JAKARTA - Pemerintah melalui otoritas Kementerian Perdagangan belum memiliki jurus pamungkas yang bisa menahan turbulensi harga minyak goreng. Hal ini terlihat dari bongkar pasang kebijakan dalam waktu yang singkat.
Jika dirinci, pemerintah menetapkan tiga kebijakan untuk mengatasi kelangkaan pasokan dan tingginya harga minyak goreng di pasar. Pertama, pemerintah menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng curah Rp14.000. Kedua, pemerintah mengembalikan harga minyak goreng kemasan ke nilai keekonomian. Ketiga, pemerintah akan memberikan subsidi untuk minyak goreng curah yang berasal dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Kedua kebijakan itu merupakan langkah lanjutan pemerintah, setelah memutuskan untuk menyubsidi minyak goreng curah menggunakan dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Dengan langkah itu, pemerintah dinilai kalah menghadapi pasar dan korporasi besar.
Melihat harga minyak goreng yang masih sulit dikendalikan, bongkar pasang kebijakan sepertinya masih akan terjadi. Publik menganggap pemerintah tidak melihat realitas yang ada, hanya berdasarkan trial and error.
Para pelaku pasar, pabrik minyak goreng, pedagang, distributor, peritel modern, pelaku pasar tradisional, pedagang eceran hingga konsumen, terutama pedagang kecil penjual makanan, masih terus dibayangi harga tinggi. Bisakah harga ditekan seperti kebijakan pemerintah? , mungkinkah terbentuk keseimbangan harga baru minyak goreng ?, minggu ini atau bulan depan kita belum tahu jawaban yang pasti. Mungkin saja bongkar pasang kebijakan akan tetap terjadi.
Harga minyak goreng hanya turun tipis, seiring bongkar-pasang kebijakan. Ini terjadi karena penetapan HET tak diiringi tambahan pasokan memadai, sehingga harga jual masih bertahan di level tinggi. Bisa jadi pedagang masih menjual dengan harga lama karena stok dengan harga lama belum habis.
Dalam rapat kerja Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Kementerian Perdagangan yang digelar secara hibrida di Jakarta, Kamis 17 Maret yang dihadiri Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi dan Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga. Lutfi menjelaskan, selain ketentuan tentang harga eceran tertinggi minyak goreng kemasan, pemerintah mencabut kebijakan kewajiban memasok kebutuhan pasar di dalam negeri atau DMO minyak sawit mentah dan olein.
Pemerintah juga menaikkan pungutan ekspor minyak kelapa sawit mentah dan produk turunannya. Itu demi menambah dana kelolaan sawit, yang akan digunakan untuk menyubsidi minyak goreng curah.
Menurut Lutfi, kebijakan DMO sebenarnya berjalan baik karena sudah terkumpul sekitar 720.612 ton CPO dan olein. Dari jumlah itu, sekitar 76,4 persen atau 551.069 ton CPO dan olein atau setara 570 juta liter minyak goreng sudah didistribusikan. Dampaknya, harga rata-rata minyak goreng kemasan turun 18,9 persen dari Rp 20.797 liter pada Januari 2022 menjadi Rp 16.965 per liter pada Maret 2022, sementara minyak goreng curah turun 10,1 persen dari Rp 17.726 per liter menjadi Rp 15.583 per liter.
”Pemerintah mencabut kebijakan itu lantaran ada disparitas yang tinggi antara harga CPO dunia dan domestik akibat imbas konflik Rusia-Ukraina. Selain itu, ada juga indikasi praktik mafia yang menghambat distribusi minyak goreng sampai ke masyarakat,” ujarnya.
Sementara terkait dengan subsidi minyak goreng curah, Lutfi menjamin dana dari BPDPKS akan cukup. Pemerintah telah memutuskan menaikkan batas atas pungutan ekspor CPO dan produk turunannya dari semula 1.000 dollar AS per ton menjadi 1.500 dollar AS per ton. Saat ini pemerintah juga tengah membuat regulasinya untuk segera diundangkan dan diterbitkan.
Sejumlah anggota Komisi VI DPR menilai Kementerian Perdagangan gagal mengintervensi pasar minyak goreng di dalam negeri, serta tidak tegas menindak korporasi-korporasi besar yang mengendalikan pasar dan harga minyak goreng.
Anggota Komisi VI DPR, Mufti Anam, berpendapat Kementerian Perdagangan seperti macan ompong, terutama di hadapan produsen minyak goreng. Sejak Januari 2022, ada enam regulasi yang diterbitkan, tetapi tak satu pun berimplikasi positif terhadap kesejahteraan rakyat dan tidak mampu menyelesaikan persoalan minyak goreng.
”Kementerian Perdagangan telah gagal melindungi rakyat dari kenaikan harga minyak goreng dan tidak mampu menindak korporasi-korporasi yang diduga memainkan harga,” ujarnya.
YLKI Sarankan Pengetatan Pengawasan
Sementara itu dalam siaran persnya, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) melalui Ketua Pengurus Harian, Tulus Abadi mengatakan, kebijakan baru yang dicetuskan pemerintah ini diatas kertas lebih ramah pasar. Selama ini intervensi pemerintah yang dilakukan dengan cara melawan pasar dan terbukti gagal total, malah menimbulkan kekacauan di tengah masyarakat.
Kebijakan baru tersebut diharapkan dapat memperbaiki distribusi dan pasokan minyak goreng ke masyarakat dengan harga terjangkau. Namun dari sisi kebijakan publik, YLKI sangat menyayangkan bongkar pasang kebijakan minyak goreng itu.
”Kebijakan itu terkesan coba-coba sehingga konsumen menjadi korbannya,” katanya.
Untuk minyak goreng curah bersubsidi, YLKI meminta pemerintah memperketat pengawasan pendistribusiannya. Tindakan itu untuk menghindari kelompok konsumen minyak goreng kemasan sederhana dan premium mengambil hak konsumen menengah bawah, dengan membeli apalagi memborong minyak goreng curah bersubsidi yang harganya jauh lebih murah.
Kebijakan yang baik ditentukan kepiawaian pemerintah mendiagnosis penyebab kenaikan harga. Pasar komoditas termasuk minyak goreng, cukup sensitif. Ini karena CPO bukan hanya dominan untuk memenuhi kebutuhan perut, tapi juga dimanfaatkan untuk menggerakkan mesin dengan diolah jadi bahan bakar.