim, maupun isu-isu terkait lingkungan hidup, kesehatan, dan tenaga kerja.
Selain itu, Airlangga menyampaikan dalam jangka panjang, tantangan-tantangan tersebut dapat mempengaruhi penghidupan para petani kecil dan produsen skala kecil, karena mereka adalah tulang punggung rantai pasokan minyak sawit.
"Indonesia tetap berkomitmen untuk menjamin kesejahteraan lebih dari 12 juta orang yang memperoleh pekerjaan langsung dan tidak langsung dari industri minyak sawit ini," ujarnya.
Airlangga menyampaikan dalam dua tahun terakhir, pasar minyak sawit telah mengalami perubahan harga yang tidak pernah terjadi sebelumnya, yakni mencapai rekor tertinggi pada 2022 saat COVID-19, dan belum kembali normal hingga 2023.
Di sisi lain, Airlangga menyampaikan negara-negara produsen minyak sawit juga terus menghadapi diskriminasi perdagangan terhadap produk minyak sawit dan turunannya, di mana hal itu disamarkan sebagai kebijakan ramah lingkungan yang diberlakukan oleh negara-negara pengimpor, seperti EU Deforestation-free Regulation (EUDR), EU RefuelEU Aviation Rules, EU Due-Diligence Regulation, Global Biofuel Alliance (GBA), dan United Kingdom’s Forest Risk Commodities (FRC) Law.
“Untuk itu, kita harus menyusun strategi yang tepat untuk menciptakan harga minyak sawit yang menguntungkan dan stabil. Selain itu, kita harus menahan diri dalam menerapkan kebijakan perdagangan dengan cara yang tidak sejalan dengan ketentuan WTO yang relevan, untuk memastikan transparansi pasar dan prediktabilitas minyak sawit,” tutur Airlangga.
Airlangga menyampaikan Indonesia tetap menganggap sektor kelapa sawit sebagai prioritas nasional, apalagi terdapat komitmen kuat dari Presiden Prabowo Subianto terhadap sektor vital ini sebagaimana tercermin dalam Asta Cita, yakni mencapai tujuan ketahanan pangan, swasembada pangan, swasembada energi, dan hilirisasi industri.
"Dalam (swasembada energi melalui) Program B40 yang dilakukan Indonesia bahwa Malaysia mengapresiasi hal ini, karena berkontribusi kepada dunia terutama dalam pengurangan emisi," ujarnya
Menurut Airlangga, dalam program B35, berhasil menghemat sekitar 32 juta ton CO2, dan untuk program B40 lebih dari 40 juta ton CO2.
Hal ini adalah kontribusi konkret Indonesia dan CPO kepada seluruh dunia untuk mengurangi emisi karbon.
Selain itu, Airlangga juga mendorong CPOPC tetap menjadi hub bagi negara-negara produsen minyak sawit serta menjadi penentu tren di pasar minyak nabati global untuk mendukung dan memfasilitasi kepentingan para anggotanya.
"CPOPC juga harus bisa memperluas kemitraan dan kerja sama multipihak melalui berbagai platform," tuturnya.
Di samping itu, Sekretariat CPOPC telah menyetujui Nigeria dan Kongo sebagai Negara Pengamat (Observer Countries), karena kedua negara itu sebelumnya telah mengajukan untuk menjadi anggota CPOPC pada September dan November 2024. Proses selanjutnya adalah aksesi keanggotaan secara penuh.
Adapun berdasarkan Charter CPOPC, selama masa aksesi penuh tersebut status negara yang mengajukan untuk menjadi anggota penuh adalah sebagai Observer Country dengan jangka waktu maksimal dua tahun.
BACA JUGA:
Observer Countries saat ini adalah Kolombia, Ghana dan Papua Nugini.
Namun dengan dinamika internal negara masing-masing, sampai dengan waktu dua tahun, ketiga negara tersebut belum dapat melakukan aksesi menjadi anggota CPOPC secara penuh.
Untuk itu, Sekretariat CPOPC merekomendasikan untuk memberikan perpanjangan waktu sebagai Observer Countries selama satu tahun lagi.
“Indonesia dan Malaysia juga sepakat untuk melanjutkan ad hoc dari joint task force tentang EUDR. EUDR telah diperpanjang (implementasinya) oleh Parlemen Uni Eropa dalam satu tahun ke depan. Selanjutnya, tadi juga telah diserahterimakan Keketuaan CPOPC dari Indonesia kepada Malaysia untuk periode satu tahun ke depan,” ucap Airlangga.