Bagikan:

JAKARTA - Pengusaha ritel dan pusat perbelanjaan atau mal merasa dihambat dalam menjalankan bisnis. Pasalnya, pemerintah menerapkan pembatasan impor yang menyebabkan pengusaha sulit mendapatkan barang.

Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah mengatakan, penerapan kebijakan impor yang diimplementasikan salah satunya ke dalam peraturan pengetatan impor untuk barang-barang brand luar negeri, berdampak pada sektor-sektor tertentu, dan mengakibatkan banyak peluang menjadi hilang.

“Peluang ekspansi ke berbagai wilayah di Indonesia menjadi menguap ke udara karena saat ini banyak toko-toko yang menjual barang branded mulai kosong dan kehabisan stok,” katanya dalam konferensi pers munas Hippindo, di Jakarta, Selasa, 16 Januari.

Misalnya, kata Budihardjo, sebuah toko elektronik di Indonesia, kini memiliki jumlah SKU hanya 60 persen dari jumlah SKU di Singapura dan Malaysia. Harga barang branded di Indonesia didapati lebih mahal 40 persen dibandingkan di Singapura dan Malaysia.

“Opsi berbelanja ke luar negeri kemudian banyak dipilih konsumen dalam negeri karena lebih murah dan pilihannya lebih lengkap. Artinya, Indonesia kehilangan peluang menjadi destinasi berbelanja bagi turis asing, karena harga-harganya mahal,” jelasnya.

“Praktik jasa titip atau jastip yang tidak membayar pajak dan impor illegal menjadi semakin menjamur,” sambungnya.

Impor ilegal ini, menurut Budihardjo merugikan banyak pihak. Dari sisi pemerintah, tidak ada pemasukan pajak impor dan PPN. Pengusaha dalam negeri yang berusaha secara legal dan mengikuti regulasi malah kesulitan mendapatkan barang, sehingga tidak hanya sulit untuk berkembang, tetapi juga sulit untuk bertahan di pasar.

Sedangkan, sambung dia, dari sisi konsumen, barang impor ilegal ini tidak memenuhi syarat keamanan konsumen sesuai regulasi.

“Hippindo berharap peraturan-peraturan yang mempersulit impor yang legal, dipermudah, supaya bisnis tetap berkembang. Pemerintah perlu untuk mengambil langkah-langkah tegas dan menyeluruh terhadap impor ilegal,” katanya.

Senada dengan Budihardjo, Ketua Umum Asosiasi Pelola Pusat Perbelanjaan (APPBI) Alphonsus Widjaja mengaku merasa dibayangi dengan keberlangsungan industri ritel di Tanah Air pada 2024 imbas pembatasan impor.

“Jadi, kami di pusat belanja mengalami kendala istilahnya sekarang kekurangan penyewa akibat banyak retailer yang menunda atau membatalkan membuka usaha. Jadi, saya kira ini masalahnya yang kami khawatirkan adalah tujuan dampak pembatasan impor akan mengenai langsung ke merek-merek global yang punya toko di Indonesia,” jelasnya.

Karena itu, Alphonsus menilai, langkah pemerintah membatasi impor kurang tepat.

Alih-alih membatasi, lanjutnya, pemerintah harusnya memberikan insentif untuk produk-produk dalam negeri.

“Jadi seharusnya justru produk dalam negeri yang diberi insentif, dibantu dengan segala fasilitas untuk berkembang bukan dengan cara membatasi impor begitu,” tuturnya.