JAKARTA - Anggota Komisi VI DPR RI Amin Akram meminta pemerintah untuk bersikap tegas dalam mengelola jalur distribusi minyak goreng. Hal ini guna mengatasi permasalah kelangkaan dan kenaikan harga komoditas tersebut.
Apalagi, kata Amin, dari sisi produksi bahan bakunya sangat melimpah. Mengingat Indonesia merupakan salah satu penghasil Crude Palm Oil (CPO) terbesar di dunia.
Kata Amin, pemerintah juga memiliki aparat yang digaji dengan uang negara. Seharusnya, pengawasan dan penegakkan aturan dapat dilakukan.
"Kemudian produsen-produsennya CPO produsen minyaknya juga pemerintah tahu tempatnya di mana, jalur distribusinya gitu loh. Ini yang dibutuhkan adalah soal ketegasan pemerintah, sekali lagi ketegasan pemerintah untuk menegakkan aturannya," katanya dikutip dari laman DPR RI, Selasa, 14 Februari.
Kata Amin, seharusnya sebagai negara penghasil CPO yang besar, Indonesia tidak mengalami krisis minyak goreng seperti saat ini. Ia menghitung, bahwa seandainya 20 persen dari CPO dialokasikan untuk minyak goreng saja, angka tersebut sudah memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga dalam negeri.
Sisanya, sambung Amin, sebanyak 80 persen sebenarnya bisa diekspor atau dimanfaatkan untuk bahan-bahan lainnya.
"Tapi, kenyataannya krisis minyak yang kemarin sempat terjadi delapan bulan, yaitu di triwulan terakhir tahun 2021 sampai triwulan awal 2022 itu. Lalu, kemudian terselesaikan selama beberapa bulan belakangan dengan hadirnya MinyaKita," ucapnya.
BACA JUGA:
Namun, kata Amin, masalah tersebut terulang kembali. Kini, Minyakita pun hilang dari pasaran.
"sekarang ternyata hilang lagi dari pasaran dan masyarakat banyak yang mengajukan masalah ini kepada kita," jelasnya.
Lebih lanjut, Amin mengatakan adanya temuan penimbunan minyak goreng di beberapa daerah, seharusnya pemerintah bersikap tegas dengan menindaklanjuti temuan tersebut. Serta, memberikan sanksi kepada distributor yang terbukti menimbun minyak goreng hingga tidak dapat terdistribusi di masyarakat.
"Terhadap yang melakukan seperti itu, pemerintah harus tegas. Kalau pemerintah tidak tegas, sekali lagi, tidak ada sanksi hukum yang tegas, para produsen yang melakukan penimbunan itu tidak jera. Sekali lagi, hukum itu tidak artinya, dan sanksi itu juga tidak ada artinya kalau hanya di atas kertas," tutupnya.