Bagikan:

JAKARTA – Film Home Sweet Loan yang dibintangi Yunita Siregar dan Derby Romero menjadi buah bibir. Film Garapan sutradara Sabrina Rochelle ini sukses mengangkat realitas pahit yang dihadapi generasi sandwich di Indonesia.

Film ini diadaptasi dari novel karya Almira Bastari, dan menceritakan tentang Kaluna (diperankan Yunita Siregar), seorang pekerja keras yang tinggal bersama keluarga besarnya di rumah yang sempit dan penuh sesak.

Kaluna mendambakan memiliki rumah sendiri, namun impiannya terjepit di antara beban finansial dan tanggung jawab keluarga. Kondisi rumah Kaluna digambarkan penuh sesak dengan keluarga besar yaitu ayah, ibu, serta kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga.

Film Home Sweet Loan dianggap relate dengan situasi yang dialami banyak generasi sandwich di Indonesia saat ini. (Instagram)

Apa yang dialami Kaluna disebut relate dengan dialami generasi sandwich di Indonesia. Meski ambisius dalam perencanaan keuangan untuk membeli rumah, Kaluna seringkali harus terus mengalah demi orang tuanya.

Beban finansial yang ditanggung makin berat ketika keluarganya membutuhkan bantuan, dan mimpi untuk memiliki rumah jadi semakin jauh dari jangkauan.

Faktor Penghambat Punya Rumah

Fenomena generasi sandwich di Indonesia cukup signifikan. Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2020 ada sekitar 71 penduduk Indonesia atau sekitar lebih dari seperempat jumlah penduduk yang termasuk sandwich generation. Jumlah ini masih bisa bertambah seiring meningkatnya persentase lansia di rumah tangga Indonesia.

Masih dari data BPS 2020, sebanyak 8,4 juta sandwich generation memilih tinggal bersama keluarga yang dibiayainya atau extended family. Salah satu penyebabnya adalah karena mereka kesulitan untuk memiliki rumah sendiri.

Fenomena generasi sandwich yang sering dihadapkan pada kesulitan memenuhi kebutuhan finansial sendiri menjadi sorotan dalam beberapa tahun terakhir.

Pakar keungangan menyebut ada sejumlah faktor yang membuat generasi sandwich sulit memiliki rumah.

Pertama karena harga properti semakin mahal dari tahun ke tahun. Melihat data Survei Harga Properti Residensial (SHPR) Bank Indonesia, kenaikan harga rumah di Indonesia pada kuartal IV tahun 2023 adalah 1,74 persen Year on Year (YoY).

Namun, menurut Pengamat Perbankan dan Praktisi Sistem Pembayaran Arianto Muditomo, kenaikan harga rumah di kota-kota besar rata-rata berkisar 10 sampai 20 persen per tahun.

Alasan lainnya yang membuat generasi sandwich kesulitan memenuhi impian membeli rumah adalah biaya hidup yang semakin tinggi. Kenaikan biaya hidup dapat dilihat dari tingginya inflasi yang menjadi indikator naiknya harga barang pokok.

Dalam 10 tahun terakhir, rata-rata inflasi di Indonesia adalah 3,59 persen. Pada 2023, inflasi Indonesia mencapai 2,61 persen.

Kenaikan upah yang tidak sebanding juga disebut menjadi salah satu penyebab generasi Z sulit memiliki rumah. Tingginya harga properti dan biaya hidup tidak diimbangi dengan kenaikan upah di Indonesia.

Kementerian Ketenagakerjaan menyebutkan, rata-rata UMP di Indonesia pada 2024 hanya Rp3.113.359 atau naik 6,5 persen dari 2023. Namun, jumlah tersebut dinilai tidak mampu membiayai harga rumah dan biaya hidup masyarakat, apalagi generasi sandwich yang harus membiayai dua keluarga.

Perbedaan Generasi Milenial dan Z

Laporan lain menyebutkan, generasi Z lebih kesulitan memiliki rumah dibandingkan generasi milenial. Dosen Manajemen Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Novita Ratna Satiti menjelaskan perbedaan signifikan antara tantangan yang dihadapi generasi Z dan generasi milenial dalam membeli rumah, salah satunya faktor gaji.

Menurut Novita, kenaikan gaji generasi milenial jauh lebih stabil dibandingkan Gen Z, yang seringkali menghadapi stagnasi upah. Selain itu, generasi milenial juga dinilai lebih mudah mendapatkan kredit atau pinjaman pada masanya.

"Sedangkan Gen Z kini dihadapkan pada persyaratan yang lebih ketat dan suku bunga yang lebih tinggi," papar Novita, dikutip laman resmi UMM.

Di samping itu, situasi ekonomi pasca pandemi turut memengaruhi kemampuan generasi Z untuk memiliki rumah sendiri. Banyak Gen Z yang bekerja di sektor informal dengan label gig economy atau perekrutan sistem kerja dengan jangka pendek yang tidak memiliki tunjangan kesehatan, pendidikan anak, dan jaminan hari tua.

Sebanyak 8,4 juta generasi sandwich memilih tinggal bersama orangtua karena sulit memiliki rumah sendiri meskipun sudah berusaha menabung. (Unsplash)

Tapi, Novita mengatakan Gen Z justru lebih melek teknologi dan lebih sadar investasi sejak dini. Namun pengetahuan dan kemampuan menggunakan teknologi juga harus dibarengi dengan focus of control dan behavioral finance yang baik.

Focus of control adalah kendali atas keputusan finansial dan tidak mudah terpengaruh oleh faktor eksternal, seperti tekanan gaya hidup dan adanya kemudahan dari aplikasi Pay Later.

"Sementara itu, pemahaman tentang behavioral finance juga dapat membantu mereka mengenali dan menghindari kesalahan dalam pengambilan keputusan keuangan, seperti kecenderungan untuk berbelanja impulsif atau mengambil risiko yang tidak perlu," tegasnya.

Untuk membuka peluang pekerjaan yang lebih baik dan stabil, Novita menuturkan Gen Z pelu meningkatkan keterampilan dan pendidikan.