JAKARTA - Pengusaha ritel yang tergabung di dalam Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mengeluh kalah saing melawan barang impor ilegal.
Masyarakat dinilai lebih memilih membeli barang impor atau thrifting dibanding berbelanja di ritel modern.
Ketua Umum Aprindo Roy Nicholas Mandey mengatakan, peralihan minat masyatakat untuk membeli barang-barang impor ilegal membuat peritel kalah saing.
“Tapi kita sering kali kalah, karena barang ilegal, barang fake yang masuknya entah darimana,” katanya dalam acara Gambir Talk, di Jakarta, Rabu, 14 Agustus.
“Masyarakat belinya ke thrifting. Tidak lagi ke ritel yang membayar pajak, yang memperkerjakan tenaga kerja, mengkontribusi PPN buat negara, malah thrifting yang tidak pakai pajak. Tidak ada label pajaknya. Ini (peritel) berhadapan dengan situasi atau kondisi ini,” sambungnya.
Menurut Roy, persaingan antara produk thrifting dengan barang yang dijajakan di ritel tidak seimbang.
Dia bilang, baju-baju bekas tersebut dijual hanya seharga Rp15.000, bahkan Rp100.000 mendapat enam celana.
“Nah ini yang sering kali kita risau, kita kalah bukan karena kalah bersaing, kalah karena dengan ilegal, dengan fake,” tuturnya.
BACA JUGA:
Bahkan, menurut Roy, barang-barang ilegal yang masuk ke Indonesia tidak hanya dipasarkan dan dijual secara offline tetapi juga secara online.
“Ini tentunya berharap level of the same playing tidak terjadi di-offline tapi juga di-online, karena tentunya lebih mudah memasukkan yang ilegal dari yang online karena enggak kelihatan orang yang jual dan tokonya,” ucapnya.
Karena itu, menurut Roy, perlu ada pengawasan peredaran barang-barang impor ilegal di dalam negeri.
Baik yang masuk melalui pintu resmi seperti pelabuhan dan bandara, maupun yang masuk melalui jalur tikus.
“Ini yang perlu diperdalam dikaji ketika kita masih menjadi negara konsumsi, belum negara eksportir,” jelasnya.