Bagikan:

BELITUNG TIMUR - Ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun 2023. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) penurunannya sebesar 39,22 persen dan 36,37 persen secara bulanan.

Volume ekspor CPO dan turunannya juga anjlok pada periode yang sama, yakni 1,62 juta ton atau turun 2,67 juta ton secara bulanan per Juli 2024.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono buka suara mengenai kondisi tersebut. Dia bilang penurunan ekspor tersebut disebabkan oleh harga CPO dalam negeri yang relatif lebih mahal dibandingkan minyak nabati lainnya. Khususnya minyak bunga matahari atau sunflower oil.

“Minyak sawit lebih mahal, sehingga mereka (China) melakukan pembelian banyak ke minyak matahari dan pengurangan ke sawit,” katanya dalam Press Tour Kontribusi Sawit untuk APBN dan Perekonomian, Kamis, 29 Agustus.

Eddy bilang minyak sawit bukan satu-satunya minyak nabati yang ada di dunia. Dia bilang pangsa minyak sawit di dunia saat ini hanya sekitar 33 persen.

Sementara, sambung Eddy, 67 persen bersumber dari minyak nabati lainnya. Salah satunya adalah minyak bunga matahari atau sunflower oil.

Karena itu, menurut Eddy, pemerintah perlu melakukan fleksibilitas kebijakan fiskal sebagai upaya untuk mendukung harga minyak sawit lebih kompetitif di pasar.

“Jadi memang disini peru kebijakan pemerintah paling tidak ada memainkan instrumen fiskal. Artinya saat harga sawit kita tidak kompetitif, kita turunkan sementara dan menjadi kompetitif naik kembali misalnya seperti itu,” tuturnya.