Bagikan:

JAKARTA - Sekretaris Konsorsium Pembaruan Agraria Dewi Sartika mencatat, sebanyak delapan dari 14 PT Perkebunan Nusantara (PTPN) telah menyebabkan terjadinya 21 konflik agraria di berbagai wilayah. Letusan konflik agraria pada wilayah PTPN tersebut bahkan terus meningkat selama periode kedua pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).

"Angka ini sangat memprihatinkan, mengingat hanya 14 perusahaan PTPN di negara kita, namun menyumbang konflik agraria yang besar dan luas," kata Dewi dalam catatan akhir tahun 2022 dengan tema 'Bara Konflik Agraria: PTPN Tak Tersentuh, Kriminalisasi Meningkat' di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, Senin, 9 Januari.

Dewi juga menyebut penyelesaian konflik agraria di wilayah PTPN minim terobosan. Bahkan, sejumlah lembaga terkait, seperti Komnas HAM, Ombudsman, dan KPK mengeluarkan catatan buruk kepada PTPN terkait dengan penanganan konflik, hak asasi manusia, administrasi, hingga transparansi dan penanganan korupsi.

"Konflik agraria yang terjadi sepanjang tahun ini memperlihatkan sejumlah represifitas operasi perusahaan perkebunan negara dalam menangani konflik, sehingga menimbulkan korban di lapangan," ujarnya.

Dari 21 letusan konflik agraria akibat operasi PTPN pada 2022, Dewi mengatakan sebanyak 15 orang telah menjadi korban penganiayaan dan 28 orang mengalami kriminalisasi.

"Bahkan satu orang tewas akibat konflik agraria dengan PTPN," tutur dia.

Dewi menilai penyebab besarnya angka konflik agraria terus terjadi karena pihak perkebunan PTPN sendiri seolah-olah kebal hukum atas sejumlah peristiwa tersebut.

"Dalih utama yang sering dipakai oleh pihak perkebunan dalam melakukan tindakan represif tersebut adalah Penyelamatan Asset Negara," imbuhnya.