Bagikan:

JAKARTA – Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengungkapkan, hampir seluruh negara emerging markets menghadapi trilema kebijakan dalam menghadapi dinamika global saat ini.

Menurut Perry, dominasi negara maju seperti Amerika Serikat (AS) dan kawasan Eropa masih kuat dan cukup memengaruhi negara berkembang.

“Tentu Amerika Serikat kesulitan menghadapi inflasi dengan satu kebijakan suku bunga, memakan waktu sangat lama, dan sekarang resesi. Eropa inflasi sangat tinggi. Fed fund rate (suku bunga AS) katanya akan berakhir, tapi akan ada kenaikan satu atau dua kali lagi. Kenapa? Karena hanya menggunakan satu instrumen untuk menyelsaikan masalah. Tidak bisa,” ujarnya dalam rangkaian agenda ASEAN Finance Ministers and Central Bank Governos Meeting (AFMGM), Selasa, 22 Agustus.

Perry menjelaskan, jika perkembangan terkini membuat konsep trinity policy yang tidak mungkin menjadi mungkin di-emerging markets.

Ini kemudian disebut dampak spillover global yang perlu direspon lewat langkah-langkah menjaga stabiltias keuangan demi mendukung pertumbuhan ekonomi.

“Kebijakan moneter tidak hanya menggunakan suku bunga, tapi juga kebijakan nilai tukar, dan kebijkan pasar keuangan,” tuturnya.

“Kita tidak peduli dengan pernyataan IMF atas apa yang kita lakukan. Kami tahu anda (IMF) lebih pintar, tapi kami lebih berpengalaman. Anda mungkin berpikir lebih pintar, tapi kami lebih berpengalaman. Kita juga menggunakan kebijakan moneter makroprudensial dan fiskal,” tegas Perry.

Sebagai informasi, sejumlah kebijakan yang ditempuh oleh Bank Indonesia memberikan dampak positif bagi perekonomian.

Salah satu yang paling jelas adalah upaya BI mengendalikan inflasi melalui bauran kebijakan (mix policy) yang selaras dengan pemerintah.

Tercatat, bank sentral berhasil menekan inflasi dari sebelumnya mencapai 5,51 persen year on year (yoy)di Desember 2022 menjadi 3,53 persen yoy pada Juni 2023.