Bagikan:

JAKARTA - Usai disahkan oleh DPR RI, Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (UU DKJ) akan mengamanatkan pembangunan kawasan aglomerasi sebagai penunjang Jakarta menuju kota perekonomian global. Namun begitu, pengembangan ‘mesin-mesin ekonomi’ menjadi tantangan tersendiri bagi Jakarta dalam mewujudkan misi tersebut.

Pengamat Tata Kota Universitas Trisakti, Yayat Supriyatna mengatakan membangun kawasan aglomerasi yang kuat membutuhkan lebih dari sekadar infrastruktur fisik. Salah satu komponen krusial, yakni harus memiliki data dan fakta yang kuat sebagai landasan bagi pengembangan ekonomi yang berkelanjutan.

“Jakarta, sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di Indonesia, harus membangun keberlanjutan engine ekonominya agar mampu menghadapi tantangan masa depan,” ujar Yayat dalam dialog FMB9 dengan tema UU DKJ: Masa Depan Jakarta Pasca Ibukota, Senin 22 April.

Dalam konteks pengembangan Jakarta, penting untuk memperlakukan kota dan wilayah sekitarnya sebagai satu kesatuan yang utuh, bukan hanya sebagai entitas terpisah. Hal ini diperlukan untuk menciptakan ekosistem wilayah dan ekonomi yang saling mendukung satu sama lain.

“Tanpa adanya kerjasama antara Jakarta dan kota-kota sekitarnya, akan sulit untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,” ujarnya.

Yayat juga menambahkan, penting bagi Jakarta untuk mengetahui tantangan dalam mempersiapkan engine ekonominya. Menurut Yayat, kota-kota yang gagal melakukan persiapan tersebut akan mengalami kerapuhan dalam daya dukung pertumbuhan ekonominya.

“Salah satu isu besar yang harus dihadapi adalah menentukan arah pembangunan ekonomi Jakarta. Apa yang sebenarnya ingin kita bangun dengan ekonomi Jakarta? Apa kekuatan yang dapat membuat Jakarta tampil di panggung dunia?” tanyanya.

Meskipun Jakarta tidak memiliki sumber daya alam seperti timah dan nikel maupun sawit sebagai penghasil uang, Jakarta memiliki kekuatan dalam bentuk “ruang” dan sumber daya manusia yang berpotensi besar. Namun, Data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dari tahun 2021-2023 menunjukkan bahwa Jakarta masih sangat bergantung pada sektor perdagangan eceran dan layanan transportasi, terutama pada penjualan dan reparasi mobil maupun motor.

Selain itu, lanjut Yayat, berdasarkan data yang dia miliki, kekuatan utama Jakarta terletak pada sektor jasa keuangan, asuransi, dan aktivitas perusahaan. Hal ini menjadi lebih menarik karena ini membuat Jakarta tidak bergantung pada kota-kota sekitarnya dalam sektor-sektor ini.

Yayat melihat, misi tersebut bukan tanpa tantangan. Menurutnya, ada kekhawatiran bahwa sektor perdagangan besar yang memonopoli sektor ritel dapat menghambat pertumbuhan ekonomi yang inklusif.

“Terdapat dua korporat besar yang mendominasi perkampungan ritel di Jakarta, sehingga dapat menimbulkan ketidaksetaraan ekonomi di antara penduduknya,” paparnya

Tantangan lainnya adalah kemacetan yang sudah menjadi penyakit akut berpuluh tahun. Masalah kemacetan ini juga harus menjadi perhatian serius yang tidak akan terselesaikan dengan hanya mengubah status Jakarta.

“Perlu adanya solusi yang komprehensif dan kolaboratif antara Jakarta dan kota-kota sekitarnya untuk mengatasi tantangan ini,” jelasnya.

Oleh karena itu, Yayat menggarisbawahi bahwa membangun kawasan aglomerasi membutuhkan komitmen kuat dari semua pihak terkait, baik pemerintah, sektor swasta, maupun masyarakat secara keseluruhan.

“Dengan memanfaatkan potensi dan kekuatan yang dimiliki Jakarta dan kota-kota sekitarnya secara optimal, DKJ dan Kawasan Aglomerasi nantinya dapat menjadi kawasan perkotaan yang tidak hanya tangguh secara ekonomi tetapi juga berkelanjutan dan inklusif bagi seluruh penduduknya,” harapnya.