JAKARTA - Kota Makassar punya ikon baru, yakni Jalan Tol Layang AP Pettarani. Proyek sepanjang 4,3 kilometer ini telah diresmikan oleh Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono pada Kamis 18 Maret lalu.
Jalan Tol Layang AP Pettarani dinilai sangat penting, karena menghubungkan bagian Selatan Kota Makassar dan Kabupaten Gowa dengan Pelabuhan Soekarno-Hatta, Makassar New Port, dan Bandara Internasional Sultan Hasanudin.
Direktur Utama PT Makassar Metro Network (MMN) Anwar Toha mengungkapkan, setelah melewati berbagai tahapan yang cukup panjang, pembangunan Jalan Tol Layang AP Pettarani akhirnya selesai dan dapat dioperasikan secara penuh.
"Tol layang ini sudah dapat dioperasikan dan dapat langsung dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan produktif oleh seluruh masyarakat. Melalui peresmian di hadapan Menteri PUPR, kami dengan bangga mempersembahkan kontribusi karya ribuan anak bangsa yang turut berpartisipasi dalam pembangunan infrastruktur nasional untuk menciptakan konektivitas di Timur Indonesia," ujar Anwar dalam keterangan tertulisnya, dikutip Jumat 26 Maret.
Ia juga memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada Pahlawan Andi Pangerang Pettarani yang menjadi simbol pembangunan infrastruktur di Indonesia Timur, yang namanya di abadikan sebagai nama ruas jalan tol, ikon baru Kota Makassar.
Pembangunan Jalan Tol Layang AP Pettarani, Makassar merupakan salah satu contoh kontribusi pihak swasta dalam pembangunan infrastruktur nasional. PT Marga Utama Nusantara (MUN) melalui anak usahanya PT Makassar Metro Network (MMN) bersama dengan pemerintah daerah yang juga didukung oleh pemerintah pusat, menginisiasi pembangunan ini guna mendukung sistem perekonomian dan mobilitas di daerah tersebut.
Sebagai informasi, PT Marga Utama Nusantara adalah unit bisnis PT Nusantara Infrastructure Tbk (META). Nah PT Nusantara Infrastructure Tbk pada tahun 2017 lalu sahamnya telah diakuisisi Anthony Salim melalui Salim Group.
Akuisisi Nusantara Infrastructure ini dilakukan orang terkaya nomor 4 di Indonesia itu melalui anak usahanya yang berbasis di Filipina, Metro Pacific Investments Corp (MPIC), sebuah perusahaan yang dikendalikan oleh First Pacific Company Ltd -perusahaan investasi keluarga Salim-.
Dan per akhir Februari 2020, PT Metro Pacific Tollways Indonesia yang merupakan anak usaha Metro Pacific Investments, mengendalikan 73,80 persen saham Nusantara Infrastructure.
Pembangunan Jalan Tol Layang Pettarani melibatkan kontraktor utama PT Wijaya Karya Tbk atau WIKA dan Nippon Koei Co Ltd. Lalu PT Indokoei International dan PT Cipta Strada sebagai konsultan supervisi, serta PT Virama Karya sebagai konsultan pengendali mutu independen.
Saat dibangun, proyek ini mendapatkan dana kredit dari PT Bank Central Asia Tbk (BCA) dan Bank Sulselbar. Itu terjadi pada 2018 lalu, di mana BCA menyalurkan kredit sindikasi sebesar Rp1,3 Triliun kepada PT Bosowa Marga Nusantara (BMN) yang merupakan salah satu anak perusahaan PT Marga Utama Nusantara (MUN).
Kredit sindikasi tersebut terdiri atas pembiayaan konvensional yang diberikan oleh BCA dan Bank Sulselbar. Dari total plafon sebesar Rp1,54 triliun, BCA menyalurkan kredit sindikasi sebesar Rp1,3 triliun dan Bank Sulselbar sebesar Rp230 miliar.
BACA JUGA:
Dalam perjanjian kerjasama ini, BCA juga bertindak sebagai Joint Mandated Lead Arrangers and Bookrunners (JMLAB), Agen Fasilitas, Agen Jaminan, dan Agen Penampungan. Penandatanganan perjanjian fasilitas kredit sindikasi berjangka waktu selama 12 tahun.
Salim Group pernah jadi pemilik BCA
Dengan kata lain, ada peran dari dua entitas "raksasa" dalam pembangunan Jalan Tol Layang AP Pettarani Makassar ini, yaitu Anthony Salim dan BCA. Anthony Salim, bos Indofood ini pernah lama memiliki BCA.
Grup Salim, konglomerasi usaha yang dibangun Sudono Salim atau Liem Sioe Liong, pernah tercatat sebagai pemilik BCA, yang saat ini menjadi bank swasta terbesar di Indonesia. Namun demikian, karena beberapa masalah yang menghantui perusahaan sejak krisis 1998, Grup Salim harus rela melepas kepemilikan BCA.
Setelah dilepas Grup Salim, BCA kemudian dibeli oleh Grup Djarum. Padahal jika menengok lebih ke belakang lagi, BCA adalah salah satu pundi-pundi utama Salim untuk meraup miliaran hingga triliunan rupiah setiap tahunnya.
Jadi pada masa krisis 1998 itu, sektor ekonomi memang tengah goyah luar biasa. Grup Salim pun terkena dampaknya, hingga akhirnya sejumlah aset milik mereka harus dilego termasuk BCA, karena menerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Diketahui, ada 48 bank komersial bermasalah akibat krisis pada saat itu, di antaranya BCA milik Grup Salim. Total dana talangan BLBI yang dikeluarkan sebesar Rp144,5 triliun. Namun 95 persen dana tersebut ternyata diselewengkan, berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan, dan dinilai sebagai korupsi paling besar sepanjang sejarah Indonesia.
Pada 1998 BCA menjadi Bank Take Over (BTO) dan disertakan dalam program rekapitalisasi dan restrukturisasi yang dilaksanakan Badan Penyehaan Perbankan Nasional (BPPN). Lalu pada 1999 proses rekapitalisasi BCA selesai, di mana pemerintah Indonesia melalui BPPN menguasai 92,8 persen saham BCA sebagai hasil pertukaran dengan BLBI.
Dalam proses rekapitalisasi tersebut, kredit pihak terkait dipertukarkan dengan obligasi pemerintah. Sejak saat itu, Grup Salim tak lagi menjadi pemegang pengendali saham BCA.