PSBB Jawa Bali Bikin Beban Pengusaha Mal Makin Berat!
Ilustrasi. (Foto: Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Pandemi COVID-19 telah menyebabkan hampir seluruh sektor usaha tertekan. Pusat perbelanjaan atau mal menjadi salah satu sektor yang merasakan dampak langsung merebaknya virus tersebut. Kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang diterapkan pemerintah, untuk menekan penyebaran COVID-19 itu menyebabkan okupansi mal makin hari kian lesu.

Seperti diketahui, memang ada kebijakan khusus seperti di DKI Jakarta misalnya, yang langsung menyasar pusat perbelanjaan. Saat ini tingkat kunjungan mal dibatasi hanya boleh 50 persen selama diberlakukannya PSBB transisi. Tak hanya itu ada kebijakan baru yakni pembatasan jam operasional yakni paling malam pukul 21.00 WIB.

Senior Associate Director Colliers International Indonesia Ferry Salanto mengatakan, kondisi tersebut menyebabkan banyak peritel di pusat perbelanjaan semakin tertekan dan terpuruk. Akibatnya, sebagian dari mereka sudah tak mampu bertahan dan terpaksa harus menutup usahanya.

"Jadi para peritel ini kekurangan traffic yang masuk ke mal, transaksi juga menurun sehingga mereka ada juga yang tidak bisa bertahan dan itu juga akhirnya memengaruhi tingkat hunian," tuturnya, dalam diskusi virtual, Rabu, 6 Desember.

Ferry berujar, sepinya kunjungan di pusat perbelanjaan tersebut masih akan terus berlanjut di tahun 2021. Di mana akan semakin banyak pengusaha yang memilih tak melanjutkan ritel mereka di pusat perbelanjaan.

Pemerintah Terapkan PSBB di Jawa-Balil

Terbaru, PSBB tidak hanya diterapkan di wilayah Jakarta. Pemerintah melalui Ketua Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN) Airlangga Hartarto memutuskan untuk menerapkan PSBB di Jawa dan Bali. Tujuannya tidak lain untuk menekan penyebaran COVID-19.

Mal Grand Indonesia. (Angga Nugraha/VOI)

Kebijakan baru ini mulai berlaku pada tanggal 11 Januari dan berakhir di 25 Januari. Hal ini juga sebagai antisipasi yang dilakukan pemerintah untuk mewaspadai temuan varian baru COVID-19 yang disebut lebih menular.

Keputusan tersebut sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19.

Ferry berujar, jika PSBB semakin diperketat dan jumlah pengunjung mal juga turut dikurangi, sebagian besar pengusaha ritel ini tidak bisa bertahan. Artinya, para pengusaha ritel sudah berada di ambang kebangkrutan.

"Beberapa penyewa ini sudah sangat kritis. Artinya mereka sulit bertahan dengan kondisi dalam mal yang sangat berkurang. Apalagi kalau terus-terusan terjadi pandemi, kemungkinan banyak yang tidak mampu bertahan dan itu juga akan mempengaruhi sewa dari pusat perbelanjaan," ucapnya.

Lebih lanjut, Ferry berujar, bisnis ritel adalah jenis usaha yang menitikberatkan pada keramaian dan kerumunan. Jika tak ada kerumunan atau keramaian maka penjualan juga akan mengalami penurunan. Sementara, kerumunan di masa pandemi COVID-19 ini sangat dilarang.

"Padahal mal itu mereka butuh keramaian, kerumunan sedangkan kerumunan ini hal-hal yang dihindari selama pandemi dan itu tidak bisa dipungkiri mempengaruhi kinerja para peritel," jelasnya.

Mal Banyak yang Tutup dan Dijual

Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja berujar, kebijakan baru PSBB ketat di Jawa dan Bali itu berpotensi membuat sejumlah mal dan pusat perbelanjaan menutup operasionalnya. Sebab, kini geliat perekonomian di sektor ini belum kembali normal.

"Akan ada potensi pusat perbelanjaan yang menutup usahanya ataupun menjualnya," katanya, kepada wartawan, Rabu, 6 Januari.

Alphonzus menjelaskan, kebijakan ini akan membuat terhambatnya pergerakan ekonomi dan menyebabkan sektor ritel semakin terpuruk.

"Pembatasan tentunya akan mengakibatkan terhambatnya kembali perekonomian yang sebenarnya saat ini sudah mulai menghasilkan pergerakan meski masih berlangsung secara bertahap," tuturnya.

Sebelumnya, Ketua Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN) Airlangga Hartarto mengatakan, penerapan pembatasan secara terbatas dilakukan provinsi di Jawa dan Bali.

Dalam mengambil kebijakan ini, Airlangga mengatakan bahwa pemerintah melihat data perkembangan penanganan COVID-19, seperti zona risiko penularan virus, rasio keterisian tempat tidur isolasi dan ICU. Selain itu, pemerintah juga melihat kasus aktif COVID-19 yang saat ini telah mencapai 14,2 persen.

Menurut Airlangga, pembatasan sosial di provinsi, kabupaten, atau kota harus memenuhi parameter terkait penanganan COVID-19. Adapun parameter tersebut antara lain, tingkat kematian di atas rata-rata tingkat kematian nasional sebesar 3 persen. Kemudian tingkat kesembuhan di bawah nasional sebesar 82 persen.

[/read_more page="2/2"]

Selanjutnya, kasus aktif di bawah kasus aktif nasional sebesar 14 persen, dan keterisian RS untuk tempat tidur isolasi dan ICU di atas 70 persen.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto. (Foto: Kemenko Perekonomian)

Adapun pembatasan yang diperketat antara lain:

1. Membatasi Work From Office (WFO). WFO hanya menjadi 25 persen dan Work From Home (WFH) menjadi 75 persen.

2. Kegiatan belajar mengajar masih akan daring.

3. Sektor esensial khusus kebutuhan pokok masih akan beroperasi 100 persen namun dengan protokol kesehatan.

4. Dilakukan pembatasan jam buka pusat perbelanjaan alias mal sampai jam 19.00 WIB. Untuk resto 25 persen dan pemesanan makanan harus take away dan delivery bisa tetap buka.

5. Konstruksi masih tetap berjalan 100 persen dengan protokol kesehatan ketat dan rumah ibadah dibatasi 50 persen. Fasilitas umum ditutup sementara dan moda transportasi diatur lebih jauh.

[/read_more]