JAKARTA - Peneliti Center of Industry, Trade, and Investment Institute of Development for Economics and Finance (Indef) Dzulfian Syafrian mengatakan bahwa utang Indonesia di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat ini akan berdampak pada generasi mendatang, khususnya generasi milenial.
Di akhir 2020, Indonesia memiliki utang sebesar Rp6.074,56 triliun atau bertambah 27,1 persen sebesar Rp1.269 triliun dibandingkan 2019. Namun, jumlah tersebut meningkat di 2021.
Kementerian Keuangan mencatat posisi utang Indonesia pada akhir Februari 2021 mencapai Rp6.361 triliun. Angka ini meningkat Rp128 triliun dari periode Januari 2021 sebesar Rp6.233 triliun.
Dzulfian mengatakan utang pemerintahan Jokowi ini merupakan utang jangka panjang. Sehingga, baik utang publik maupun swasta, berpotensi besar memengaruhi kehidupan generasi berikutnya.
Lebih lanjut, kata dia, penumpukan utang akan menjadi beban bagi generasi produktif saat ini untuk membayarnya, dan berpotensi menimbulkan konflik antar generasi yaitu generasi Y (milenial), generasi Z, dan tua (baby boomer) atau yang disebutnya 'kolonial'.
"Mereka buat utang tapi dibebankan ke generasi berikutnya. (Jadi) beban ada di generasi berikutnya," ujarnya dalam diskusi virtual, Rabu, 24 Maret.
Dzulfian mengatakan komposisi pengambil kebijakan saat ini didominasi oleh generasi kolonial, termasuk kebijakan ekonomi terkait dengan utang. Sementara, representasi generasi muda baik di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif terbilang minim.
BACA JUGA:
"Jadi wajar apabila aspirasi mereka tidak terepresentasikan," tuturnya.
Mengacu pada data CEIC yang diolahnya, Dzulfian mengatakan bahwa utang publik dan swasta sama-sama meningkat di era kepemimpinan Jokowi. Bahkan, swasta lebih gemar berutang dengan tenor jangka panjang, sedangkan utang jangka pendek relatif stabil.
Lebih lanjut, kata dia, terdapat perbedaan dari sisi pilihan denominasi mata uang antara utang swasta dan publik. Swasta cenderung memilih utang dalam mata uang asing, sementara publik cenderung memilih domestik.
"Utang dalam negeri lebih diterima masyarakat secara politis, kalau berbau asing agak reluctant. Padahal, utang dalam negeri itu bunganya lebih mahal, akhirnya kebijakan populis, namun merugikan negara," jelasnya.