Bagikan:

JAKARTA - Kondisi perdagangan ritel Indonesia baru pulih dari dampak pandemi COVID-19. Namun, diperparah dengan proses perizinan yang lama hingga impor ilegal. Karena itu pengusaha ritel meminta pemerintah melakukan intervensi untuk menyalamatkan sektor ritel.

Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah mengatakan bahwa kondisi ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Pasalnya, perdagangan ritel merupakan tulang punggung bagi perekonomian Indonesia.

“Di lapangan masih banyak fakta bisa dijadikan contoh betapa bisnis ritel masih belum mendapat dukungan maksimal dari pemerintah,” katanya dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa, 16 Januari.

Contohnya, kata Budihardjo, pendirian satu toko supermarket atau pun mal memerlukan perizinan sekitar lebih dari 50 perizinan. Sehingga proses ekspansi menjadi sangat lambat dibanding negara tetangga lainnya.

“Sebuah mal ternama yang dalam 8 tahun melakukan ekspansi ke Negara ASEAN, terbukti hanya bisa mendirikan 5 mal saja di Indonesia, tertinggal jauh dibandingkan di Vietnam yang berhasil mendirikan 30 mal, dan di Kamboja sebanyak 10 mal,” ucapnya.

“Apabila hal ini terus berlangsung dan tidak ada solusi dari pemerintah, maka asosiasi ritel dan ekosistemnya yang menaungi lebih dari 10 juta karyawan ini akan terus bertumbangan,” sambungnya.

Selain itu, sambung Budihardjo, Penerapan kebijakan impor yang diimplementasikan salah satunya ke dalam peraturan pengetatan impor untuk barang branded berdampak pada sektor-sektor tertentu, dan mengakibatkan banyak peluang menjadi hilang.

“Peluang ekspansi ke berbagai wilayah di Indonesia menjadi menguap ke udara karena saat ini banyak toko-toko yang menjual barang branded mulai kosong dan kehabisan stok. Sebuah toko elektronik di Indonesia, misalnya, kini memiliki jumlah SKU hanya 60 persen dari jumlah SKU di Singapura dan Malaysia. Harga barang branded di Indonesia didapati lebih mahal 40 persen dibandingkan di Singapura dan Malaysia,” jelasnya.

Alhasil, sambung Budihardjo, opsi berbelanja ke luar negeri kemudian banyak dipilih konsumen dalam negeri karena lebih murah dan pilihannya lebih lengkap. Artinya, Indonesia kehilangan peluang menjadi destinasi berbelanja bagi turis asing, karena harga-harganya mahal.

“Praktik jasa titip atau jastip yang tidak membayar pajak dan impor illegal menjadi semakin menjamur,” jelasnya.

Bahkan, kata dia, sektor UMKM pun turut terdampak karena pengetatan impor bahan baku sehingga produksi produk dalam negeri juga terdampak. Selama ini diketahui bersama bahwa peritel pun telah banyak berperan dalam membantu UMKM dan produsen lokal dalam jaringan ekosistem rantai pasok tersebut.

“Pemerintah telah membuat berbagai peraturan yang baik namun kurang tepat dalam mengatasi permasalahan impor ilegal ini. Dampak yang serius dialami oleh pelaku impor legal. Pada beberapa kali dengar pendapat terbuka, kami juga sudah menyampaikan kondisi di lapangan namun peraturan tetap diterbitkan,” ujar Budihardjo.