Wacana Penurunan Harga BBM Bersubsidi Dinilai Masih Kompetitif
Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro. (Foto: Dok. Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah tengah memonitor pergerakan harga minyak dunia yang terus turun. Penurunan ini menjadi pertimbangan pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM bersubsidi.

Diketahui, harga minyak dunia turun ke bawah level 100 dolar AS per barrel.

Salah satu pemicunya, adalah kekhawatiran pasar atas melambatnya pertumbuhan ekonomi di sejumlah negara yang bisa berdampak pada permintaan minyak.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, ada dua variabel utama BBM bersubsidi, yaitu harga minyak dan nilai tukar rupiah.

Karena itu menurutnya, pergerakan harga minyak dunia dan pandangan pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM bersubsidi adalah hal yang wajar tetapi tentu ada regulasinya.

“Saya kira itu satu hal yang biasa ya, di regulasinya sudah ada, jadi tinggal dilihat kira-kira pergerakan harga di beberapa waktu terakhir seperti apa kalau di dalam regulasi yang ada kan dari tanggal 24 Januari, misalnya sampai ke 25 Februari itu untuk menentukan harga di Maret, nah tentu kalau yang sekarang berarti dihitung mundur dari tahun 2022 semestinya,” ujar Komaidi, Selasa, 31 Agustus, malam.

Komaidi mengatakan, harga BBM bersubsidi pertalite dengan kualitas yang sama oleh Badan Penyalur BBM lain masih kompetitif. Di mana harga BBM lain harganya cenderung di bawah.

Namun intinya, jika dengan harga BBM yang turun kira-kira di kisaran berapa begitu, mestinya tidak jauh-jauh dari harga yang dijual oleh pesaing.

"Kan sekarang juga sudah ada yang RON 90 yang pelaku lain, sehingga tinggal dilihat kalau mereka jual Rp12.000 sementara kita jualnya Rp10.000, berarti kan memang belum turun, maksudnya dalam artian masih ada ruang subsidi sebesar dua ribu yang dikeluarkan oleh pemerintah,” jelas Komaidi.

Kemudian terkait biodiesel 35 persen atau B35, Komisi mengingatkan dua hal. Pertama, penggunaan biodiesel dari produk sawit yang juga kadang sulit didapatkan. Kedua, kesesuaian bahan bakar ini pada industri.

“Misalkan asosiasi pengguna mengeluhkan atau memberikan catatan terhadap kinerja bio dieselnya karena kandungan airnya misalnya, kalau di truk diidentifikasi ada potensi untuk menyebabkan korosi di tangki BBM, di listrik juga pembangkit mungkin juga ada problem yang mirip-mirip begitu ya. Mungkin problem nya agak berbeda lokasi tetapi secara umum sama yaitu masalah korosi,” pungkas Komaidi.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, mengatakan pemerintah tengah memonitor pergerakan harga minyak dunia.

Harga minyak dunia yang terus turun, kata dia, menjadi pertimbangan pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM bersubsidi.

"Harga minyak kita kan masih di bawah harga subsidi, jadi tentu akan dimonitor keberlangsungannya daripada penurunan harga minyak," kata Menko Airlangga.

Sementara itu, lanjutnya, pemerintah memutuskan mempertahankan pemberian subsidi energi di tengah krisis energi global pada 2023 demi menjaga daya beli masyarakat dan daya saing industri dalam upaya pemulihan ekonomi.

Pada 2023, pemerintah telah menetapkan target subsidi energi sebesar Rp209,9 triliun dengan rincian Rp139,4 triliun untuk bahan bakar minyak (BBM) dan elpiji (LPG), serta Rp70,5 triliun untuk subsidi listrik.

Selain pertalite, Airlangga mengatakan, pemerintah juga akan melihat efektifitas penggunaan campuran BBM solar dengan biodiesel sebanyak 35 persen atau B35.

"Kebijakan itu bisa mengurangi impor solar dan juga menekan jumlah subsidi yang dikucurkan pemerintah untuk jenis BBM tersebut," katanya.