Utang Indonesia Rp6.000 Triliun, Sri Mulyani Masih Santai, kok Bisa?
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. (Foto: Dok. Kemenkeu)

Bagikan:

JAKARTA - All money is a matter of belief.

Kalimat tersebut merupakan kutipan populer yang pernah tuturkan oleh Adam Smith, seorang filsuf yang dikenal sebagai bapak ekonomi modern.

Dalam pandangannya, perkara uang sangat berhubungan dengan tingkat kepercayaan seseorang. Apapun itu, termasuk utang.

Dalam konteks sederhana, kepercayaan mendapatkan pinjaman merupakan buah dari keyakinan kreditur kepada debitur yang dinilai bisa memenuhi itikad baik dalam memenuhi kewajiban.

Dalam situasi yang lebih kompleks, pihak pertama boleh mengajukan utang kepada pihak kedua yang hasilnya digunakan untuk pihak ketiga. Skema seperti ini pula yang diusung sebuah negara dalam menerbitkan surat utang alias obligasi dengan tujuan mendanai berbagai keperluan pemerintah.

Bisa dipastikan, hampir seluruh negara di dunia yang menerapkan sistem kerjasama internasional pasti mempunyai utang. Indonesia masuk di antaranya.

Berdasarkan laporan yang dirilis oleh Bank Indonesia pada Senin, 15 Februari disebutkan bahwa besaran utang luar negeri Indonesia hingga penutupan 2020 sebesar 417,5 miliar dolar AS atau setara Rp5.985,9 triliun (kurs Rp14.337).

Dari jumlah tersebut, sektor publik (pemerintah dan bank sentral) menyumbang sebesar 209,2 miliar dolar AS dan sektor swasta (termasuk BUMN) sebesar 208,3 miliar dolar AS.

Utang luar negeri yang mendekati level psikologis Rp6.000 triliun merupakan rekor pinjaman terbesar yang pernah dibuat selama republik ini berdiri.

Meski demikian, pemerintah melalui Kementerian Keuangan menjelaskan bahwa situasi tersebut masih cukup terkendali. Dalam sebuah kesempatan, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut bahwa Indonesia rasio utang pemerintah pusat terjaga pada kisaran 30 persen dari produk domestik bruto (PDB).

Menurut aturan yang berlaku, rentang utang negara masih dalam kondisi aman apabila tidak melebihi batasan 60 persen terhadap PDB. Amanah itu tertuang dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 yang mengatur batasan maksimal rasio utang di angka 60 persen.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, perekonomian Indonesia 2020 yang diukur berdasarkan PDB atas dasar harga berlaku mencapai Rp15.434,2 triliun dan PDB per kapita mencapai Rp56,9 Juta atau 3.911,7 dolar AS.

Lalu, bagaimana dengan negara lain?

Percaya atau tidak, negara maju yang selalu diidentikan dengan negara kaya macam Amerika Serikat dan Prancis malahan diketahui memiliki rasio utang menembus 100 persen terhadap PDB-nya. Sementara itu, Jerman, China dan India mencapai di atas 60 persen.

Jadi, nominal utang tidak melulu menjadi acuan peningkatan risiko. Selama kemampuan produksi dalam negeri meningkat, maka jarak rasio utang terhadap PDB secara nominal akan ikut menggelembung.

Secara prinsip, batas keamanan utang mengacu pada dua hal. Pertama rasio terhadap produk domestik bruto. Kedua adalah kemampuan membayar yang tercermin dari cadangan devisa yang dilaporkan Bank Indonesia secara berkala.

Jadi, sikap optimistis Sri Mulyani dalam menjaga keuangan negara dengan kontrol utang yang baik seolah manifestasi lain dari idiom all money is a matter of belief.