JAKARTA - Sebagai bentuk komitmen dekarbonisasi Indonesia menuju Net Zero Emission di tahun 2060, PT Bursa Efek Indonesia (BEI) selaku penyelenggara perdagangan karbon di Indonesia, bertanggung jawab penuh untuk menghasilkan output positif untuk bisa dinikmati oleh masyarakat luas.
Melalui IDXCarbon, pemerintah bermaksud mendorong sektor industri untuk bisa lebih aktif menekan emisi karbon bagi yang dihasilkan berada di bawah ambang batas yang ditetapkan. Mekanisme yang berjalan adalah, setiap perusahaan yang terbukti menghasilkan output berupa emisi karbon diatas batas yang sudah ditetapkan akan mendapatkan sanksi.
Sebaliknya, bagi entitas yang mampu menekan emisi buangnya akan mendapatkan insentif berupa kredit karbon. Nah kredit karbon inilah yang kemudian di sertifikasi oleh Kementrian Lingkungan Hidup untuk menjadi aset dan bisa diperjualbelikan ke institusi lain yang sudah memproduksi emisi karbon lebih dari batas yang sudah ditetapkan.
Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, Poppy Ismalina mengatakan, kebijakan ini tidak hanya mampu mendongkrak upaya industri untuk menekan emisi karbonnya, melainkan juga membuka peluang luas untuk investasi.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan, Indonesia memiliki potensi yang luar biasa dalam nature-based solutions dan menjadi satu-satunya negara yang 60% pengurangan emisi karbonnya berasal dari alam.
Menurutnya, terdapat potensi sekitar 1 gigaton karbondioksida (CO2) yang bisa ditangkap dan dimanfaatkan. Jika dikalkulasi, potensi bursa karbon Indonesia bisa mencapai lebih dari Rp3.000 triliun.
“Angka yang sangat besar, yang juga akan menjadi kesempatan ekonomi baru yang berkelanjutan dan ramah lingkungan, sejalan dengan arah dunia yang sedang menuju ekonomi hijau,” jelas Jokowi.
Salip Malaysia dan Singapura
Nah mulai 26 September kemarin, setiap institusi bisa mulai melakukan jual beli karbon secara langsung di IDXCarbon. Direktur Pengembangan BEI, Jeffrey Hendrik mengungkapkan sejak saat itu, pengguna IDXCarbon sudah mengalami peningkatan yang cukup signifikan, dari 15 menjadi 29 di awal November kemarin.
Nah data terbaru menyebutkan bahwa total pengguna jasa bursa karbon yang tercatat di IDXCarbon sudah mencapai 33 pengguna. Hal itu memperlihatkan bahwa minat insitusi terhadap perdagangan emisi karbon di Indonesia sangat signifikan.
Bahkan BEI menyebut sudah ada 24 entitas lain yang kini mengajukan diri untuk menjadi pengguna jasa bursa karbon (PJBK). Sebagai catatan, sampai dengan 20 November kemarin, volume karbon yang tercatat sudah mencapai 468 ribu ton karbondioksida.
“Jumlah tersebut lebih tinggi dari bursa karbon Malaysia dan Singapura yang mencapai 160 ribu ton CO2,” jelas Jeffrey.
Bangun Transparansi Lewat Blockchain
Aktivitas perdagangan karbon di Indonesia bukanlah baru kali ini terjadi. Berdasarkan data Institute for Essential Services Reform (IESR), sejak beberapa dekade terakhir, negeri ini telah mengenal Pasar Karbon Sukarela (VCM) sebelum akhirnya memutuskan untuk membentuk pasar karbon wajib guna memenuhi target kontribusi nasional (NDC) di sektor tertentu.
Seperti proyek lahan gambut Sumatera Merang misalnya, yang berhasil menjual 3 juta kredit karbon pada perusahaan jumbo dan Indonesia Climate Exchange (ICX), platform perdagangan yang dibangun untuk membangun ekosistem bagi sektor swasta yang bersifat sukarela.
Namun sekarang, perdagangan karbon sudah menjadi mandatory bagi beberapa sektor patuh yang disebut sebagai PTBAE-PU alias kuota karbon dan kredit karbon atau disebut sebagai SPE-GRK. Nah untuk membangun transparansi dan juga efisiensi dalam mekanisme perdagangan karbon, BEI menggunakan teknologi berbasis blockchain yang dimiliki oleh AirCarbon Exchange (ACX).
Perkawinan teknologi ini dilakukan bukanlah tanpa alasan. Teknologi blockchain sendiri selama ini dikenal sebagai teknologi canggih seperti layaknya buku besar terdistribusi yang tidak bisa diubah ataupun di modifikasi.
Masing-masing pihak bisa melakukan pemantauan transaksi secara real-time dengan waktu penyelesaian transaksi yang jauh lebih cepat. Data dari International Institute for Management Development (IMD) mengungkapkan, pemanfaatan teknologi blockchain bisa membantu kredit karbon untuk menjaga kredibilitasnya dengan menjaga prosesnya tetap bersih dan menghentikan dari kecurangan.
Selain itu, visibilitas proyek juga digadang bisa menjadi semakin jelas, lantaran lewat blockchain mampu membantu memberikan transparansi terkait metodologi yang diterapkan dan perhitungan yang dilakukan oleh proyek tertentu.
“Pengawasan pasar kredit karbon yang diberikan oleh blockchain tidak hanya membersihkan pasar, tetapi juga membantunya berkembang melalui tokenisasi kredit karbon,” tulis IMD.